Mohon tunggu...
Alvino Ahmad Nurrosiqin
Alvino Ahmad Nurrosiqin Mohon Tunggu... Digital Marketing Specialist

Digital Marketing Specialist dengan keahlian di bidang SEO, copywriting, dan strategi pemasaran digital. Berpengalaman dalam meningkatkan visibilitas bisnis melalui optimasi mesin pencari, periklanan digital, dan strategi konten.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menteri Seribu Alasan - Tabung Gas Menghilang, Bensin Oplosan, dan Nasionalisme Dipertanyakan

28 Februari 2025   15:05 Diperbarui: 28 Februari 2025   15:16 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri ESDM Terbaik, Bahlil Lahadalia - Jempol 2

Dalam dunia politik Indonesia, tak ada yang mustahil. Bahkan dengan IPK 2,7, seseorang bisa duduk di kursi kementerian strategis.

“Saya jujur IPK 2,7 S1, tapi jadi Menteri juga...” Wah benar sekali sih. Apalagi nilai hanyalah angka tidak akan menjamin seorang akan gagal atau sukses, melainkan kerja keras. IPK 2,7 memang sangat sulit untuk memasuki dunia kerja apalagi di Indonesia. Rata-rata tempat kerja membutuhkan minimal IPK 3,0 selisih 0,3 saja.

Masalahnya kerjanya sebagai apa? Kalau posisi biasa, ya wajar kalau ada standar minimal. Tapi kalau posisinya Menteri? Itu pertanyaan lain. 

Mungkin justru IPK rendah adalah tiket emas untuk jabatan strategis, asalkan memiliki kemampuan berbicara, mencari alasan, dan meyakinkan orang bahwa setiap kesalahan adalah hal wajar yang bisa dimaklumi. Lagipula, bukankah lebih mudah menyalahkan keadaan daripada mencari solusi?

Nah buat para pembaca khususnya mahasiswa, sangat disarankan untuk mendapatkan nilai IPK mendekati 2,7 kalau bisa kurang dan jangan lebih. Siapa tahu Anda menjadi menteri.

Gak perlu berusaha keras, 2,7 jadi menteri. (sumber: Instagram - motivasikusukses)
Gak perlu berusaha keras, 2,7 jadi menteri. (sumber: Instagram - motivasikusukses)

#KaburAjaDulu: Ketika Nasionalisme Dipermasalahkan

Ketika rakyat meneriakkan #KaburAjaDulu, sebagai bentuk kekhawatiran terhadap kondisi negara, Bahlil dengan sigap mempertanyakan nasionalisme mereka.

Ironisnya, justru di tangan pemimpin seperti inilah alasan untuk "kabur dulu" semakin masuk akal. Apakah nasionalisme hanya boleh dipertanyakan oleh mereka yang sedang berkuasa, sementara rakyat yang merasakan dampak kebijakan harus diam saja?

Dari "Raja Jawa" ke Raja Alasan

Tahun lalu, kita mendengar istilah "Raja Jawa" dari mulut Menteri Seribu Alasan. Kini, mungkin gelar yang lebih pas adalah "Raja Alasan." Setiap kebijakan yang bermasalah, selalu ada narasi pembelaan. Setiap kritik yang muncul, selalu ada dalih untuk menangkisnya.

Tapi tenang saja, rakyat pasti paham. Seperti biasa, kita hanya perlu bersabar dan menunggu alasan berikutnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun