Mohon tunggu...
Alya Hana
Alya Hana Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif S1 Bahasa dan Sastra Arab

Menulis yang terasa dekat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi pendengar yang baik: keterampilan yang mulai hilang

26 Juni 2025   14:31 Diperbarui: 26 Juni 2025   14:31 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto orang bercerita dan mendengarkan (sumber- Tribun-bali.com https://images.app.goo.gl/F6gYrG8cmV6TkxUB9)

Semua Sibuk Bicara, Tak Ada yang Mendengar

Tak jarang, saat seseorang ingin didengarkan, justru lawan bicaranya memotong cerita dan malah berbicara tentang dirinya sendiri, tanpa membiarkan cerita itu selesai.

Suatu hari, saya mencoba bercerita ke teman dekat tentang suatu hal yang memang ingin saya ceritakan kepadanya. Tapi belum sampai satu menit saya menceritakannya, ia menyela, "Aku juga pernah tuh..." Lalu ia bercerita panjang lebar tentang dirinya, dan akhirnya, percakapan itu menjadi monolog dia---bukan saya. Tidak ada salahnya jika ia ingin ikut bercerita, tapi mengapa tidak memberi saya waktu terlebih dahulu untuk menyelesaikan cerita saya, lalu setelah itu barulah ia bercerita?

Mungkin hal seperti ini tidak hanya saya yang mengalaminya. Banyak orang di luar sana juga pernah merasa hal yang sama---ingin bercerita, ingin didengarkan, bukan untuk dihakimi atau diberi solusi, tetapi hanya sekadar agar ada yang benar-benar hadir untuk menyimak. Namun, tak jarang, ketika saya mulai menceritakan sesuatu yang penting bagi saya, lawan bicara saya justru memotong, mengambil alih percakapan, dan mulai bercerita tentang dirinya sendiri. Tanpa sadar, cerita saya belum selesai, bahkan belum sampai pada inti, tapi saya memilih diam dan mengalah. Dari situ saya mulai menyadari bahwa tidak semua orang siap menjadi pendengar. Tidak semua orang mampu menyediakan ruang bagi cerita orang lain.

Akhirnya, saya berhenti berharap untuk didengarkan. Bukan karena saya tidak ingin berbagi, tapi karena saya lelah merasa bahwa cerita saya tidak dianggap penting. Dan dari pengalaman itu, saya belajar satu hal: mungkin lebih baik jika saya menjadi seperti yang dulu saya butuhkan---seorang pendengar. Saya mulai melatih diri untuk benar-benar hadir dalam setiap cerita yang dibagikan kepada saya, meskipun saya tahu saya bukan orang yang pandai memberi solusi. Tapi saya percaya, kadang seseorang tidak butuh saran apa pun---mereka hanya ingin didengarkan, dimengerti, dan dipahami tanpa tergesa-gesa. Maka saya belajar untuk tidak sekadar mendengar, tapi juga merasakan. Hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Karena saya tahu, didengarkan dengan tulus bisa menjadi bentuk perhatian paling sederhana, namun sangat berarti.

Dari pengalaman-pengalaman itu, saya menyadari bahwa saya bukanlah orang yang pandai bercerita atau menarik perhatian dengan kisah-kisah saya sendiri. Namun, ada kebahagiaan tersendiri yang saya rasakan ketika seseorang memilih untuk berbagi ceritanya kepada saya. Bagaimana pun juga, menceritakan sesuatu bukanlah hal yang mudah bagi banyak orang. Ketika mereka mempercayakan cerita itu kepada saya, saya menganggapnya sebagai suatu kehormatan dan tanda kepercayaan yang besar. Kepercayaan bahwa saya mampu mendengarkan dengan sepenuh hati, tanpa menghakimi, tanpa memotong, dan tanpa tergesa-gesa untuk memberikan solusi. Hal itu membuat saya merasa berarti, bahwa meskipun saya bukanlah orang yang pandai berbicara, saya bisa menjadi tempat yang aman bagi orang lain untuk menumpahkan perasaan dan pikiran mereka.

Padahal, menjadi pendengar yang baik adalah bagian penting dari membangun relasi yang sehat. Sayangnya, keterampilan ini seringkali terabaikan, bahkan dianggap sepele. Apakah benar kita mulai kehilangan kemampuan mendengarkan?

Mendengarkan vs Mendengar: Apa Bedanya?

Dalam keseharian, kata "mendengar" dan "mendengarkan" sering dipakai secara bergantian, padahal maknanya sangat berbeda.

Mendengar adalah proses pasif---kita menangkap suara tanpa memberi makna atau perhatian penuh. Misalnya, kita "mendengar" suara kipas angin, kendaraan lewat, atau percakapan di TV yang mengalun di latar belakang.

Sementara mendengarkan adalah proses aktif. Saat kita mendengarkan, kita memberi perhatian, menangkap makna, dan mencoba memahami apa yang disampaikan. Kita hadir, bukan sekadar ada.

Profesor Ralph Nichols, salah satu pelopor studi tentang mendengarkan, mengatakan,

"The most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them."

Mendengarkan adalah jalan menuju pemahaman---dan pada akhirnya, hubungan manusia yang sehat.

Mengapa Kita Semakin Sulit Mendengarkan?

Kemampuan mendengarkan perlahan-lahan memudar, dan ada banyak faktor yang menyebabkannya.

Terkadang, seseorang semakin sulit untuk mendengarkan karena beberapa faktor, seperti topik pembicaraan yang tidak sejalan dengan minat atau pemahaman pendengar, sehingga membuatnya merasa malas untuk menyimak. Selain itu, bisa jadi pendengar sedang mengalami masalah pribadi atau tekanan batin yang membuatnya stres, namun tetap harus berusaha mendengarkan orang lain yang sedang bercerita padanya.

1. Budaya Serba Cepat & Gangguan Digital

Di era digital saat ini, segalanya berlangsung dengan cepat. Kita jadi terbiasa hanya membaca judul tanpa membuka isi artikelnya, menonton video singkat beberapa detik, atau membalas pesan sambil cek notifikasi lain. Multitasking seolah jadi hal biasa, padahal tanpa sadar kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar fokus.
Dalam situasi seperti ini, mendengarkan orang lain terasa seperti hal yang lambat. Kita jadi tidak sabaran, bahkan sering memotong pembicaraan atau buru-buru memberi komentar, padahal lawan bicara belum selesai menyampaikan maksudnya.

2. Lebih Ingin Didengar daripada Mau Mendengar

Hampir semua orang ingin suaranya didengar. Tapi dalam percakapan, kalau dua orang sama-sama ingin bicara tapi tak ada yang mau mendengar, maka yang terjadi bukan komunikasi, melainkan dua orang yang ngomong sendiri-sendiri.
Hal seperti ini sering kita temui---baik dalam hubungan pribadi, rumah tangga, hingga di lingkungan kerja. Kadang, ego membuat kita lebih fokus pada apa yang ingin kita balas, ketimbang benar-benar memahami apa yang orang lain coba sampaikan.

3. Capek Secara Emosional

Tekanan hidup yang terus datang bisa bikin seseorang merasa lelah, bukan cuma fisik, tapi juga secara mental. Dalam kondisi seperti itu, mendengarkan orang lain bisa terasa berat.
Padahal mendengarkan bukan sekadar diam, tapi juga butuh empati dan energi. Karena sedang lelah, kita pun jadi mendengar hanya sekilas saja, tanpa benar-benar hadir dalam percakapan.

Mendengarkan adalah salah satu keterampilan komunikasi yang paling penting. Kemampuan untuk benar-benar mendengarkan dengan penuh perhatian dan memahami apa yang dikatakan orang lain bisa membantu kita membangun hubungan yang lebih sehat, menyelesaikan konflik, dan mengambil keputusan yang lebih bijak. Sayangnya, banyak orang belum menyadari pentingnya keterampilan ini. Tak jarang, kita lebih fokus pada apa yang akan kita katakan selanjutnya daripada mencurahkan perhatian pada apa yang sedang disampaikan orang lain. Akibatnya, timbul kesalahpahaman, ketegangan, bahkan rusaknya hubungan.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, mendengarkan menjadi tantangan tersendiri. Kita terbiasa dengan komunikasi instan---chat singkat, video pendek, dan notifikasi bertubi-tubi. Multitasking menjadi kebiasaan, dan fokus menjadi hal yang langka. Di tengah semua ini, hadir secara utuh untuk mendengarkan orang lain menjadi hal yang makin jarang kita lakukan. Padahal, mendengarkan bukan hanya soal telinga, tapi juga soal hati dan empati.

Lantas, bagaimana cara melatih diri agar bisa menjadi pendengar yang lebih baik?

Tips Menjadi Pendengar yang Baik

1. Hadir Sepenuhnya dan Penuh Perhatian

Langkah pertama adalah hadir secara utuh. Letakkan ponsel, jauhkan gangguan lain, dan fokuskan perhatian pada lawan bicara. Lakukan kontak mata, condongkan tubuh sedikit ke depan, dan tunjukkan bahasa tubuh yang terbuka. Anggukan kepala atau ucapkan respons singkat seperti "ya" atau "saya mengerti" untuk menunjukkan bahwa kamu benar-benar menyimak.

2. Tunda Memberi Tanggapan

Salah satu kesalahan umum adalah terlalu cepat menyela atau langsung memberi solusi. Cobalah untuk menahan diri. Biarkan orang lain menyelesaikan ceritanya sepenuhnya sebelum kamu menanggapi. Ini akan membuat mereka merasa dihargai dan didengarkan.

3. Dengarkan Emosi, Bukan Hanya Kata

Sering kali, perasaan tersimpan di antara kata-kata. Perhatikan nada suara, ekspresi wajah, dan jeda dalam pembicaraan. Mendengarkan dengan empati berarti memahami perasaan di balik ucapan, bukan hanya menangkap informasi permukaannya.

4. Gunakan Kalimat Empatik

Tanggapan sederhana namun empatik bisa membuat lawan bicara merasa dipahami. Contohnya:

  • "Wah, kedengarannya berat, ya."
  • "Aku ngerti, pasti kamu bingung banget."
  • "Mau cerita lebih lanjut?"

Kalimat seperti ini menunjukkan bahwa kamu tidak hanya mendengar, tapi juga peduli.

5. Hindari Menyela atau Mengalihkan Cerita

Menyela adalah kebiasaan yang merusak. Selain mengganggu alur pembicaraan, itu juga bisa membuat lawan bicara merasa tidak dihargai. Hindari juga menjadikan cerita orang lain sebagai ajang membandingkan atau "bertanding pengalaman". Saat seseorang sedang bercerita, dengarkan dulu sampai tuntas sebelum kamu berbagi pengalaman sendiri.

6. Ajukan Pertanyaan Terbuka

Jika kamu ingin menunjukkan ketertarikan atau menggali lebih dalam, ajukan pertanyaan terbuka seperti:

  • "Bisa ceritain lebih lanjut?"
  • "Menurut kamu, gimana cara terbaik menghadapi itu?"
    Pertanyaan seperti ini mendorong lawan bicara untuk merasa nyaman berbagi.

7. Berikan Umpan Balik yang Tulus

Berikan tanggapan yang menunjukkan kamu menghargai kepercayaan mereka. Misalnya, "Terima kasih udah cerita. Aku benar-benar menghargai apa yang kamu bagikan." Umpan balik seperti ini memperkuat hubungan dan membangun rasa aman dalam komunikasi.

Referensi: https://www.sampoernauniversity.ac.id/id/news/5-tips-mudah-menjadi-pendengar-yang-baik

Refleksi: Apa yang Sebenarnya Dicari Orang Saat Bercerita?

Coba renungkan ini: saat kamu bercerita, apa yang kamu harapkan? Jawabannya sering kali sederhana---dimengerti. Kita ingin merasa bahwa kita tidak sendiri dalam apa yang kita rasakan.

Begitu juga orang lain. Kadang mereka tidak butuh jawaban. Tidak butuh solusi. Mereka hanya ingin tahu bahwa ada yang benar-benar mendengarkan.

Penutup: Dunia Butuh Lebih Banyak Pendengar

Di tengah dunia yang sibuk dengan "berbicara", menjadi pendengar yang baik adalah tindakan yang revolusioner. Bukan karena sulit, tapi karena sangat langka.

Jika kita bisa mulai mendengarkan dengan utuh---pada pasangan, teman, anak, rekan kerja, bahkan orang asing---maka dunia ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih manusiawi.

"Being heard is so close to being loved that for the average person, they are almost indistinguishable."
---David W. Augsburger

Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak dari ingin dimengerti, dan mulai menjadi orang yang memahami.

Kapan terakhir kali kamu benar-benar hadir untuk mendengarkan seseorang?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun