Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dosa-Dosa Besar Jokowi

29 Agustus 2020   09:54 Diperbarui: 30 Agustus 2020   20:29 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                                                                                                                  Dokpri

                                                                                                                                                     Dokri

Dulu Presiden Joko Widodo yang akrab dengan panggilan Jokowi sangat memukau. Semasa menjabat Walikota Solo, kekaguman atas prestasi dan gaya kepemimpinan Beliau dibicarakan dari mulut ke mulut dan viral di pelbagai media. Prestasi Beliau yang paling viral ketika itu adalah development proto type Mobil Esemka.

Ketika menjabat sebagai Gubernur DKI berpasangan dengan Ahok (Basuki Tjahja Purnama), kharisma Beliau tambah mencuat. Kharisma ini tambah mencuat lagi ketika berduet dengan JK sebagai Wapres dalam periode 2014 - 2019. Sayangnya kharisma dan pesona Jokowi mulai menurun pada awal masa jabatan Presiden Jokowi - Ma'ruf Amin. 

Lebih miris lagi, Wabah Pandemi Korona mengungkap sisi lain dari sosok Presiden Jokowi. Beragam kebijakan dan pernyataan Beliau dalam kondisi Korona yang masih sangat parah sejauh ini memperlihatkan gaya kepemimpinan Tut Wuri Handayani. 

Gaya kepemimpinan Tut Wuri Handayani ini dalam pengertian universal adalah Gaya kepemimpinan lemah atau a weak leadershi style. Gaya kepemimpinan yang lebih banyak mendengarkan dan bekerja atas saran dan nasehat para menteri kabinet dan para pejabat negara yang lain.

Gaya ini paling tepat jika berpasangan dengan sosok wakil yang memiliki gaya Strong Leadership seperti Ahok dan JK. Selain itu, gaya kepemimpinan nasional yang lemah ini masih dapat sukses jika diterapkan dalam sistem presidensiil utuh. 

Maksudnya seorang presiden memiliki hak prerogatif penuh dalam memilih dan memberhentikan para menteri kabinet dan para pejabat tinggi negara yang lain.

Kondisi Presiden Jokowi sekarang lebih tepat dikatakan sebagai A Right Man In The Wrong Place. Kondisi ini juga mendorong banyak pihak mengevaluasi kembali capaian kerja sosok Wong Solo ini yang tadinya juga viral dengan narasi Kerempeng Tenaga Banteng. 

Penulis, misalnya, melihat ada kesalahan besar Presiden Jokowi selama masa pemerintahan jilid 1 dan tetap berlanjut dalam jilid 2 sekarang ini. Kesalahan besar, jika tidak ingin dikatakan sebagai sangat besar, dan oleh karena itu dapat dikatakan sebagai dosa besar. 

Dosa besar karena Presiden Jokowi gagal dan/atau abai dalam melaksanakan perintah konstitusi UUD45 untuk memelihara seluruh fakir miskin dan anak terlantar. Presiden Jokowi juga gagal dan/atau abai atas perintah konstitusi untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia. 

Lihatlah beberapa contoh fakir miskin yang ditelantarkan oleh Jokowi. Misal, lihat Video kasus Bang Dani dibawah ini. 

Bang Dani adalah pemulung di kawasan Kecamatan Bojong Gede, Bogor. Nama lengkapnya adalah Mardani dan memiliki dua anak yang masih sekolah. Bang Dani yang sangat miskin ini tidak terdaftar sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM) berbagai program bantuan sosial pemerintah seperti BLT Desa, PKH, dan BPJS. 

Ini pernyataan langsung Bang Dani.

Ini rumah kontrakan Bang Dani yang sangat sederhana dan sangat kumuh.

Ini warga lain dalam rumah kontrakan Bang Dani Itu. Ibu-ibu yang sangat membutuhkan bantuan pemerintah untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebagian anak mereka tidak sekolah lagi karena tidak ada biaya hidup dan biaya sekolah.


Ada lagi Mas Iyan (nama panggilan), seperti yang penulis sajikan pada tayangan Kompasiana beberapa waktu yang lalu dan berjudul Kasihan, Fakir Miskin Ini Ditelantarkan oleh Negara. 

Mang Iyan bekerja sebagai tukang servis alat-alat rumah tangga dan tentu saja baru dapat uang jika ada permintaan servis. Derita Mang Iyan tambah berat karena selama Pandemi Covid-19 order servis itu sangat kurang. Dapat upah 300 ribu rupiah sebulan sulitnya minta ampun. 

Sama seperti ditulis dalam artikel diatas, mang Iyan dengan tiga anak yang masih sekolah tinggal bersama ibunya yang jualan gado-gado dalam gang sempit di desa Bojong Gede Bogor. Disini ditulis juga bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan yang sangat sederhana.

Selanjutnya dikatakan bahwa mang Iyan pernah mendengar ada program BLT Desa dan ada program Bansos PKH. Mang Iyan tidak pernah terdaftar sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos pemerintah dan dengan demikian Mang Iyan, tiga orang anaknya, dan ibunya belum memiliki kartu BPJS Kesehatan.

Ini video Kang Iyan yang bernama lengkap Yan Kurniawan.


Nasib malang yang serupa juga menimpa Bang Udin. Pemulung di Kecamatan Bojong Gede Bogor ini yang memiliki lima anak dan tiga diantaranya masih usia sekolah juga tidak pernah menerima bantuan sosial apa pun baik dari pusat maupun pemerintah daerah. Tidak pernah menerima PKH, tidak pernah menerima BPNT, BLT, dan lain sebagainya.

Dengan penghasilan sebagai pemulung yang kurang dari Rp500 ribu per bulan Bang Udin dan keluarga juga tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan. Ini video Bang Udin pemulung itu.


Sedangkan ini lebih menyedihkan sekali. Fisik yang renta, sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja sama sekali. Tidak pernah terdaftar sebagai KPM BLT dan Keluarga Harapan dan/atau Bansos apapun dari Pemerintah.

Secara lebih umum, penulis sangat yakin bahwa orang-orang yang senasib dengan mereka-mereka yang disebutkan diatas, fakir miskin dan ditelantarkan oleh negara, jumlahnya sangat banyak. Intuisi penulis mengatakan itu dalam hitungan jutaan atau bahkan puluhan juta orang.

Dosa tak berampun Presiden Jokowi kedua terkait dengan perintah konstitusi negara kita. UUD45 memerintahkan negara untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia. Perintah yang tertuang dalam Pasal 34 UUD45 ini disanggupi oleh Presiden Jokowi yang dituangkan dalam Program Nawa Cita Jokowi - JK (2014 - 2019). Cita Kelima dari Sembilan Cita itu adalah:

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan..... dst.


Kesanggupan Jokowi ini juga dinyatakan kembali dalam kampanye Pilpres 2019. Disini Beliau berjanji akan fokus pada penguatan sumber daya manusia (SDM) untuk mendorong agar bangsa ini memiliki SDM yang unggul, yang produktif, dan memiliki daya saing yang tinggi di tingkat nasional maupun global. Dengan kata lain Beliau berjanji untuk mencerdaskan bangsa ini dengan meningkatkan mutu keluaran pendidikan mulai dari pendidikan dasar dan menengah hingga ke pendidikan tinggi. 

Janji-janji tersebut gagal dan/atau abai dilaksanakan oleh Presiden Jokowi. Dalam era Reformasi, 2000 - hingga saat ini, siswa Indonesia jangankan bertambah cerdas tetapi sebaliknya bertambah bodoh. 

Menurut data Bank Dunia 2018 (dalam Chrismiadji 2020) 55,4 persen siswa Indonesia buta huruf secara fungsional. Maksudnya membaca dan menghafal jago tetapi tidak mengerti dengan apa yang dibacanya. Disini posisi Indonesia jauh lebih rendah antara lain dari posisi negara Vietnam.

Selain itu kemampuan literasi siswa Indonesia di tahun 2018 sangat memprihatinkan.  Skor  Literasi PISA Indonesia (371) justru berada di bawah skor tahun 2012 yang 396. Lebih menyedihkan lagi, untuk kategori Literasi ini kita berada di urutan ke 75 dari 80 negara. Apa bisa bersaing di kandang sendiri saja? 

Haedeuh. Presiden Jokowi kelihatannya tidak begitu ambil peduli tentang ini. Presiden Jokowi (Kemendikbud?), menurut Charismiadji (2020) hanya menargetkan peningkatan Skor Literasi PISA Indonesia pada angka 396 diakhir masa periode jilid dua ini (tahun 2025). Selama masa jabatan lima tahun kedua ini, pemerintah hanya berani menetapkan target yang masih rendah dengan yang sudah dicapai oleh Malaysia di tahun 2018. 

Peta Jalan Pendidikan (Road Map) Indonesia, yang kemarin didiskusikan pada Webbinar FISIP UI, juga sangat kacau. Peta Jalan yang baik harus berisikan tiga elemen utama. Posisi saat ini, apa yang akan dicapai, dan bagaimana cara mencapainya. Peta Jalan Pendidikan Indonesia tersebut tidak mencerminkan tiga unsur termaksud dan oleh karena itu tidak akan berguna untuk membuat bangsa ini lebih cerdas. 

Dengan demikian temuan lembaga kajian pendidikan internasional yang sangat mengiris-iris bahwa  generasi muda Indonesia hanya mampu bersaing di abad ke 31 dengan kapasitas abad 21, patut kita perhatikan secara sungguh-sungguh.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun