hijau adalah warna yang identik dengan alam yang indah, banyak orang menyukai warna hijau, begitu pula dengan Hilmy, tapi "hijau" yang satu ini punya tempatnya sendiri dihati seorang Hilmy.
Hilmy adalah seorang mahasiswa bertubuh tinggi dengan pembawaan tenang dan bersahaja. Ia bukan tipe orang yang mudah mengekspresikan perasaan lewat kata-kata, tapi siapa pun yang mengenalnya pasti tahu satu hal: cintanya pada PSS Sleman tidak main-main. Dalam hidupnya yang tampak sederhana, ada satu hal yang ia peluk erat dan tak pernah dilepaskan---klub kebanggaan asal Sleman itu.
Saya mengenalnya sejak lama. Kami tumbuh bersama, berbagi banyak cerita, canda, dan masa muda. Tapi ada satu sisi Hilmy yang selalu membuat saya kagum---kesetiaannya yang luar biasa terhadap PSS. Ia bukan sekadar penggemar sepak bola. Hilmy adalah seorang suporter sejati. Baginya, PSS bukan hanya klub. Ia adalah napas, identitas, bahkan bagian dari jiwanya.
Cinta itu bersemi sejak ia duduk di kelas 5 SD, sekitar tahun 2017. Masih sangat muda waktu itu, tetapi pandangannya tentang sepak bola sudah jauh melampaui anak-anak seusianya. Bukan karena idolanya adalah seorang pemain bintang, bukan pula karena terpesona trofi atau gelar juara. Cintanya pada PSS dimulai dari satu pengalaman: menyaksikan kekompakan para suporter dari tribun.
"Melihat kekompakan mereka itu luar biasa," katanya pada suatu hari. "Aku merasa ada ikatan dengan para suporter, terutama BCS."
Suara drum, chant lantang, gerakan yang serempak---semuanya membekas dalam ingatannya. Dalam keramaian itu, Hilmy merasakan rumah. Sebuah tempat di mana ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Sejak hari itu, cintanya tumbuh dan tak pernah surut. Ia mulai mengikuti perjalanan PSS, jatuh bangun klub, hingga momen-momen yang membuat jantung berdetak cepat dan air mata jatuh tanpa disadari. Salah satu kenangan paling berkesan baginya adalah saat PSS promosi ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia di Stadion Maguwoharjo---momen yang ia sebut sebagai "hari kebanggaan yang tidak akan pernah hilang dari kepala."
Kecintaannya bahkan membawanya menempuh perjalanan jauh sebagai suporter. Ia pernah ikut away ke berbagai kota demi mendukung PSS. Salah satunya, ke Tangerang. Cerita-cerita perjalanannya selalu ia bagikan dengan sederhana, tapi setiap kata memuat emosi yang dalam.
"Banyak cerita yang terjadi di perjalanan. Saya sampai kehujanan pulangnya, malah kebablasan sampai Surabaya juga, haha," katanya sambil tertawa.
Tapi di balik tawa itu, ada pengorbanan besar yang tidak semua orang tahu. Hilmy pernah menjual hampir semua barang pribadinya---jersey, sepatu, hingga jaket---demi bisa ikut mendukung PSS di laga tandang. Sebagai mahasiswa, itu tentu bukan keputusan mudah. Tapi baginya, semua itu sepadan.
"Saya lakukan karena cinta," katanya dengan mantap.
Cinta itu juga yang membuatnya bertahan saat PSS sedang berada di titik terendah. Musim ini, misalnya, saat kekalahan datang bertubi-tubi, manajemen kacau, dan ancaman degradasi terasa nyata, Hilmy tetap datang ke stadion. Tetap menyuarakan dukungan. Tetap berdiri di tribun yang sama.
"Kecewa, sedih, iya. Tapi pemain bisa datang dan pergi. Kita, suporter, akan selalu ada," ujarnya.
Satu hal yang tidak pernah berubah darinya adalah prinsip "ora muntir". Hilmy percaya bahwa suporter sejati tidak hanya hadir saat tim berjaya, tapi juga saat tim terpuruk. "Kalau cuma soal trofi, saya mungkin sudah kelain hati," katanya. Tapi tidak. Ia tetap bertahan, bahkan ketika harapan terasa seperti fatamorgana.
Yang menarik, dukungan Hilmy tidak hanya datang dari dirinya sendiri. Keluarganya pun memahami dan menerima pilihannya. Bahkan, kadang ingin ikut ke stadion. "Tabrak semua yang menghalangi, hahaha," ujarnya bercanda. Tapi dari canda itu, saya tahu: ia serius. Ia tidak ingin ada satu pun yang menghalangi cintanya pada PSS.
Di kehidupan sehari-hari, PSS adalah denyut nadi bagi Hilmy. Ia membaca berita tentang klub setiap hari, mengikuti rumor transfer, drama manajemen, bahkan statistik pemain. Dan tak jarang, ia memberikan kritik tajam.
"Kalau musim depan masih bertahan, manajemen dan pemain harus dirombak. PSS itu punya marwah. Semua yang terlibat harus punya rasa dalam mengemban tugasnya," katanya dengan nada serius.
Mencintai klub bukan sekadar soal hadir di stadion. Bagi Hilmy, itu tentang memiliki harapan setiap awal musim, meski tahu bisa jadi berakhir dengan luka. Itu tentang berdiri teguh bahkan saat tim berada di dasar klasemen.
Saya pernah bertanya, "Kalau suatu hari PSS benar-benar terdegradasi, kamu masih akan mendukung?"
Hilmy hanya tersenyum kecil, lalu tertawa pelan. "Itu tidak perlu dijawab. Sudah jelas."
Di akhir percakapan, saya memintanya memberikan satu kalimat untuk menggambarkan perasaannya pada PSS. Ia diam sejenak, menatap langit senja, lalu menjawab:
"Mencintai PSS adalah seni kesetiaan yang tidak dimiliki semua orang. PSS Sleman sekonyong-konyong koder."
Dan untuk para suporter lain yang mungkin mulai goyah, mulai lelah, Hilmy berpesan:
"PSS Sleman terpuruk bukan hanya hari ini. Dulu juga pernah. Tugas kita adalah terus mendukung. Nanti pasti ada harapan."
"Man jada wa jada."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI