Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kabinet Jokowi-Maruf Amin & Program Anti Kabut Asap dan Karhutla?

22 September 2019   19:20 Diperbarui: 23 September 2019   10:35 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: JokowiMa'ruf (Detik); Kabut asap Riau (Bisnis.Com), dan Kabut Asap KL (SindoNews.Com)

Kabut asap. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Dua bencana alam yang bergandengan terus berulang di negara kita ini. Penulis merasakan ini sejak kanak-kanak berumur sekitar enam atau tujuh tahun. Itu terjadi semasa pembrontakan PRRI/Parmesta di Sumatera Selatan di tahun 1959/60. Jadi, itu terjadi sekitar 58 atau 59 tahun yang lalu.

Penyebab utamanya adalah kemarau panjang yang seingat saya sekitar sembilan bulan. Penyebab lain, saya kira, bersumber dari dampak kontak senjata, dan/atau sengaja dibakar oleh kedua belah pihak sebagai strategi perang,  antara separatis PRRI/Parmesta dengan TNI/ABRI. Belum ada korporasi perkebunan kelapa sawit waktu itu.

Ketika itu, rakyat umumnya sangat menderita. Kekeringan, kepanasan, dan kelaparan yang dulu dikatakan sebagai HO terjadi di mana-mana. Bantuan pangan dan obat-obatan juga rasanya tidak ada. Dalam suasana yang serba kacau tersebut jelas tidak ada upaya dari baik dari pemerintah maupun sesama rakyat untuk memadamkan api. 

Sbetulnya , seingat penulis, kegiatan pembakaran hutan untuk dijadikan kebun karet terjadi setiap tahun. Ketika itu belum ada demam sawit. Tapi, tidak menimbulkan kebakaran yang meluas. Itu dapat dikendalikan berdasarkan kearifan lokal. Ini termasuk pembakaran lahan dan hutan dilakukan ketika kemarau dan hawa panas belum begitu tinggi. Juga, masing-masing petani karet itu takut dikapak (dibacok) sampai mati  oleh orang (-orang) yang kebun karet dan/atau lahan-nya ikut terbakar. 

Barusan ada Kompasianer, Bung Stev, tayang artikel bertema Karhutla. Disini dikatakan bahwa menurut arsip berita Kompas, edisi 2 November 1967, kabut asap akibat kebakaran hutan menggelapkan kota Palembang dan menghentikan lalu lintas di Sungai Musi ketika itu. Kelihatannya kabut asap dan Karhutla terjadi kembali di tahun 1967.

Ingatan penulis kemudian beralih ke tahun 1997. Waktu itu penulis dipanggil pulang ke Palembang karena Ibu masuk ICCU karena sesak napas akut (sekarang mungkin ISPA). Tidak ada pesawat yang terbang ke sana sejak beberapa minggu terakhir karena tebalnya kabut asap menyelimuti kota Palembang dan sekitarnya. Kabut asap dikarenakan kebakaran hutan dan lahan juga menyelimuti wilayah Jabodetabek.

Penulis terpaksa naik bus dari Terminal Kalideras, Tangerang. Terlihat, banyak sekali sisa-sisa Karhutla di sepanjang jalan dari Provinsi Lampung hingga ke Provinsi Sumatera Selatan.

Dan, yang sangat menyedihkan dan tidak mungkin terlupakan, penulis tidak sempat berbicara dengan Bunda lagi. Beliau sudah koma sejak kemarin-nya dan menghembuskan napas terakhir dalam pelukan penulis beberapa saat setelah kehadiran penulis. 

Gejolak politik dan ekonomi sangat genting ketika itu. Suara reformasi untuk menurunkan Presiden Soeharto bergema setiap menit. Sangat sedikit, jika ada, tayangan Karhutla di layar kaca Tv waktu itu yang juga antara lain disebabkan baru ada beberapa Tv swasta dengan kontrol yang sangat ketat dari pemerintah. Selain itu, umumnya publik berpendapat bahwa Karhutla di masa itu bersumber dari kemarau panjang ekstrim atau EL Nino. Jarang terdengar , jika ada, suara-suara yang mengatakan bahwa itu disebabkan oleh ulah korporasi perkebunan besar.

Selain Indonesia sendiri, ada lima negara tetangga yang juga menderita akibat Karhutla Indonesia 1997 itu. Mereka itu adalah Vietnam, Brunei, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Wilayah Malaysia adalah yang terdampak paling parah.

Sehubungan dengan itu, Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, bersuara sangat nyaring dan segera menerjunkan berbagai bantuan untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Tim Karhutla IndoMalay yang dikenal dengan nama Operasi Haze bekerja selama 25 hari. Usaha Operasi Haze ini dinilai cukup berhasil karena mengurangi kabut asap secara significant dan kabut asap hilang sama sekali setelah hujan lebat mulai mengguyur Sumatera dan Kalimantan pada penghujung September 1997 tersebut.

Beberapa data valid menunjukan bahwa areal hutan yang hangus dalam kisaran 8 sampai 10 juta hektar, kurang lebih 40.000 orang dirawat jalan atau inap di rumah sakit dan banyak korban jiwa, pariwisata terdampak parah, dan estimasi kerugian ekonomi kawasan Asia Tenggara mencapai US10 miliar. 

Mengingat dampak buruk berskala regional yang demikian parah,  Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ketika itu menyetujui pembangunan sistem peringatan awal Regional Haze Action Plan (RHAP) 1998. Tujuan utama dari RHAP ini adalah untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap dengan memperbaiki kebijakan dan penanganan bencana, misalnya penerapan Fire Danger Rating System (FDRS).

Di samping RHAP ini, Malaysia dan Indonesia juga menandatangani Nota Kesepahaman Kerjasama dan Saling Membantu Dalam Penanggulangan Bencana. MoU ini ditandatangni oleh   Ketua Mesyuarat Jawatankuasa Tertinggi Pengurusan Bencana Pusat, dari pihak Malaysia, dan  Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS-PB), dari pihak Indonesia.

Sayangnya, RHAP dan MoU IndoMalay itu terkesan tidak jalan. Karhutla besar terjadi kembali di tahun 2015, walaupun tidak sebesar tahun 1997. Luas areal yang terbakar dalam kisaran 2 hingga 3 juta hektar. Penulis ingat beberapa tayangan seru kegiatan pemadaman Karhutla dan pengurangan kabut asap di tahun ini. Ini mencakup hilir mudiknya pesawat udara Rusia dengan drum-drum air yang diambil air sungai Musi untuk dijatuhkan di titik-titik kebakaran di Sumatera Selatan.

Presiden Jokowi juga tak kalah sibuknya meninjau lokasi kebakaran di Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Kalimantan. Gambar dibawa ini memperlihatkan ketika Presiden Jokowi meninjau Karhutla di Sumsel. Tampak Gubernur Sumsel ketika itu, Alex Nurdin. Di belakang Jokowi ada pejabat dari kepolisian dan TNI ABRI

Sumber: Rappler.Com
Sumber: Rappler.Com

Dibawah ini adalah gambar Presiden Jokowi meninjau lokasi kabut asap dan Karhutla di Kalimantan Selatan.

Karhulta dan Kabut Asap 2015. Sumber: Kompas.Com
Karhulta dan Kabut Asap 2015. Sumber: Kompas.Com

Kabut asap tebal juga menyelimuti sebagian besar Sumatera dan Kalimantan serta juga menggelapkan kembali Malaysia dan Singapura. Pemerintah dan masyarakat Malaysia dan Singapura kembali melancarkan protes ke Indonesia.

Penulis yakin jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah ketika itu lagi-lagi kembali menyiapkan dan/atau melaporkan berbagai program dan kegiatan Anti Kabut Asap dan Karhutla. Ini disebabkan karena musim kemarau pasti terjadi setiap tahun. Tinggal yang terjadi apakah hanya kemarau pendek, panjang, atau sangat panjang yang setara dengan El Nino seperti tahun 1997, 1967, dan 1959/60. 

Namun sayangnya, perhatian Jokowi atas program dan rencana aksi tersebut terkesan tidak begitu besar. Tidak begitu besar dibandingkan dengan program dan kegiatan rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, pasar rakyat, dan listrik. 

Untuk program dan kegiatan berbagai infrastruktur dasar tersebut Beliau intensif sekali melakukan peninjauan lokasi. Liputan berbagai media juga tak kalah intensif-nya. Laporan langsung ke publik juga diperkaya dengan berbagai Vlog yang eye dan ear catching.

Mirisnya, jarang sekali, jika ada, terdengar laporan kemajuan proyek-proyek Anti Kabut Asap dan Karhutla itu. Orang-orang umumnya kemudian baru ingat pentingnya program dan kegiatan tersebut sejak dua bulan terakhir ini seiring dengan tebalnya kabut asap dan sangat banyaknya titik-titik api di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Singapura dan Malaysia kembali protes. Mereka menawarkan kembali bantuan untuk penanggulangan kabut asap dan Karhutla tersebut. Jokowi dengan halus menolak tawaran tersebut dan menyatakan malu untuk berkunjung ke Malaysia dan Singapura karena kabut asap di tahun 2019 ini.

Ini kutipan pernyataan Jokowi tersebut, seperti yang dilansir oleh CNNI:

"Saya kadang-kadang malu. Minggu ini saya mau ke Malaysia dan Singapura. Tapi, saya tahu minggu kemarin sudah jadi headline, jadi HL, jerebu masuk lagi ke negara tetangga kita. Saya cek jerebu ini apa, ternyata asap (kabut)" 

Menarik untuk mengulas sedikit pernyataan Jokowi yang dirilis oleh Kompas.com, 16 September 2019, yang tayang dengan artikel berjudul, Jokowi: Kita Lalai soal Kebakaran Hutan dan Kabut Asap. Ini adalah pernyataan Jokowi ketika memimpin rapat dengan jajaran Pemda Riau, di Pekanbaru, 16 September 2019, yang lalu

"Setiap tahun sebetulnya sudah tidak perlu lagi rapat seperti ini, otomatis menjelang musim kemarau itu semunya harus sudah siap. Sebetulnya itu saja, tetapi ini kita lalai lagi sehingga asapnya jadi membesar."

"Kita memiliki semuanya tapi perangkat ini tidak diaktifkan secara baik, kalau infra ini diaktifkan secara baik saya yakin yang namanya satu titik api sudah ketahuan sebelum sampai jadi ratusan titik api,"

Selain itu, Pak Jokowi dalam kesempatan terdahulu juga mengatakan bahwa sangat urgen untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Beliau tidak suka jajarannya baru tergopoh-gopoh dan hiruk pikuk setelah api membesar melahap kawasan hutan dan lahan, seperti yang terjadi dalam dua bulan terakhir ini.

"Jangan sampai api sudah membesar baru kita bingung. Nunjang palang. Menanggulangi. Kalau sudah gede, apalagi di hutan gambut, sangat, sangat sulit sekali padamnya," 

Sekarang di beberapa wilayah di Riau, Kalimantan Utara dan Selatan hujan mulai turun, walaupun sebagian katanya hujan buatan. Kabar baiknya, menurut BMKG musim hujan akan segera tiba di penghujung September atau awal Oktober ini. Kabut asap segera lenyap dan titik-titik api areal yang terbakar juga akan padam. Namun, pesan Pak Jokowi untuk berpikir ke depan itu jangan juga ikut mati dan padam. 

Ini momentum yang baik sekali. Bulan depan Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin akan terbentuk. Ini merupakan kesempatan emas bagi Presiden Jokowi untuk menghindari tekanan politik sehingga berhasil mendapatkan Menteri Kabinet, mungkin Menteri LH dan Kehutanan, yang lebih mampu menyiapkan dan mengeksekusi program dan kegiatan Anti Kabut Asap Karhutla.

Sosok Menteri Anti Kabut Asap dan Karhutla ini perlu memiliki kapasitas koordinatif yang tinggi karena ini merupakan kegiatan Interdep dan lintas jenjang pemerintahan (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota). Sosok ini juga perlu ramah dengan berbagai masukan dari ahli-ahli forestry, perkebunan, dan pertanian termasuk LSM Walhi. Selain itu, sosok ini juga perlu tidak bias ke perkebunan besar seperti perkebunan sawit. 

Diatas kesemua itu, Presiden Jokowi juga perlu secara langsung monitoring program Anti Kabut Asap dan Karhutla ini. Kegiatan ini mencakup monitoring fakta lapangan ekspansi perusahaan perkebunan sawit besar. 

Kita tentunya tidak ingin kembali terusik dengan kabut asap ini di tahun-tahun mendatang. Kerugian kesehatan, kematian, dan materi sangat besar. Beberapa estimasi menunjukan ratusan nyawa sudah melayang akibat kabut asap dan Karhutla ini. Ribuan rakyat menderita ISPA. Kerugiam ekonomi dalam beberapa estimasi terkini mencapai 300 triliun rupiah.

God Save the Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun