Mohon tunggu...
Al Mujizat
Al Mujizat Mohon Tunggu... Penggiat Sustainability

Mempraktikkan, menulis dan melatih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Infaq yang Tak Kembali ke Umat

13 Oktober 2025   05:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   05:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang tunggu rumah sakit, seorang ibu menunduk. Matanya kosong. Di pangkuannya, anak laki-lakinya terbaring lemah. Biaya pengobatan katanya ditanggung BPJS. Tapi ia tetap harus memikirkan ongkos pulang-pergi, biaya makan selama menunggu, dan obat yang tak masuk daftar jaminan. Uang di dompetnya tinggal recehan. Dan suaminya --- satu-satunya tulang punggung keluarga --- sudah dua minggu tak bekerja karena sakit. Pendapatan hilang. Tabungan tak ada. Pertanyaan yang terus berputar di kepalanya hanya satu: mau makan apa hari ini?

Di rumah petak sempit di pinggiran kota, seorang bapak duduk diam di teras. Tangannya memegang sebatang rokok yang sudah padam sejak tadi. Ia kehilangan pekerjaannya setelah pabrik tempatnya bekerja tutup. Setiap pagi ia keluar rumah, entah untuk apa, lalu pulang dengan wajah lebih kosong dari sebelumnya. Di rumah, anak-anaknya menunggu kabar yang tak pernah datang: ayah membawa uang.

Di gang kumuh yang becek, anak-anak kecil berjalan menyanyi sumbang. Mereka mengamen bukan karena hobi, tapi karena tahu: kalau tidak, dapur tak akan mengepul malam ini. Di rumah sebelah, seorang lansia menahan nyeri karena tak mampu menebus resep dokter. Sementara itu, di ujung kampung, antrean panjang mengular setiap kali sembako murah dibagikan. Ada yang menunggu sejak subuh, ada yang pingsan karena belum sarapan.

Begitulah potret kehidupan sehari-hari di negeri ini. Di balik deretan mal mewah, gedung pencakar langit, dan statistik ekonomi yang katanya membanggakan, jutaan orang masih bergulat dengan pertanyaan sederhana: bagaimana bertahan hidup hari ini? Bukan soal gaya hidup, bukan tentang cita-cita besar. Hanya soal makan tiga kali sehari. Hanya soal anak bisa sekolah. Hanya soal tidak sakit --- atau kalaupun sakit, masih bisa berobat.

Masalah sosial di negeri ini tidak pernah habis. Kemiskinan, pengangguran, biaya kesehatan, ketimpangan pendidikan, semuanya seperti mata air yang terus mengalir tanpa henti. Dan kita, entah kenapa, selalu menatap ke atas setiap kali membicarakan solusi. Pemerintah. Negara. APBN. Seolah-olah semua jalan keluar hanya bisa datang dari sana. Padahal kita tahu: pemerintah tidak selalu hadir. Jangkauannya tak merata, birokrasi lamban.

Bahkan untuk urusan paling sederhana --- membantu tetangga sendiri --- kita menunggu "program dari atas".

Padahal ada kekuatan besar yang selama ini berdiri tepat di depan mata. Ia ada di setiap kampung, di setiap jalan besar, di setiap sudut kota. Kadang kita lewati tanpa sadar. Kadang kita kunjungi lima kali sehari. Kadang kita banggakan. Tapi jarang kita pikirkan potensinya. Ia bernama masjid.

Indonesia punya lebih dari 800 ribu masjid dan musala --- terbanyak di dunia. Kalau Anda berjalan kaki lima menit dari rumah, kemungkinan besar akan menemukannya. Di kota besar, jarak antar masjid kadang kurang dari 500 meter. Di kampung, satu RW bisa memiliki dua atau tiga masjid sekaligus. Ia bukan sekadar bangunan --- ia adalah institusi sosial yang paling dekat secara geografis dengan masyarakat. Tapi pertanyaannya: apakah kedekatan itu berarti?

Sayangnya, tidak selalu. Banyak orang datang ke masjid hanya untuk salat. Setelah itu pulang, membawa kembali masalahnya: utang, biaya sekolah, biaya berobat, beban hidup. Mereka tidak datang ke masjid untuk mencari solusi --- karena mereka tahu, masjid tidak menyediakan solusi.

Ini ironis. Karena setiap pekan, setiap bulan, uang dikumpulkan dari masyarakat. Dari infak Jumat, kotak amal, zakat fitrah, sumbangan tetap, donasi rutin. Jumlahnya tidak kecil. Kadang jutaan, kadang puluhan juta. Tapi ke mana uang itu pergi?

Sebagian besar kita sudah tahu jawabannya: membayar listrik dan air, honor imam dan marbot, membersihkan karpet, memperbaiki pengeras suara, merenovasi kubah, dan sesekali memberi santunan anak yatim --- biasanya saat Ramadan. Sisanya disimpan sebagai saldo. Lalu selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun