Di tengah permasalahan sosial kehidupan yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari keterbatasan ekonomi, kualitas pendidikan yang masih rendah, serta konflik sosial keluarga yang kompleks, terciptalah sebuah keputusan yang sering dihakimi dan disalahpahami, yaitu terkait ”childfree”, keputusan ini sering dianggap sebagai sebuah tindakan egois dan idealis tanpa dasar, padahal keputusan untuk tidak memiliki anak adalah pertimbangan yang diambil dengan kesadaran penuh dan komitmen terhadap terhadap dampak yang mungkin akan muncul di masa depan, dan juga sebuah bentuk kepedulian terhadap generasi yang akan datang, yang mungkin hadir di dunia yang masih belum siap memberikan kehidupan yang aman dan layak untuk mereka.
Penilaian umum masyarakat terkait childfree masih dianggap tabu, karena keputusan ini sering di anggap sebagai suatu bentuk upaya untuk menghindari tanggung jawab, namun sebaliknya masih terdapat individu yang menyuarakan bahwa pengambilan keputusan childfree adalah suatu tindakan yang besar terhadap kepedulian akan rasa tanggung jawab yang jauh lebih utama, mereka lebih peka bahwa kehidupan pasti akan mengalami fase pasang surut, baik secara finansial, keseimbangan emosional, kesehatan mental, serta tekanan sosial,. Dari kesadaran inilah childfree dipersepsikan sebagai salah satu solusi untuk menghadapi berbagai masalah sosial dengan penuh pertimbangan dan perhatian, dengan tujuan untuk memastikan apabila di kemudian hari memiliki anak, mereka harus bisa menjamin kehidupan yang terbaik, berkualitas, aman dan layak.
Di samping itu, latar belakang kehidupan juga menjadi alasan kuat di balik keputusan childfree, banyak orang yang dibesarkan dalam keluarga broken home, di mana perselisihan orang tua, tindakan verbal yang menyakitkan, atau pengabaian emosional menjadi bagian dari keseharian. Mereka pernah mengalami dan merasakan sendiri luka yang timbul akibat egoisme orang tua sendiri, luka yang menjadi sebuah bukti bahwa tidak semua orang siap menjadi orang tua. Oleh karena itu, keyakinan untuk childfree menjadi solusi untuk memutus rantai trauma, sehingga tidak ada anak lain yang merasakan sakit yang sama.
BUKAN SOAL LAHIRKAN, TAPI SIAPKAH MEMBESARKAN?
Kehidupan sosial di sekitar kita membuktikan bahwa masih terdapat pasangan yang sering memaksakan diri untuk memiliki anak, meskipun kondisi ekonomi mereka belum stabil. Lebih parahnya sebagian dari mereka masih meyakini bahwa “banyak anak, banyak rezeki.” Padahal, keyakinan ini adalah kesalahan fatal yang tidak relevan dengan keadaan sosial ekonomi saat ini. Faktanya memiliki banyak anak berarti menanggung tanggung jawab yang jauh lebih besar, mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar hingga pendidikan, serta jaminan kesehatan dan kesejahteraan emosional.
Sayangnya, kondisi sosial di Indonesia menunjukkan bahwa tidak semua orang tua mampu memenuhi tanggung jawab itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 9,36% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Tidak hanya itu, angka partisipasi sekolah juga menunjukkan kesenjangan: sebagian besar anak-anak dari keluarga kurang mampu hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP, dan banyak yang harus putus sekolah lebih awal karena faktor ekonomi. Realitas ini menunjukkan bahwa memiliki anak tanpa kesiapan finansial hanya akan memperpanjang rantai kemiskinan dan menghambat masa depan generasi selanjutnya.
Selain aspek ekonomi dan pendidikan, faktor kesehatan mental anak juga menjadi isu krusial yang sering terabaikan. Sebuah survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 15,5 juta atau 34,9% remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Data dari WHO bahkan menyebutkan bahwa 1 dari 7 anak berusia 10–19 tahun menghadapi tantangan serupa. Angka tersebut mencerminkan betapa banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung kesehatan psikologis mereka baik karena tekanan sosial, pola asuh yang tidak tepat, maupun kondisi keluarga yang tidak stabil.
Kenyataan ini menjadi peringatan penting bahwa menjadi orang tua bukan hanya tentang memberi kehidupan, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang sehat secara emosional dan psikologis. Sayangnya, banyak orang tua yang belum menyadari pentingnya peran mereka dalam menjaga dan mendukung kesehatan mental anak. Dari sinilah, keputusan untuk childfree bagi sebagian orang dipandang sebagai bentuk tanggung jawab: mereka tidak ingin menghadirkan anak ke dunia yang penuh tekanan jika belum siap memberikan dukungan mental yang memadai.
Tak hanya dari sisi psikologis, tantangan finansial dalam membesarkan anak pun tidak bisa dianggap sepele. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa biaya membesarkan anak dari jenjang TK hingga perguruan tinggi dapat mencapai Rp1,3 miliar, dengan asumsi inflasi biaya pendidikan sekitar 10–15% per tahun. Angka ini mencakup kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, makanan, pakaian, transportasi, hingga kebutuhan tambahan lainnya.
Jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia, angka tersebut menunjukkan kesenjangan yang sangat besar. Berdasarkan data Upah Minimum Regional (UMR) 2025, UMP tertinggi berada di DKI Jakarta sebesar Rp5.396.761, disusul oleh Papua dan Kalimantan Utara. Sementara itu, UMR terendah terdapat di Jawa Tengah sebesar Rp2.169.348, dan untuk tingkat kabupaten/kota, UMK tertinggi ada di Bekasi sebesar Rp5.690.752.