Pandeglang selama ini dikenal sebagai surga wisata di ujung barat Pulau Jawa. Siapa yang tak kenal Pantai Carita, Karang Bolong, atau Pemandian Air Panas Gunung Torong? Alamnya memesona, udaranya sejuk, dan potensinya sebagai destinasi wisata unggulan di Provinsi Banten pun tak diragukan lagi.
Namun, belakangan ini muncul kabar yang bikin banyak pihak mengernyitkan dahi. Kabupaten yang seharusnya jadi destinasi healing justru kini mendapat julukan baru yang tak sedap di telinga: Kabupaten Limbah.
Kerja Sama Tangsel-Pandeglang: Sampah Jadi Komoditas Baru?
Pada pertengahan 2025, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan Pemerintah Kabupaten Pandeglang resmi menandatangani kerja sama pengelolaan sampah.Â
Dalam kesepakatannya, Pandeglang akan menerima sekitar 500 ton sampah per hari dari Tangsel untuk diolah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bangkonol, yang terletak di Kecamatan Keroncong.
Alasan di balik kebijakan ini? Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pandeglang. Tapi, benarkah ini solusi bijak atau justru blunder jangka panjang?
Warga Angkat Suara: "Ini Bukan Solusi, Ini Masalah Baru"
Kebijakan ini tak berlangsung tanpa kritik. Salah satu yang cukup vokal menyuarakan keberatan adalah Riva F. Firdaus, aktivis lingkungan asal Pandeglang, lewat akun Instagramnya @arunikarsa_.
Dalam unggahannya, Riva menyebutkan bahwa menerima sampah dari Tangsel bukan solusi meningkatkan PAD, melainkan bentuk dari kegagalan tata kelola lingkungan dan fiskal.
"Jika pengelolaan sampah di dalam daerah sendiri saja masih bermasalah retribusi rendah, armada kurang, layanan tak merata, dan TPA belum memenuhi standar sanitary landfill mengapa justru membuka pintu bagi sampah dari luar?" tulis Riva.
Ia juga menyebut bahwa praktik ini adalah bentuk ekonomi ekstraktif lingkungan, di mana nilai jangka pendek lebih diutamakan dibanding perlindungan lingkungan hidup dan kesejahteraan warga jangka panjang.
TPA Bangkonol Jadi Sorotan