Mungkin, asumsi 'pemaksaan' harus #saleh dari agamawan kepada saudara seagama dan sesama manusia-nya itu dilandasi kisah gegana Nabi tersebut serta KITA telah sepakat bahwa doktrin agama tidak memaksa untuk memeluk agama yang sama, namun doktrin agama 'memaksa' kesadaran seluruh umat manusia---yang sering dilupakan karena 'rayuan' dunia---untuk tahu diri bahwa Pemilik agama (Tuhan) telah tahu nasib akhir masing-masing manusia. Jadi, agamawan sekadar mengimbau saudaranya  untuk selalu sadar diri, untuk selalu menyayangi diri-sendiri; selagi hidup di bumi untuk bekal nanti.
Memang harus 'ngotot'. Ajak-mengajak itu harus pantang menyerah. Yang efektif dimulai dari diri-sendiri demi menjelma teladan yang baik (uswah hasanah), sehingga tanpa 'diajak', sekitaran mengikuti.
Otot-ngotot itu jangan lantas diartikan represif seperti yang selalu dilakukan suatu rezim di saat berkuasa. Di sini diartikan 'antitesis' dari janji Setan yang akan selalu merayu---menyesatkan---umat manusia hingga akhir zaman. Hebatnya, cara Setan itu introjektif; berbeda dengan agama yang indoktrinatif, sehingga agama dinilai 'jahat'; melanggar HAM, katanya.Â
Padahal seluruh umat manusia di muka bumi ini sepakat bahwa musuh yang nyata itu ialah Setan. Waduh, pintarnya Setan, KITA sering dibikin tak sadar: eh, mau-maunya kita jadi teman Setan. Itulah, kalau tak hariweusweus (Sunda: stres) menghadapi Setan, kita akan terlena. Apabila kita relaks dalam menghadapi Setan, tentulah musuh yang pintar-cantik/ganteng ini akan berbahagia hingga tujuh turunan kita. Na'uudzubillaahimindzaalik!
Ujungberung, 21 Juli 2017, 03.23.