Di sepanjang 2017, ada 7 (tujuh) artikel yang saya kirim ke rubrik "Humaniora" Kompasiana. Kemudian, saya pilih menjadi 5 (lima) artikel dengan asumsi 'mewakili' hiruk-pikuk 2017 versi saya. Apakah ke-5 artikel itu konten terbaik se-Kompasiana dan sepanjang 2017?
Artikel Pertama: Puisi | Jangan Ketemu Dulu
Mengapa medium 'puisi' saya kirim ke rubrik "Humaniora", bukan ke rubrik "Puisi" atau ke "Fiksiana"? Argumen saya, karena dominan non-fiksinya alias fakta dan yang utama karena 'pesan' yang ingin saya sampaikan--semoga--humanis.
aduh, kawan, jangan ketemu dulu
nanti, kamu bercerita kekinian
yang kamu peroleh dari galian darahmu
sehingga kamu kini menjelma vampir
Bait kesatu dari empat bait itu, sungguh berulang terjadi, ketika bertemu dengan kawan dari SD (sekolah dasar) hingga PT (perguruan tinggi). Sungguh, saya seperti melihat 'vampir' di depan mata saya, meskipun dalam makna yang positif.
Ada yang rangkap jabatan; ada yang rangkap profesi; ada yang seperti balas dendam: karena sewaktu kuliah tidak pakai motor, maka anaknya yang baru SMP sudah dikasih motor; ada yang bekerja 'untuk' uang; bahkan sampai ke hobinya pun menghasilkan duit--saya menyebutnya si Raja Midas!
Bait kedua hingga keempat merupakan kekhawatiran sekaligus harapan saya. 'Kekhawatiran' karena saya ngeri dengan stigma pejabat kiwari (zaman now) ialah koruptor alias bukan pejabat kalau tidak korupsi. Kalau bukan pejabat, saya ngeri mereka menjadi dukun atau pengganda uang!
Adapun 'harapan' saya adalah (1) saya tidak berharap apalagi berdoa: bertemu dengan kawan di balik jeruji penjara; dan (2) ketika bertemu--sebuah momen yang sangat susah terjadi--karena hanya ingin omong 'sejarah' yang saya definisikan sandaran yang disusun dari senyuman masa kanak dan idealitas, suci pamrih.
Pertemuan antar-kawan, menurut saya, terpaksa harus melibatkan Tuhan. Karena masing-masing kita sering lupa detail sejarah kita sendiri; dan karena, konon, musuh orang pintar itu: pikun. Sungguh, kita butuh intervensi Sang Mahapintar!
Selanjutnya, lihat di sini.
Artikel Kedua: Puisi | Hati
Puisi dengan satu bait dan 314 kata ini tercipta pada tanggal 14 Februari 2017. Asosiasi "14 Februari" langsung merujuk Valentine's Day, Â apalagi materi puisi bercerita tentang 'hati'. Padahal, 14 Februari juga merupakan Hari Peringatan Pembela Tanah Air (PETA).
Bukan keduanya, karena proses penghimpunan materi puisi berlangsung cukup lama. Bisa dibilang puluhan tahun sebelumnya dan diharapkan berpengaruh hingga bertrilun tahun sesudahnya. Malah bisa jadi, data puisi merupakan catutan pancaindera dari sekitar saya alias puisi ini bukan kisah hati saya saja.
Ketika ditulis, mengalir saja. Subhaanallaah,  semoga apa yang ditulis adalah 'ilmu' Tuhan. Karena setiap mendefinisikan kata, kok selalu bermuara ke Tuhan? Silakan Anda susuri setiap kata, misal kata: kasih, kekasih, cinta, dan hati seperti judul puisi ini.
...
Hati kita satu
Hidup kita abadi untuk Yang Satu
Dialah sumber sedih-bahagia, Dialah Kekasih Sejati, Dialah Hati
Mungkin, kita telah menutup hati dari nur-Nya
...
Selanjutnya, lihat di sini.
Artikel Ketiga: Esai | Keren Versus Gairah
Nah ini juga, silakan Anda telusuri sejarah kata 'keren'. Kalau versi saya, ia (keren) itu mentok, hanya sampai level dunia alias profan, tidak sakral; tetapi ia telah 'berjasa' kepada saya dengan menunjukkan antitesis atau antonimnya: 'gairah'.
Sebelumnya, saya memohon maaf kepada Irfan Bachdim (IB)--yang saya sebut namanya dan dijadikan contoh--jika dianggap 'model' negatif. Maksud saya, kita atau penggemar selalu melihat (menilai) orang (terutama figur publik, tokoh) karena kekiniannya, karena hasilnya, bukan prosesnya. Kita tidak tahu bagaimana 'proses' IB menjadi sekarang. Tahu-tahu, kita memberi nilai: "IB itu keren!" Kebetulan, IB bertato; ini membuat miris saya.
Saya pun berterima kasih kepada IB karena telah menginspirasi saya menulis esai dengan 9 alinea dan 455 kata ini. 'Kisah' IB itu mengingatkan saya, meskipun hipotesis (belum konklusi), justru--kiranya--Tuhan menilai proses selama kita hidup, bukan hasil alias akhir hidup kita. Karena soal hasil, Tuhan telah tahu sejak zaman primordial (4 bulan di kandungan ibu) kita, yakni apakah happy ending (masuk surga) atau tertawa sekarang, mewek nanti (masuk neraka)? Tuhan ingat ini, kita yang lupa!
Selanjutnya, lihat di sini.
Artikel Keempat: Esai | Relaksasi Beragama
Esai dengan 14 alinea dan 722 kata ini merupakan respons terhadap 'pengaminan' wacana "relaks dalam beragama" oleh Menteri Agama RI (Menag) Lukman, atasan saya. Tujuan esai ini adalah saling mengingatkan (sesuai Qs 103: 3).
Tentu, maksud Pak Menag adalah jangan jadi 'pemarah', tapi 'peramah' dalam beragama, yakni dikit-dikit marah, kesinggung dikit: persekusi! Karena memang tren saat esai ini ditulis, konstelasi kehidupan beragama kita masih 'panas', apalagi jika ditarik ke "212" (2 Desember 2016).
Namun, sebagai penyuluh agama di lapangan (ujung tombak Pak Menag), ucapan 'apa' pun; baik bernada 'meredakan', apalagi 'ngomporin', Â akan (selalu) berdampak negatif karena akan diselidiki 'siapa' pencetus wacana tersebut. Saat itu, umat beragama sudah apriori.
Alhamdulillaah,  wacana tersebut sekadar angin lalu. Meskipun demikian, esai saya ini keukeuh akan saya 'hidupkan' terus karena fakta: Setan online 24 jam nonstop goda kita dan iman kita fluktuatif! Semoga Pembaca budiman mendukung saya, hehe,  terima kasih.
Selanjutnya, lihat di sini.
Artikel Kelima: Esai | Rahasia Umum
Esai ini merupakan anotasi terhadap lagu "Bukan Rahasia" ciptaan Ahmad Dhani, pentolan Dewa 19, pada tahun 2002, dan dinyanyikan Once.
Ada 12 baris dari lagu itu yang saya komentari. Seiring waktu, ternyata komentar saya bertambah karena ditemukannya data 'baru' tentang lagu itu, maka saya tulis lanjutannya dengan judul "Lelaki Pemimpi(n)" (lihat di sini)
Namun, aksentuasinya berbeda. Esai "Rahasia Umum" ini saya masukkan ke rubrik "Humaniora" karena saya ingin memotret sisi manusiawi kita sebagai penguasa, pemimpi, makhluk yang sedang hidup di dunia, dan sebagai pencinta. Sisi humanis kita ini telah diketahui bersama alias sudah menjadi rahasia umum.
Sedangkan esai "Lelaki Pemimpi(n)", saya masukkan ke rubrik "Gaya Hidup" dengan spesifik gender lelaki (laki-laki), yakni 'gaya' sekelas Ahmad Dhani, Freddie Mercury, dan John Lennon pun 'begitu', apalagi kita yang hanya sebagai orang 'biasa'.
Justru yang membuat miris saya adalah fenomena bahkan tren sejak era "Love 'n Peace"--sebagai reaksi anti-Perang Vietnam (1957-1975)--adalah sisi humanis kita yang 'liar' (bohemian) Â muncul dan mewabah hingga zaman now. Ini berhasil direkam oleh lagu Ahmad Dhani itu.
Yang berbahaya adalah jika cinta kita bertepuk sebelah tangan, maka Lennon menjadi 'pemimpi' (penghujat Tuhan dengan lagunya, "Imagine"), Mercury jadi LSL (lelaki suka lelaki), malah biseksual, dan mati karena terkena HIV/AIDS; serta Dhani selingkuh ...
Dirangsang oleh lagu Ahmad Dhani itu dan sinkron dengan 'bertingkahnya' presiden baru USA (Donald Trump), saya membuat 'tag':  cintai lawan jenismu. Tag ini buat perempuan. Adapun tag untuk Trump: cintai lawan (jenis)-mu!
Esai "Rahasia Umum" ini bertujuan untuk saling mengingatkan bahwa hidup kita mah  yang pasti2 azza: bukan mimpi, tapi cita-cita; bukan obsesi, tapi misi ... .
Selanjutnya, lihat di sini.
Kesimpulan
Jika mengacu pada definisi 'humaniora'--sebagai (1) ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni, dsb; atau (2) makna intrinsik nilai-nilai humanisme (KBBI)--maka usaha kurasi ini representatif untuk disajikan, terlebih untuk tahun 2017, kita mendapat jargon baru: "Zaman now".
Saya kira, kelima artikel itu telah cukup menguraikan apa, bagaimana, dan mengapa zaman now kita.
Soal profil saya (lihat: https://www.kompasiana.com/aluzar_azhar), sebenarnya, sejak 1992 memublikasi tulisan, saya lebih suka anonim atau pakai pseudonym (nama samaran). Namun karena 'aturan' Kompasiana, ketahuan deh ..., hehe.
Ujungberung, 12 Januari 2018.