Beberapa data valid menunjukan bahwa areal hutan yang hangus dalam kisaran 8 sampai 10 juta hektar, kurang lebih 40.000 orang dirawat jalan atau inap di rumah sakit dan banyak korban jiwa, pariwisata terdampak parah, dan estimasi kerugian ekonomi kawasan Asia Tenggara mencapai US10 miliar.Â
Mengingat dampak buruk berskala regional yang demikian parah,  Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ketika itu menyetujui pembangunan sistem peringatan awal Regional Haze Action Plan (RHAP) 1998. Tujuan utama dari RHAP ini adalah untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap dengan memperbaiki kebijakan dan penanganan bencana, misalnya penerapan Fire Danger Rating System (FDRS).
Di samping RHAP ini, Malaysia dan Indonesia juga menandatangani Nota Kesepahaman Kerjasama dan Saling Membantu Dalam Penanggulangan Bencana. MoU ini ditandatangni oleh  Ketua Mesyuarat Jawatankuasa Tertinggi Pengurusan Bencana Pusat, dari pihak Malaysia, dan  Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS-PB), dari pihak Indonesia.
Sayangnya, RHAP dan MoU IndoMalay itu terkesan tidak jalan. Karhutla besar terjadi kembali di tahun 2015, walaupun tidak sebesar tahun 1997. Luas areal yang terbakar dalam kisaran 2 hingga 3 juta hektar. Penulis ingat beberapa tayangan seru kegiatan pemadaman Karhutla dan pengurangan kabut asap di tahun ini. Ini mencakup hilir mudiknya pesawat udara Rusia dengan drum-drum air yang diambil air sungai Musi untuk dijatuhkan di titik-titik kebakaran di Sumatera Selatan.
Presiden Jokowi juga tak kalah sibuknya meninjau lokasi kebakaran di Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Kalimantan. Gambar dibawa ini memperlihatkan ketika Presiden Jokowi meninjau Karhutla di Sumsel. Tampak Gubernur Sumsel ketika itu, Alex Nurdin. Di belakang Jokowi ada pejabat dari kepolisian dan TNI ABRI
Dibawah ini adalah gambar Presiden Jokowi meninjau lokasi kabut asap dan Karhutla di Kalimantan Selatan.
Kabut asap tebal juga menyelimuti sebagian besar Sumatera dan Kalimantan serta juga menggelapkan kembali Malaysia dan Singapura. Pemerintah dan masyarakat Malaysia dan Singapura kembali melancarkan protes ke Indonesia.
Penulis yakin jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah ketika itu lagi-lagi kembali menyiapkan dan/atau melaporkan berbagai program dan kegiatan Anti Kabut Asap dan Karhutla. Ini disebabkan karena musim kemarau pasti terjadi setiap tahun. Tinggal yang terjadi apakah hanya kemarau pendek, panjang, atau sangat panjang yang setara dengan El Nino seperti tahun 1997, 1967, dan 1959/60.Â
Namun sayangnya, perhatian Jokowi atas program dan rencana aksi tersebut terkesan tidak begitu besar. Tidak begitu besar dibandingkan dengan program dan kegiatan rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, pasar rakyat, dan listrik.Â