Mohon tunggu...
Alya Fauziyyah
Alya Fauziyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Reading and writing works of fiction

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dugaan Malpraktik di RS GRHA Kedoya Jakarta Barat, Seorang Pasien Jadi Korban Pengangkatan Indung Telur Secara Sepihak

16 Maret 2024   04:49 Diperbarui: 16 Maret 2024   05:19 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dikutip dari TEMPO.co

Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), dokter adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran dengan sertifikat kompetensi dan kewenangan medis dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Perannya mencakup berinteraksi dengan pasien, menganalisis gejala, dan mengobati berbagai macam penyakit atau cedera.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan, dokter diatur oleh etika yang menjadi pedoman dalam bersikap, bertindak, maupun bekerja sama dengan pihak manapun. Di Indonesia sendiri Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yaitu kumpulan norma untuk menuntun dokter di Indonesia selaku kelompok profesi berpraktik di masyarakat. Tanpa etika, meskipun memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik, seorang dokter dapat melakukan malpraktik atau kelalaian medis.

Banyak hubungan antara dokter dan pasien masih didominasi oleh pola paternalistik. Pasien cenderung menganggap dokter sebagai otoritas yang ahli dan paham akan berbagai keluhan penyakit yang mereka alami, sementara dokter melihat pasien sebagai individu yang awam tentang kondisi kesehatannya. Karena pandangan ini, pasien sering kali hanya mengikuti saran yang diberikan oleh dokter tanpa banyak bertanya, dan jika terjadi kesalahan atau kelalaian, mereka cenderung menyalahkan penyedia layanan kesehatan.

Foto dikutip dari inventori.co.id
Foto dikutip dari inventori.co.id

Pada tahun 2018, terjadi kasus malpraktik yang melibatkan seorang dokter kandungan berinisial HS di rumah sakit. Kasus ini bermula pada 20 April 2018, ketika seorang wanita bernama S datang ke RS GRHA Kedoya Jakarta Barat karena mengalami gangguan pada perut setelah berlatih muaythai. Tim dokter melakukan pemeriksaan dengan USG dan menduga bahwa S mengidap penyakit kista di rahimnya. S kemudian dirujuk ke dokter spesialis kandungan.

Keesokan harinya, yaitu 21 April 2018, S menjalani operasi pengangkatan kista. Namun, di tengah operasi, HS memutuskan untuk mengangkat kedua indung telur S. Ketika S akan meninggalkan dari rumah sakit pada 24 April 2018, HS memanggilnya dan memberitahu bahwa kedua indung telurnya telah diangkat dan dia tidak akan bisa memiliki keturunan. HS menyatakan bahwa dia merasa dilema di tengah operasi karena menemukan tanda-tanda kanker pada indung telur S, sehingga dia memutuskan untuk mengangkat keduanya sekaligus tanpa persetujuan S. Hotman Paris Hutapea selaku kuasa hukum S mempermasalahkan persetujuan pasien terhadap prosedur operasi yang akan dilaksanakan. Hotman menyebut tim dokter tidak meminta persetujuan S dan mengobservasi lebih awal untuk menentukan apakah S benar-benar mengidap kanker atau tidak sebelum melakukan operasi.

Pelanggaran ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika kedokteran, terutama prinsip informed consent. Informed consent menuntut bahwa pasien harus sepenuhnya memahami prosedur medis yang akan dilakukan serta risiko dan manfaatnya sebelum menyetujuinya. Setiap prosedur medis yang bersifat invasif harus didiskusikan dan mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu. Tindakan medis invasif yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dapat dianggap sebagai tindakan pidana penganiayaan, terutama jika melibatkan penggunaan pembiusan.

Dalam kasus ini, proses pengangkatan indung telur dilakukan tanpa persetujuan yang tepat dari pasien yang bersangkutan. Keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan tidak hanya merupakan hak moral, tetapi juga suatu keharusan etis dalam praktik medis. Dalam Pasal 1320 KUHP pun disebutkan bahwa keputusan harus dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Pasien berhak secara hakiki atas tubuhnya, sehingga setiap tindakan (baik secara diagnostik, maupun terapeutik) harus didasarkan atas persetujuan pasien. Tanpa informasi yang lengkap dan persetujuan yang diberikan secara sadar oleh pasien, tindakan medis seperti ini tidak dapat dibenarkan. Tenaga kesehatan dianggap melanggar hukum dan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Ketidakpuasan pasien atau sengketa medis dapat timbul ketika dokter tidak memberikan penjelasan yang memadai kepada pasien atau keluarganya mengenai prosedur medis yang akan dilakukan. Hal ini menjadi lebih serius jika tindakan medis tersebut mengakibatkan kehilangan organ tubuh seperti yang terjadi dalam kasus ini.

Pasal 6 berbunyi bahwa Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Dokter yang lalai atas tindakan medis yang dilakukannya akan tetap bertanggung jawab.

Pasal 52 dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara khusus mengatur hak pasien terhadap informasi. Dalam konteks kasus ini, Pasal 52 huruf c Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa: “Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis”. Hak pasien ini ditegaskan kembali dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa: setiap pasien mempunyai hak: c, memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi. d, memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. e, memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.

Dalam kasus ini, dokter yang melakukan tindakan dianggap melanggar poin d karena tidak memberikan informasi yang lengkap kepada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan, dan poin e karena pasien mengalami kerugian fisik berupa kehilangan kedua indung telurnya, yang mengakibatkan tidak dapat lagi memiliki keturunan secara biologis.

Untuk menghindari terjadinya permasalahan yang serupa di masa depan dan merugikan lebih banyak pihak, maka faktor pemicu konflik seperti kurangnya komunikasi dan penjelasan yang memadai mengenai layanan dan tindakan medis harus diberikan secara tepat kepada pasien. Dokter sebagai penyedia layanan kesehatan perlu memperhatikan acuan seperti persetujuan tindakan medis (informed consent), rekam medis, dan hak-hak pasien.

Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan kode etik kedokteran dan perlindungan hak-hak pasien dalam setiap tindakan medis. Perlu dilakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap akar masalah dan menerapkan sanksi yang sesuai terhadap pelanggar. Selain itu, upaya pembinaan dan peningkatan kesadaran akan prinsip-prinsip etika kedokteran harus terus dilakukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Sebagai masyarakat, kita juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa praktik medis dilakukan dengan integritas dan menghormati hak-hak individu. Melaporkan pelanggaran etika kedokteran adalah langkah yang perlu diambil untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari tindakan medis yang tidak etis dan merugikan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip etika kedokteran tetap dipegang teguh dan dijunjung tinggi dalam setiap aspek praktik medis.

TIM PENULIS

Kelompok 4 Gizi 2022D

  • Alya' Fauziyyah (22051334127)
  • Athaillah Dihyan Wijaya (22051334149)
  • Shabir (22051334151)
  • Maulidiyah (22051334157)

Program Studi S1 Gizi

Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan

Universitas Negeri Surabaya

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun