Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menggiring Efisiensi Setiap Rupiah Pengeluaran Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin

11 Agustus 2019   14:14 Diperbarui: 11 Agustus 2019   17:24 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarang ya yang belum pernah dengar pisang karbitan. Pisang yang mateng nya dipaksa dengan karbit. Warnanya aduhai sangat menggoda, kuning langsat bak mojang Priangan. Satu tandan pisang karbitan ini semuanya sama, Semuanya mojang Priangan. Namun, rasanya cess adem alias tidak ada rasa sama sekali.

Demikian juga halnya dengan ekonomi karbitan. Ekonomi yang dipaksa oleh pemerintah untuk menjadi besar dalam waktu pendek. Untuk itu pemerintah memberikan berbagai dukungan dan insentif fiskal untuk beberapa perusahaan dan/atau sektor tertentu. Insentif tersebut mencakup pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang impor untuk tujuan ekspor. Insentif tersebut juga mencakup pemberian kredit ekspor.

Di Indonesia, ekonomi karbitan mulai menjamur di Era Orde Baru dan terus berlangsung di Era Reformasi sekarang. Kelihatannya masih akan tetap lanjut di Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin, jika tidak ada hal-hal istimewa yang muncul secara tiba-tiba.

Lihat itu di awal Periode Kedua Presiden SBY, rezim SBY - Boediono, persisnya di tahun 2009, ketika rezim ini mendirikan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). LPEI juga sering disebut dengan nama PT Indonesia Exim Bank. Rezim Jokowi - JK meneruskan kebijakan pendirian LPEI rezim SBY - Boediono itu. Ini antara lain diperlihatkan oleh besarnya kucuran uang pemerintah melalui skim Penyertaan Modal Negara (PMN) ke LPEI.

Di tahun 2019 ini, Jokowi mengucurkan fresh money PMN ke LPEI sebesar Rp2,5 triliun. Sebelumnya, pada akhir tahun 2017, Indonesia Exim Bank memperoleh Penyertaan Modal Negara (PMN ) sebesar Rp3,20 triliun. Sebelumnya lagi, 2014 - 2015, sebesar Rp2 triliun. Dengan demikian, dalam Periode Pertama Presiden Jokowi, 2014 - 2019, LPEI berhasil menerima kuncuran dana segar negara PMN sebesar Rp7,20 triliun. Kucuran dana nol biaya PMN ke lembaga negara ini di Era SBY- Boediono penulis taksir sekitar lima triliun rupiah.

Tujuan ideal dari pendirian LPEI ini pada intinya adalah mendorong pertumbuhan ekspor nasional. Secara lebih spesifik, tiga tugas pokok LPEI, seperti tertera pada situs LPEI, adalah:

 1. Mendukung program ekspor nasional melalui Pembiayaan Ekspor Nasional dalam bentuk Pembiayaan, dalam rangka menghasilkan barang dan jasa dan/atau usaha lain yang menunjang Ekspor;

2. Menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek yang dikategorikan tidak dapat dibiayai oleh perbankan tetapi mempunyai prospek (non-bankable but feasible) untuk peningkatan ekspor nasional; dan

3. Membantu mengatasi hambatan yang dihadapi oleh Bank atau Lembaga Keuangan dalam penyediaan pembiayaan bagi Eksportir yang secara komersial cukup potensial dan / atau penting dalam perkembangan ekonomi

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa bahwa core business LPEI adalah memberikan kredit dan/atau jaminan bank kepada perusahaan eksportir atau perusahaan yang terkait dengan kegiatan ekspor. Ini merupakan separuh dari core business bank umum yang selain memberikan kredit dan jaminan bank juga mengumpulkan dana dari rumah tangga dan perusahaan. 

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pemerintah memutuskan untuk mendirikan dan/atau tetap melanjutkan kegiatan lembaga pemerintah dengan bisnis utama merupakan sebagian dari bisnis utama di sistem perbankan nasional? Dengan kata lain, apakah sektor perbankan dan/atau pembiayaan Indonesia belum memiliki kapasitas yang baik dan mencukupi untuk membiayai (financing) sektor ekspor? Atau, apakah memang ada sektor ekonomi tertentu dan/atau industri/perusahaan tertentu yang memiliki potensi ekspor yang tinggi tetapi tidak bankable dan/atau mengalami kesulitan untuk dapat kredit dari perbankan?

Kita jawab pertanyaan pertama dulu yaitu yang terkait dengan ketersediaan kredit (pembiayaan) perbankan untuk perusahaan eksportir. 

Statistik Perbankan Indonesia (SPI), yang dapat diakses di website Otoritas Jasa Keuangan (OJK), antara lain menyajikan beberapa data penting bank umum. Misal, pada posisi Mei 2019, ada 112 bank umum. Nilai keseluruhan dana yang disalurkan adalah 7.840 triliun dan nilai aset dari 112 bank umum tersebut adalah 8.132 triliun. Jumlah bank umum juga relatif sangat stabil yaitu, 118, 116, dan 115 masing-masing untuk tahun 2015, 2016, dan 2017.

Nilai aset, jumlah dana yang disalurkan, dan jumlah bank relatif tidak berubah banyak dari tahun ke tahun. Misal, nilai aset tersebut pada posisi Mei 2018 adalah Rp 7.877 triliun dan masing-masing sebesar 7.387 triliun rupiah, 6.729 triliun rupiah, dan 6.095 triliun rupiah untuk tahun 2017, 2016, dan 2015. 

Data bank umum diatas memberikan indikasi awal bahwa bank umum Indonesia memiliki kapasitas yang mencukupi untuk membiayai sektor ekspor. Dengan demikian, tidak ada justifikasi pendirian LPEI dilihat dari sisi ketersediaan dana dan/atau likuiditas perbankan nasional untuk memberikan kredit dan/atau jaminan perbankan untuk kegiatan ekspor Indonesia. Selain itu, jumlah bank umum juga sangat banyak yaitu 112 bank umum pada posisi mei 2019.

Sekarang kita lanjut ke pertanyaan yang terkait dengan sektor ekonomi tertentu dan/atau industri/perusahaan tertentu yang memiliki potensi ekspor yang tinggi tetapi tidak bankable dan/atau mengalami kesulitan untuk dapat kredit dari perbankan. Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mengangkat kasus Duniatext, yang memiliki outstanding debts pada LPEI senilai Rp3,04 triliun pada posisi semester pertama tahun 2019. 

Konglomerasi Duniatext jelas bankable. Perusahaan ini sudah berdiri di tahun 1974. Saat ini Duniatext, yang beranggotakan sekitar 18 perseroan terbatas (PT),  memiliki sekitar 40.000 orang karyawan dengan bisnis lines jauh melebar dari tekstil dan produk tekstil. Duniatext juga memiliki beberapa mall besar di Solo dan Yogyakarta, beberapa jaringan hotel internasional, dan beberapa rumah sakit. 

Jadi, apa justifikasi LPEI menyalurkan kredit dalam jumlah yang besar tersebut ke Duniatext? Atau, apakah Duniatext mengalami kesulitan untuk mendapatkan kredit tambahan dari perbankan? On top of it, apakah Duniatext memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan fasilitas kredit ekspor berbiaya murah dari PT LPEI?

Lebih umum lagi, perlu kita pahamai bahwa bentuk intervensi langsung pemerintah ke ekonomi hanya dapat dijustifikasi dalam kondisi market failures dan externalities. Tujuan utamanya adalah untuk menutupi celah kegagalan pasar dan eksternalitas sehingga tercapainya pertumbuhan ekonomi yang efisien dan optimal, di satu sisi, dan tercapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, di lain sisi. 

Terlepas dari isu justifikasi tersebut, dalam bulan Juli 2019 Duniatext menunggak (default) pembayaran kewajiban bunga dan cicilan utang pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Hal ini menyebabkan Posisi Non Performing Loan (NPL) LPEI dalam bulan ini sudah mencapai 14,52 %, dan, ini merupakan posisi yang jauh diatas ambang batas 5% sebagaimana ditetapkan oleh OJK. 

Lebih mencemaskan lagi, Duniatext juga terlilit utang yang besar pada 10 bank nasional. Posisi utang Duniatext pada akhir Juli 2019 adalah sebesar Rp17 triliun. Exposure risks yang sangat besar.

Lebih mencemaskan lagi, raksasa Tekstil Indonesia tersebut, Duniatext, gagal bayar atas kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang obligasi internasional sebesar US$260 juta (Rp3,6 triliun). Ini antara lain yang menyebabkan Lembaga Pemeringkat Internasional S&P menurunkan rating Duniatex menjadi CCC- atau setara dengan junk bond (obligasi sampah). 

Rasanya tak habis-habisnya kisruh intervensi, karbitan, ekonomi langsung Pemerintah Indonesia melalui lembaga pemerintah dan BUMN. Lihat itu PT INKA, PT DI, dan beberapa perusahaan galangan kapal Indonesia, yang menurut intuisi penulis kolaps nya hanya menunggu waktu saja. Atau, perusahaan ini terus merugi tetapi juga terus mendapatkan kucuran dana murah dalam jumlah yang besar dari pemerintah dan pemerintah mendapatkan dana itu dari penerbitan Surat Utang Negara.

Rasanya ini layak diperhatikan oleh Kabinet Jokowi - Maruf Amin sebab ini terkait erat dengan realisasi tekad mulia Jokowi untuk  setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah memang tepat sasaran dan hemat biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun