Mohon tunggu...
alya ayu s ayu
alya ayu s ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa

badminton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bullying oleh Guru: Luka yang Membekas Lebih Dalam

4 Oktober 2025   21:23 Diperbarui: 4 Oktober 2025   21:23 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika berbicara tentang bullying di sekolah, bayangan kita sering tertuju pada tindakan antar siswa, seperti ejekan, dorongan, atau pengucilan. Namun, fakta yang jarang disorot adalah adanya bullying yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya sendiri. Fenomena ini kerap tersembunyi di balik dalih "pendisiplinan" atau "cara mendidik dengan tegas". Padahal, jika dilihat dari sudut pandang psikologi pendidikan, bullying yang dilakukan oleh guru bisa meninggalkan luka yang jauh lebih dalam karena melibatkan figur otoritas yang seharusnya menjadi teladan.

Bullying oleh guru bisa muncul dalam berbagai bentuk. Tidak selalu berupa kekerasan fisik, tetapi juga dapat berupa kata-kata merendahkan, komentar yang mempermalukan di depan kelas, membandingkan murid dengan siswa lain secara negatif, memberikan hukuman yang tidak adil, hingga perlakuan diskriminatif. Bentuk-bentuk ini seringkali dianggap sepele atau bahkan normal, padahal dampaknya sangat serius bagi perkembangan psikologis anak. Rasa malu, rendah diri, dan takut terhadap guru bisa membuat siswa kehilangan rasa aman di sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh kembang terbaik bagi mereka.

Dari perspektif psikologi, pengalaman ini sangat berbahaya karena merusak self-concept (konsep diri) dan self-esteem (harga diri) siswa. Seorang anak yang sering diejek atau dipermalukan oleh gurunya akan cenderung menginternalisasi kata-kata negatif tersebut sebagai bagian dari identitas dirinya. Mereka bisa merasa tidak berharga, tidak mampu, bahkan mulai percaya bahwa dirinya tidak pantas untuk sukses. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berkembang menjadi kecemasan sosial, depresi, atau bahkan learned helplessness---perasaan tidak berdaya meskipun sebenarnya mereka memiliki potensi.

Selain itu, bullying dari guru juga bisa mengganggu motivasi belajar. Siswa yang selalu takut dikritik atau dipermalukan akan cenderung menahan diri untuk aktif bertanya atau berpartisipasi di kelas. Akibatnya, potensi mereka terhambat, kreativitas tertekan, dan prestasi akademik menurun. Dalam banyak kasus, anak yang mengalami bullying dari guru bahkan mulai mengasosiasikan sekolah dengan rasa sakit, bukan dengan semangat belajar. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan sekaligus menumbuhkan karakter positif.

Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Salah satu faktornya adalah tekanan kerja guru yang tinggi. Beban administratif, tuntutan akademik, dan manajemen kelas yang sulit kadang membuat guru kehilangan kesabaran. Ada pula guru yang membawa pola asuh keras dari rumah atau latar belakang pendidikan yang masih kental dengan pendekatan otoriter. Selain itu, kurangnya pelatihan dalam pengelolaan emosi dan komunikasi positif membuat sebagian guru masih menganggap bahwa cara keras adalah satu-satunya metode mendidik yang efektif. Padahal, psikologi pendidikan menegaskan bahwa disiplin bisa ditegakkan tanpa kekerasan, melalui pendekatan berbasis empati, penghargaan, dan penguatan positif.

Di Indonesia sendiri, berbagai laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun pemberitaan Kompas menegaskan bahwa bullying masih menjadi masalah serius. Tidak sedikit kasus yang melibatkan tenaga pendidik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sayangnya, masih banyak korban yang tidak berani melapor karena takut nilai mereka terpengaruh atau merasa tidak ada yang akan membela. Situasi ini menunjukkan bahwa perlindungan siswa dari bullying harus lebih diperkuat, termasuk jika pelakunya adalah guru.

Solusi dari sudut pandang psikologi pendidikan tentu bukan hanya memberi sanksi pada pelaku, tetapi juga membangun sistem yang lebih sehat. Guru perlu mendapat pelatihan reguler tentang kecerdasan emosional (emotional intelligence), komunikasi asertif, serta strategi disiplin positif. Sekolah juga harus menyediakan mekanisme pengaduan yang aman bagi siswa, dengan jaminan bahwa laporan akan ditindaklanjuti tanpa risiko balas dendam. Di sisi lain, orang tua memegang peran penting dalam mendengarkan cerita anak, mengamati perubahan perilaku, dan berani bersuara jika menemukan perlakuan yang tidak adil.

Penutup

Bullying oleh guru adalah ironi dalam dunia pendidikan. Sosok yang seharusnya membimbing, mendukung, dan melindungi, justru menjadi sumber luka batin bagi siswa. Psikologi mengingatkan kita bahwa luka emosional lebih membekas daripada luka fisik, karena menyentuh inti kepercayaan diri dan harga diri anak. Jika dibiarkan, luka ini bisa terbawa hingga dewasa dan memengaruhi banyak aspek kehidupan. Pendidikan sejati hanya bisa lahir dari suasana penuh kasih, empati, dan penghargaan terhadap martabat siswa. Guru seharusnya menjadi cahaya yang menuntun anak menuju masa depan, bukan bayangan yang menakutkan di perjalanan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun