Mohon tunggu...
Alya Farah
Alya Farah Mohon Tunggu... Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga | 24107030087

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Potret Ketahanan UMKM Jogja: Kisah Jatuh Bangun Seorang Penjual Bakso Pinggir Jalan

13 Juni 2025   09:06 Diperbarui: 13 Juni 2025   08:27 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Tris (55), Penjual Bakso Pinggir Jalan (Dok. Pribadi)

Di salah satu sudut di belakang kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tercium aroma yang menjadi penanda harapan bagi perut-perut yang lapar. Aroma gurih kaldu sapi yang menguap ke udara, berpadu dengan wangi bawang goreng dan sambal yang khas. Aroma itu berasal dari sebuah gerobak sederhana, sebuah gerobak bakso di pinggir jalan yang telah menjadi panggung perjuangan sekaligus saksi bisu perjalanan hidup seorang perempuan tangguh bernama Bu Tris.

Kisah Bu Tris (55), adalah potret ketahanan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Jogja. Ia adalah cerminan dari ribuan pejuang ekonomi lainnya yang menggantungkan hidup pada kreativitas, kerja keras, dan ketabahan hati yang luar biasa. Sejak 2010, perantau asli Klaten ini telah mendedikasikan hidupnya untuk menyajikan sebungkus kebahagiaan bagi para pelanggannya, yang mayoritas adalah mahasiswa yang datang dan pergi silih berganti.

Ia tidak hanya menjual bakso biasa. Inovasi menjadi senjatanya untuk bertahan di tengah persaingan. Ada bakso mercon yang menantang lidah, bakso beranak yang penuh kejutan, hingga ada juga varian telur, keju, dan jamur yang memanjakan selera. Semua itu ia buat sendiri, dengan resep andalan dan kualitas yang selalu dijaga, sebuah bukti dedikasi yang tak pernah luntur.

Sebelum badai pandemi datang, dagangan Bu Tris adalah mesin ekonomi keluarga yang berjalan lancar. "Alhamdulillah, dulu itu sehari bisa habis 10 kilogram daging," kenangnya, matanya menerawang ke masa jaya. Dari hasil kerja kerasnya, ia dan suami tidak hanya bisa hidup layak di kota pelajar ini, tapi juga berhasil menyekolahkan sang anak hingga ke jenjang perkuliahan, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan terbesarnya. Gerobaknya menjadi titik kumpul, tempat mahasiswa mengisi energi sebelum kembali bergulat dengan tugas dan skripsi.

Namun, pandemi COVID-19 datang sebagai pukulan telak yang tak pernah terbayangkan. Ketika kampus-kampus mengunci gerbangnya dan mahasiswa pulang kampung, jalanan di sekitar UIN Sunan Kalijaga yang biasanya hidup, berubah menjadi lorong yang sunyi. Bagi Bu Tris, ini adalah awal dari masa paling kelam dalam perjalanannya sebagai seorang pedagang.

"Kesulitannya pas corona. Usaha benar-benar di bawah. Tapi yang paling jatuh itu justru setelahnya, waktu kuliah masih libur panjang," ceritanya dengan nada getir. Meski tak ada pembeli, ia menolak untuk menyerah. Setiap hari, kompor di gerobaknya tetap menyala. "Kalau nggak jualan, mau makan apa?" Pertanyaan sederhana itu menjadi bahan bakar semangatnya untuk terus bertahan, bahkan di tengah keputusasaan yang paling dalam.

Perjuangannya tidak main-main. Saat itu, ia mencoba beradaptasi dengan berjualan aneka jajanan secara online, dari makaroni hingga sambal kemasan, dan apa pun yang bisa ia buat dengan tangannya. Namun, gelombang krisis terlalu besar untuk dibendung. Satu per satu, aset yang ia kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun harus dilepas. Mobil, motor, bahkan rumah, semuanya dijual demi menjaga agar dapur tetap mengepul dan keluarga bisa terus makan.

Kini, dua tahun setelah badai mereda, lukanya masih terasa dalam. Kampus memang sudah ramai kembali, tapi kondisi bisnisnya belum pulih sepenuhnya. Angka berbicara lebih keras dari apa pun. "Dulu 10 kilogram sehari, sekarang 5 kilogram itu untuk tiga hari," ungkapnya, menunjukkan betapa drastis penurunannya. Penghasilannya kini hanya cukup untuk menyambung hidup. "Belum bisa buat nyelengi (menabung). Yang penting ada penghasilan untuk makan, yang penting sehat," katanya pasrah namun tetap tegar.

Di tengah ujian itu, karakter sejatinya terpancar terang. "Harus berani, harus kuat,harus semangat!" ucapnya, sebuah mantra yang ia ulang-ulang untuk menguatkan diri. “Bagaimana lagi, yang namanya hidup berdagang ya begini.” Kekuatan itu juga ia temukan dalam ikatan emosional yang tulus dengan para pelanggannya.

Berkesempatan Berbincang dengan Bu Tris (sebelah kiri, memakai kacamata) (Dok. Pribadi)
Berkesempatan Berbincang dengan Bu Tris (sebelah kiri, memakai kacamata) (Dok. Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun