Mohon tunggu...
M. Alvin Danial
M. Alvin Danial Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dedollarisasi dan Masa Depan Tatanan Moneter Global

2 Mei 2025   05:58 Diperbarui: 2 Mei 2025   05:58 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, sistem moneter global telah didominasi oleh satu kekuatan mata uang tunggal: dolar Amerika Serikat (USD). Melalui Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944, dolar bukan hanya menjadi alat pembayaran internasional, tetapi juga menjadi jangkar utama bagi stabilitas ekonomi global. Namun, seiring dengan perubahan geopolitik, geostrategis, serta ketidakstabilan finansial internasional, muncul gelombang baru yang menantang status quo tersebut: dedollarisasi. Fenomena ini merujuk pada upaya sistematis dari berbagai negara untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap dolar dalam transaksi ekonomi internasional. Dalam konteks kekinian yang ditandai oleh konflik geopolitik, sanksi ekonomi, dan ketimpangan struktural dalam sistem keuangan global, dedollarisasi menjadi tema sentral dalam diskursus tatanan moneter global masa depan.

Dominasi Dolar dalam Sistem Moneter Global

Dominasi dolar dalam sistem keuangan global tidak terlepas dari sejarah panjang dan legitimasi politik Amerika Serikat dalam tatanan dunia pasca perang. Pasca Bretton Woods, dolar tidak hanya menjadi alat tukar dalam perdagangan internasional, melainkan juga menjadi cadangan devisa utama bagi hampir seluruh negara di dunia. Bahkan setelah sistem Bretton Woods runtuh pada tahun 1971, dominasi dolar tidak surut; justru menguat melalui institusi-institusi seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang beroperasi dengan fondasi keuangan berbasis dolar.

Dominasi ini membawa implikasi yang kompleks. Di satu sisi, stabilitas dolar memberikan kepastian transaksi internasional dan menurunkan biaya perdagangan. Namun di sisi lain, ketergantungan terhadap dolar membuat banyak negara rentan terhadap kebijakan domestik Amerika Serikat, terutama kebijakan moneter dari Federal Reserve (The Fed) yang berdampak global.

Pemicu Dedollarisasi: Dari Geopolitik hingga Krisis Keuangan

Dedollarisasi bukan sekadar manuver ekonomi, tetapi juga merupakan respon politis terhadap dominasi tunggal Amerika Serikat. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh AS terhadap negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Venezuela telah memaksa negara-negara tersebut untuk mencari alternatif sistem pembayaran yang tidak melibatkan dolar. Hal ini memperkuat narasi bahwa dominasi dolar digunakan sebagai instrumen politik luar negeri AS.

Di samping itu, volatilitas pasar keuangan global yang sering dipicu oleh kebijakan The Fed, seperti kenaikan suku bunga acuan, menimbulkan instabilitas pada nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang. Pandemi COVID-19 dan konflik bersenjata seperti invasi Rusia ke Ukraina juga mempercepat proses pencarian alternatif moneter oleh banyak negara yang ingin menekan eksposur terhadap risiko eksternal.

Praktik Dedollarisasi di Berbagai Kawasan

Dedollarisasi telah diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan strategi di sejumlah kawasan. Tiongkok, misalnya, telah secara aktif mendorong penggunaan yuan dalam perdagangan bilateral, menciptakan sistem pembayaran alternatif bernama CIPS (Cross-Border Interbank Payment System), serta menandatangani berbagai kesepakatan swap mata uang dengan mitra dagangnya. Rusia, dalam menghadapi sanksi, beralih ke penggunaan rubel dan yuan dalam transaksi lintas batas, serta menjual cadangan devisa dolar mereka dan menggantinya dengan emas dan yuan.

Sementara itu, negara-negara di Global South seperti Brasil, Afrika Selatan, dan anggota ASEAN mulai mendorong kerja sama regional dalam sistem pembayaran dan penggunaan mata uang lokal. Upaya ini mencerminkan aspirasi negara-negara berkembang untuk membangun kedaulatan ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada dolar.

Dalam lingkup global, kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) telah mendiskusikan kemungkinan pembentukan mata uang bersama sebagai alternatif atas dominasi dolar. Walaupun implementasinya belum konkret, gagasan ini menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk menggeser lanskap keuangan internasional.

Negara-negara di kawasan Teluk juga mulai membuka diri terhadap penggunaan yuan dalam transaksi migas, terutama Arab Saudi yang menjalin kesepakatan baru dengan Tiongkok. Di sisi lain, pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) oleh beberapa negara besar memberikan alternatif teknologi baru yang dapat memperkuat sistem pembayaran lintas negara tanpa bergantung pada dolar.

Peluang dan Tantangan Menuju Tatanan Moneter Multipolar

Dedollarisasi membuka peluang bagi lahirnya sistem moneter global yang lebih multipolar dan berkeadilan. Dalam sistem ini, tidak ada satu mata uang yang mendominasi, melainkan terjadi diversifikasi penggunaan mata uang yang mencerminkan keseimbangan kekuatan ekonomi global. Sistem multipolar ini berpotensi menciptakan stabilitas baru dan memperkuat posisi tawar negara-negara berkembang.

Namun demikian, dedollarisasi juga membawa tantangan struktural. Sebagai contoh empiris, Venezuela mengalami kesulitan besar dalam mengimplementasikan sistem pembayaran alternatif setelah terkena sanksi ekonomi dari Amerika Serikat. Ketika negara tersebut mencoba menggantikan dolar dengan euro dan yuan dalam transaksi perdagangannya, keterbatasan akses terhadap sistem pembayaran internasional, kurangnya kepercayaan global terhadap mata uang lokal, serta rendahnya infrastruktur keuangan domestik membuat upaya dedollarisasi tidak berjalan optimal. Selain itu, upaya Tiongkok mempromosikan yuan dalam transaksi energi melalui kerja sama dengan negara-negara Teluk pun masih menghadapi resistensi dari mitra dagang yang lebih nyaman dengan stabilitas dolar. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa dedollarisasi bukan sekadar persoalan niat politik, tetapi juga berakar pada kesiapan struktural dan kepercayaan pasar global yang belum merata di seluruh kawasan. Pertama, fragmentasi sistem keuangan global dapat menimbulkan inefisiensi dan peningkatan biaya transaksi. Kedua, belum ada mata uang alternatif yang memiliki likuiditas, stabilitas, dan kepercayaan global setara dolar. Ketiga, banyak sistem pembayaran alternatif masih bergantung pada infrastruktur teknologi yang dikendalikan oleh negara-negara Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun