Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Garuda Indonesia, dari Abeng hingga Soemarno

22 Juli 2019   11:01 Diperbarui: 24 Juli 2019   18:15 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Turbulensi PT Garuda Indonesia masih terus berlanjut. Kasus viralnya video menu tulisan tangan Rius Fernandes baru saja mereda setelah pengacara kondang Hotman Paris Hutapea melakukan mediasi antara kedua belah pihak. RUPSLB segera digelar dalam bulan September yang akan datang. Rasanya bakal ada pembongkaran besar-besaran baik di Dewan Direksi maupun di Dewan Komisaris.

Masih belum hilang ingatan kita tentang rekayasa laporan keuangan tahun 2018 dan kasus mega korupsi 2017 yang melibatkan Emirsyah Satar, Direktur Utama periode 22 Maret 2005 - 8 Desember 2014. Lebih menarik lagi PT (Persero) Garuda Tbk adalah BUMN yang di tahun 2018 memiliki aset sebesar USD 4,37 miliar (Rp61 triliun) tidak menyetor dividen kepada negara sejak tahun 2011. 

Coba kita lihat sedikit kilas balik BUMN dengan bidang usaha transportasi udara (air carrier) komersiel dengan Direktur Utama saat ini I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra.  Perusahaan flagship carrier Indonesia ini pertama kali menerbangkan pesawatnya di tahun 1949.

Di tahun 1964 Garuda memasuki era jet dengan datangnya tiga pesawat baru Convair 990A yang diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan "Sriwijaya". Ini  menjadikan Garuda Indonesia maskapai pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan pesawat jet subsonik. 

Delapan belas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1982 Garuda Indonesia menjadi maskapai pengguna pertama Airbus A300B4-600 FFCC.   Wiweko yang menjabat Dirut selama 16 tahun berhasil membawa GIA menjadi maskapai terbesar ke 2 se Asia setelah Japan Airlines serta menjadi maskapai terbesar dan berpengaruh di belahan bumi bagian selatan. 

Lima belas tahun berikutnya Garuda Indonesia terdampak krisis moneter 1997/98. Garuda terlilit utang yang sangat besar berjumlah US$ 1,6 miliar (Rp22,4 triliun) dengan ekuitas minus US$ 300 juta. Dengan ekuitas negatif tersebut nilai pasar Garuda hanya USD1, lebih murah dari harga sebungkus rokok kretek. 

Selain terdampak krisis mneter 1997/98 tersebut, penyebab pokok lain kondisi Garuda yang mengenaskan pada waktu itu adalah dewan direksi yang tidak becus, KKN, dan jumlah pegawai yang sangat berlebihan. 

Tanri Abeng yang menjabat Menteri BUMN pada waktu itu mendapat dukungan dari Presiden Soeharto untuk mencopot Dirut Garuda, Supendi, yang juga adalah Mayjen TNI AD dan sebelumnya bertugas sebagai ajudan Presiden Soeharto. 

Selain membongkar seluruh Dewan Direksi Garuda, Tanri Abeng juga melakukan rasionalisasi jumlah karyawan. Sebanyak 6.000 karyawan dipensiunkan secara dini dan 7.000 orang lainnya tetap dipertahankan.

Penulis belum menemukan dokumen terkait dengan deal-deal yang dibuat oleh Tanri Abeng dengan para kreditur Garuda pada waktu itu. Deal-deal tersebut tentunya alot karena para kreditur tersebut mengancam akan membrangkutkan Garuda.  

Penulis belum juga berhasil menemukan berapa besar negara perlu menyuntikan dana segar Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menalangi utang Garuda Indonesia ketika itu. Walaupun demikian, penulis yakin jumlahnya dalam bilangan triliun rupiah. 

Turbulensi Garuda Indonesia yang cukup hebat di tahun 1997/98 hingga 2.000 tersebut juga diangkat oleh Rizal Ramli, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. 

Disini Rizal Ramli  mengklaim terlibat dalam penyelamatan Garuda Indonesia pada waktu itu.  Menurut Rizal, klik disini, di tahun 2.000 itu, Garuda terlilit utang US$ 1,8 miliar (Rp18 triliun). 

Versi Tanri Abeng nilai utang tersebut sedikit lebih rendah yaitu USD1,6 miliar. Tambahan penjelasan dari Rizal Ramli adalah utang Garuda tersebut adalah pada konsorsium Bank Eropa. dan menurut Rizal Ramli, jika utang itu tidak dibayar, konsorsium bank Eropa yang memberi pinjaman akan menarik pesawat-pesawat Garuda. 

Reaksi pemerintah ketika itu, lanjut Ekonom jebolan Boston Univ. USA ini, mengancam balik konsorsium bank ke pengadilan karena pemerintah memiliki data valid atas penggelembungan atau mark up sebesar 50 persen atas pembelian pesawat udara tersebut. 

Kasus mark up pembelian pesawat ini dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan kasus pembelian pesawat yang menjerat Emirsyah Satar saat ini.

lihat juga: Melirik Potret Kronis Korupsi dan Utang BUMN

https://www.kompasiana.com/almizan59323/5d16de06097f3635e54de542/uang-nur-pamudji-dan-potret-kronis-korupsi-dan-utang-bumn

Pihak konsorsium dengan Garuda berdamai, demikian ditambahkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang dijabat Rizal Ramli dalam kurun waktu 27 Juli 2015 hingga 27 Agustus 2016. 

Namun, penulis belum menemukan data yang lebih rinci format perdamaian tersebut. Misal, berapa besar utang Garuda yang kemudian disepakati oleh kedua belah pihak. Juga, penulis belum dapat mengakses data terkait berapa banyak negara perlu kembali menyuntikan dana segar PMN, jika ada, ke Garuda Indonesia ketika itu.

Lebih jauh lagi, penulis belum dapat mengakses berita, jika ada, sanggahan dan/atau penjelasan lebih lanjut dari pihak pemerintah atas isu utang Garuda tahun 2.000 tersebut. Pihak pemerintah disini tentu saja adalah Menteri BUMN dan Menteri Keuangan serta dari Garuda Indonesia sendiri. 

Di masa-masa krisis moneter 1997/98 tersebut, Garuda Indonesia juga mengalami musibah yang besar. Pada tanggal 26 September 1997. GA dengan Penerbangan 152 jurusan Jakarta - Medan jatuh di desa Buah Nabar, dekat Medan, Sumatera Utara. Seluruh 234 penumpang dan awak pesawat tewas

Secara keseluruhan, ada beberapa catatan kecelakaan yang dialami Garuda Indonesia dalam kurun waktu 1967 - 2007.  Dalam periode ini ada 13 musibah/kecelakaan yang menewaskan 435 orang.  Tidak terlihat ada catatan kecelakaan penerbangan Garuda Indonesia dalam periode 2008 hingga saat ini 2019.

Empat belas tahun kemudian, 2014, Garuda Indonesia yang tadinya hanya berharga One US Dollar kini sudah berharga Billions USD. Ini klaim Tanri Abeng yang dirilis oleh beberapa media ketika itu termasuk financedetik, CNN Indonesia, dan Berita Satu.

Walaupun demikian, beberapa data PMN dan dividen untuk negara dari Garuda Indonesia dalam periode yang diklaim oleh Tanri Abeng tersebut tidak begitu menggembirakan. 

Tahun 2006 dan 2007 ketika Dirut Garuda dijabat oleh Emirsyah Satar perusahaan ini menerima suntikan dana segar PMN dari negara masing-masing sebesar Rp500 miliar. 

Selain itu, data tahun 2008 - 2018 memperlihatkan tidak sepeser pun Garuda pernah menyetor dividen untuk negara. Dengan demikian semasa Emirsyah menjabat itu, 2005 - 2014, Garuda Indonesia tidak ada menyetor dividen untuk negara kecuali jika ada data di tahun 2005 - 2007 yang penulis tidak berhasil mengaksesnya.

Di tahun 2015, Rizal Ramli kembali bekoar dan saat itu ribut dengan Rini Soemarno. Klik disini, atau, disini, misalnya. Rizal Ramli mengkritik dengan keras rencana pembelian pesawat berbadan lebar yang akan digunakan Garuda untuk rute Eropa. Kritikan ini berujung tersingkirnya Beliau dari Kabinet Kerja Jokowi.

Saat ini, ternyata kepretan Rizal Ramli ini terkesan banyak bermuatan positip. Garuda untung di rute domestik, menurut salah seorang Kompasianer kita sebab Garuda memiliki load factor yang tinggi sekitar 80 persen. Yang membuat Garuda rugi kelihatannya sebagian bersumber dari penerbangan rute luar negeri. 

Rute luar negeri GA dengan pesawat berbadan besar, seperti kritikan Rizal Ramli, yang memerlukan avtur dalam volume yang besar serta dengan biaya operasional yang mahal, dan di sisi lain load factor yang rendah (sepi penumpang) sehingga biaya operasional saja jauh diatas pendapatan. 

Selain itu, kasus jumlah karyawan yang sangat berlebihan di Era Tanri Abeng diatas kelihatannya kembali menggrogoti Garuda hingga Era Rini Soemarno sekarang. Di Era serba otomatis sekarang jumlah karyawan Garuda Indonesia masih belum dirasionalisasi. 

Dengan jumlah karyawan sebanyak 20.000 orang jelas sangat berlebihan termasuk juga jika dibandingkan dengan Singapore Airlines yang hanya memiliki 14.729 karyawan, AirAsia 17.000 karyawan, dan Malaysia Airlines yang cukup dengan 14.000 orang karyawan.

Di Era Bu Rini sekarang, 2014 - 2019, Dirut Garuda sudah diganti sebanyak tiga kali. Pertama, Emirsyah Satar yang mengundurkan diri di tahun 2014 digantikan oleh Muhammad Arif Wibowo. Tiga tahun kemudian di tahun 2017, Muhammad Arif Wibowo diganti oleh Pahala Nugraha Mansury, yang hanya bertahan satu tahun hingga 2018. Tahun 2018 hingga saat ini, Dirut Garuda dijabat oleh I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra. 

Kasus bongkar pasang tiga orang Dirut Garuda hanya dalam waktu lima tahun mengindikasikan kurang baiknya dukungan lingkungan politik, sistem, budaya, serta proses rekrutmen Dirut BUMN yang mencakup juga Dirut Garuda yang dilakukan oleh Tim Menteri BUMN, Rini Soemarno.

 Tak heran Jika Rizal Ramli kembali berteriak dan kali ini menyerukan untuk mencopot Rini Soemarno dari jabatan Menteri BUMN dalam upaya penyelamatan Garuda Indonesia, klik disini atau disini. 

Dirut Garuda yang sekarang yang akrab dipanggil Ari Askhara baru saja mengalami turbulensi laporan keuangan bermasalah dan menu tulis tangan. Kasus menu tulis tangan ini sudah terselesaikan setelah Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea tampil sebagai mediator diantara PT Garuda Indonesia dengan youtuber Rius Fernandez. 

Kasus laporan keuangan tahun 2018 juga kelihatannya sudah mereda. Kantor Akuntan Publik yang mengaudit laporan ini sudah dikenakan sanksi larangan praktek selama satu tahun. Dewan Direksi Garuda dan Dewan Komisaris, kecuali dua orang yang menolak menandatangani laporan keuangan tersebut, dikenakan sangsi membayar denda, walaupun dalam jumlah yang tidak seberapa.

Selain itu, laporan keuangan tahun 2018 tersebut sudah direvisi. Di laporan awal, yang ditolak oleh dua orang anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia, dicantumkan Garuda membukukan laba bersih US$810 ribu ( Rp11 miliar) untuk tahun 2018, yang sebelumnya untuk Tw III rugi sebesar USD128 juta (Rp2 triliun). Dalam laporan keuangan yang sudah di revisi, Garuda Indonesia untuk tahun 2018 ternyata rugi sebesar Rp364 miliar.

Pola laporan keuangan Garuda yang rugi besar di Tw III dan ujuk-ujuk laba besar di Tw IV (laporan akhir tahun) pernah juga terjadi di tahun 2015 dan 2016. Kasus tahun 2016 adalah rugi di Tw III sebesar US$ 44 juta atau sekitar Rp 585 miliar tetapi mendapat laba sebesar US$ 59 juta pada akhir tahun 2016 (Tw IV). Sedangkan kasus tahun 2015 adalah rugi di Tw III sebesar USD8 juta kemudian ujuk-ujuk laba sebesar USD71 juta di Tw IV.

Banyak yang bersuara, termasuk beberapa Kompasianer, agar Dewan Direksi Garuda dibongkar pada RUPSLB bulan September yang akan datang. Penulis setuju dengan suara tersebut dengan catatan Dewan Komisaris Garuda juga bukan saja perlu dibongkar tetapi prinsip pengangkatan Dewan Komisaris tersebut perlu dirombak. 

Dewan Komisaris harus orang yang bekerja penuh waktu dan bukan kerja sambilan seperti yang berlaku saat ini. Dewan komisaris yang bekerja sambilan tersebut adalah yang berasal dari pemerintahan yang mencakup dari Kementerian BUMN dan Kementerian yang lain. Mereka itu umumnya adalah yang memiliki jabatan Direktur Jenderal yang jelas tidak akan memiliki waktu untuk mengawasi perusahaan.

Adalah sangat menusuk rasa keadilan, jika Dewan Komisaris dan/atau Dewan Pengawas BUMN hanya bekerja paruh waktu, hanya menandatangani tangani laporan keuangan (sebagian tidak dibaca lagi), tidak memiliki tanggung jawab tetapi menerima gaji, bonus, tantiem,  miliaran rupiah setiap tahunnya plus berbagai fasilitas lain termasuk kesehatan dan golf. Mereka hanya datang rapat dua atau tiga kali dalam setahun dan tanda tangan saja. 

Kita berharap Garuda bukan seperti itik Buruk Rupa lagi tetapi itik dengan telur emas. Garuda, yang dengan kepemilikan pemerintah tinggal senilai Rp6,4 triliun saja, bukan saja tidak akan pernah lagi membebani keuangan negara tetapi juga dapat selalu menyetor dividen untuk negara.

Diatas kesemua itu, Menteri BUMN wajib menerapkan prinsip Kwartet DPPE secara konsisten bukan saja untuk Garuda Indonesia tetapi juga untuk seluruh BUMN (137) dan anak cucunya (1.000). Kwartet DPPE tersebut adalah:

(i) developing a sound performance-monitoring system

(ii) promoting financial and fiscal discipline

(iii) professionalizing SOE boards, dan

(iv) enhancing transparency and disclosure;

lihat juga: Mengurai Benang-benang Kusut BUMN, Yogyakarta: Deepublish (2017). Klik disini.

lihat juga: Menggali Poin Sentral Visi Indonesia Jokowi

https://www.kompasiana.com/almizan59323/5d2c5118097f36279b196832/visi-indonesia-jokowi


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun