Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bandit Bergentayangan di Pemilu 2019

29 Maret 2019   17:38 Diperbarui: 30 Maret 2019   12:39 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay & KPU. Dokpri

Kita semua tahu bahwa pemilihan umum nasional yang akan digelar pada tanggal 17 April 2019 nanti adalah Pemilu RI yang kelima di Era Reformasi. Pemilu ini berbeda dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya karena Pilpres dan Pileg dijalankan secara bersamaan. Dengan demikian, pertanyaan diatas perlu kita pertegas dulu. 

Pemilu mana yang dimaksud? Kedua jenis Pemilu itu? Salah satunya? Coba kita lihat satu per satu mulai dari Pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden,dan, kemudian, Pileg DPR/DPRD dan DPD.

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN/WKL PRESIDEN

Tingkat kepercayaan penulis sangat tinggi untuk Pilpres 2019. Pilpres ini memenuhi kriteria LUBER. Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Pilpres ini juga memenuhi kriteria Jurdil, atau, jujur dan adil, utamanya dalam aspek pengumpulan, penghitungan, dan rekapitulasi suara (PPRS) Pilpres. Kenapa demikian? Ada tiga faktor yang mendukung kesimpulan penulis.

Pertama, hanya ada dua pasangan Calon Presiden/WPresiden. Mengawal proses PPRS tersebut mulai dari TPS, lanjut ke KPU Kecamatan (PPK), hingga ke KPU Provinsi dan KPU Nasional sangat gampang. Di tingkat TPS masing-masing saksi Paslon dengan kasat mata dapat melihat jumlah pemilih terdaftar, jumlah yang hadir (menggunakan hak suara), jumlah suara sah dan tidak sah, dan jumlah perolehan suara masing-masing Paslon.


Kedua, masing-masing Paslon pasti memiliki saksi yang cukup pada tingkat TPS pun dengan jumlah 80.000 seluruh Indonesia. Kedua Paslon juga dapat dipastikan memiliki saksi yang cukup pada jenjang KPU yang selanjutnya mulai KPU Kecamatan (PPK), kabupaten, provinsi, hingga KPU Pusat di Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat. 

Ketiga, jika terdapat perselisihan hasil rekapitulasi perolehan suara, masing-masing Paslon bisa merujuk ke data base utama SITUNG yang diunggah (uploaded)  di KPU Kabupaten/Kota. Data base KPU yang berupa file PDF tersebut dapat di filter mulai dari tingkat KPU kecamatan, desa/kelurahan hingga ke tingkat TPS. Mencocokan perselisihan suara hanya untuk dua pasangan Paslon Pilpres adalah tidak begitu sulit. 

Walaupun demikian, bagaimana jika file PDF yang diunggah di KPU Kabupaten/Kota tersebut adalah dokumen Aspal dalam jumlah yang besar? Dokumen asli tapi palsu dalam jumlah yang besar. Maksudnya, ada persengkongkolan antara para saksi Paslon dengan TIM KPPS untuk menyalin data C1 PPWP Plano ke dokumen C1 PPWP non-hologram yang menguntungkan salah satu Paslon PPWP? 

Kemungkinan persengkongkolan tersebut kecil sekali. Pertama, jumlah anggota KKPS merangkap Ketua ada sembilan orang, ada dua orang hansip, serta katakanlah ada dua orang saksi untuk masing-masing Paslon, maka jumlah orang yang perlu bersengkongkol adalah 13 orang setiap TPS. Ini tidak cukup dilakukan di satu atau dua TPS saja. Perlu ribuan atau bahkan puluhan ribu TPS. Persengkongkolan yang melibatkan ribuan atau puluhan ribu TPS sangat sangat gampang terlacak. 

Bagaimana jika modus yang serupa terjadi di tingkat Kecamatan? Tetap hampir mustahil juga sebab jumlah orang yang terlibat tetap besar. Selain itu, masing-masing Tim Paslon sudah memegang salinan asli, tanda tangan dan cap, dokumen formulir C1 PPWP. Masing-masing Tim Paslon segera dapat mendeteksi perbedaan suara pada formulir DAA1 PPWP dan DA1 PPWP (PPK) dengan data yang sudah mereka miliki. Hampir mustahil Tim KPU Kecamatan (PPK) tergerak untuk melakukan manipulasi suara hasil Pemilu jenis Pilpres ini. 

Kesimpulan. Hampir mustahil ada kecurangan pengumpulan, perhitungan,dan rekapitulasi suara Pilpres 2019. Bagaimana dengan jenis Pemilu 2019 yang lain? Pemilu legislatif DPD, misalnya? Pileg DPD betul memang sangat sangat rawan kecurangan. Penjelasannya sebagai berikut.

PEMILU LEGISLATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

Jika diatas penulis katakan bahwa hampir mustahil terjadi kecurangan pada jenis Pemilu Presiden/Wkl Presiden, sebaliknya, pada Pemilu Legislatif DPD yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir mustahil tidak ada kecurangan pengumpulan, perhitungan, dan rekapitulasi suara (PPRS) Pemilu DPD. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Kata kuncinya adalah saksi. Saksi cukup dan tidak berkesempatan pat gulipat, nihil PPRS. Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebagian besar atau banyak Caleg DPD memiliki kemampuan untuk menghadirkan saksi di setiap TPS? Jawabanya negatif. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada seorang pun Caleg DPD yang mampu untuk melakukan hal itu!

Sangat besarnya jumlah TPS DPD

Jumlah TPS untuk DPD adalah seluruh TPS kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Untuk provinsi Jawa Barat, misalnya, yang juga sama dengan provinsi lainnya di Indonesia untuk memperebutkan lima kursi DPD, terdapat 80.000 TPS. Seorang Caleg DPD Jawa Barat perlu menyediakan uang sebesar Rp24 miliar untuk menghadirkan satu orang saksi saja di setiap TPS dengan tarif honorarium saksi sebesar Rp300.000/saksi.

Biayanya juga akan membengkak lagi karena pengawalan perhitungan suara itu perlu dilakukan ke jenjang KPU Kecamatan (PPK), KPU Kabupaten, KPU provinsi dan hingga KPU Pusat di Jakarta. Jika biaya saksi ke semua jenjang diatas TPS itu kita proyeksikan sama dengan satu jenjang di TPS, maka seluruh biaya yang perlu dihabiskan oleh seorang caleg DPD Jabar hanya untuk membayar saksi-saksi nya akan berjumlah Rp48 miliar! 

JIka saksi tersebut diperkirakan juga akan mencblos Caleg DPD yang membayar nya, maka perolehan suara nya hanya 800.000 suara. Diperlukan 1 juta hingga dua juta suara untuk seorang Caleg DPD, Jawa Barat, misalnya, untuk berhasil lolos ke Senayan (lihat tabel dibawah ini). Dengan demikian diperlukan tambahan suara antara 200 ribu hingga 1,2 juta suara untuk aman sampai ke Senayan. Konsekuensinya, perlu tambahan biaya puluhan miliar lagi!  

Apa ada Caleg DPD yang mampu dan bersedia mengeluarkan uang sebanyak itu? Negatif atau dapat dikatakan hampir mustahil. Gaji, tunjangan, honorarium, dan lain sebagainya hanya sekitar satu persen dari biaya untuk membayar para saksi dan tambahan perolehan tersebut. DPD juga tidak punya kuasa seperti DPR sehingga celah untuk menutup biaya tersebut dengan uang korup sangat kecil sekali.

Apa ada cara yang lebih murah walaupun itu merupakan kejahatan dan  "haram" hukumnya? Ada potensi untuk itu. Penjelasan potensi tersebut adalah sebagai berikut.

Kasus Pileg DPD Jawa Barat 2014

Kita mulai dulu dengan mengangkat kasus Pileg DPD Jawa Barat 2014. Lihat ini adalah perolehan suara Top 10 dari 36 orang caleg DPD Jabar 2014. Mengingat kuota DPD setiap provinsi adalah sama empat orang (lima untuk 2019), maka Caleg DPD yang terpilih adalah Caleg no urut 1 s/d 4 pada tabel dibawa ini. Oni, Eni, Aceng, dan Ayi melaju ke Senayan di Pileg DPD 2014.

dokpri
dokpri

Katakan saja biaya "Halal" untuk memperoleh satu suara, door to door, Caleg DPD itu bukan rupiah 300 ribu, 200 ribu, atau, 100 ribu, melainkan cukup dengan 20 ribu perak saja. Dengan tarif Rp20.000 itu, maka Caleg DPD perlu merogoh kocek antara 20 hingga 40 miliar rupiah! 

Persengkongkolan haram 

Jalan "halal" untuk mengumpulkan dan mengamankan suara Caleg, wabil khusus, Caleg DPD, sangat-sangat mahal. Ada yang lebih murah dan terjangkau?  Penulis kira, ada saja, atau, sebagian besar jika tidak hampir seluruhnya, Caleg DPD yang berjustifikasi bahwa "haram" boleh lah sebab jika terdesak Insha Allah halal. Coba kita lihat potensi alternatif Insha Allah "halal"tersebut. 

Biaya yang perlu dikeluarkan Caleg DPD tersebut adalah biaya jika langsung terjun ke masyarakat. Caleg dan/atau Timses nya langsung bertemu dengan pemilih. Sekarang coba kita lihat potensi Caleg bermain "diatas." Potensi bermain di TPS, dan/atau di KPU Kecamatan, dan/atau di KPU Kabupaten/Kota. Semakin keatas bermain nya semakin rendah jumlah uang "haram" yang perlu digelontorkan tetapi semakin tinggi risiko gagal.

Celah Nilep Suara di TPS

Biasanya pengunjung TPS masih bersemangat dan seru pada saat pembukaan kertas dan perhitungan suara di papan tulis. Momen ketika kertas suara dibuka dan ditulis pada formulir C1 Plano yang ditempelkan di papan tulis. Namun, mereka biasanya jarang, jika ada, menyaksikan pekerjaan Sekretaris TPS dan para saksi membuat salinan hasil suara dari formulir C1 Plano ke formulir Sertifikat Hasil Perhitungan Suara; Formulir C1 hologram dan tidak berhologram. 

Sumber: PKPU No. 3/2019. Dokpri
Sumber: PKPU No. 3/2019. Dokpri

 Disini celah nilep suara itu. Sekretaris TPS dan para saksi memiliki celah kongkalikong, bersengkongkol, untuk membuat Sertifikat itu yang memenangkan Caleg DPD tertentu. Lebih-lebih ini didukung sedikitnya saksi DPD yang hadir. Dari 36 Caleg DPD, untuk kasus Jabar 2014, penulis yakin, hanya beberapa orang saja yang hadir di suatu TPS. Ingat ada 800.000 TPS Dapil DPD Jabar. Lebih jauh lagi, yang ditempelkan di papan pengumuman TPS selama tujuh hari hanya salinan Sertifikat Hasil Penghitungan Perolehan Suara (salinan C1 tidak berhologram).

Dokumen ini hanya satu hari diumumkan di desa/kelurahan. Dokumen C1 Plano tidak diumumkan jadi publik tidak bisa membandingkan hasil suara asli (C1 Plano) dengan salinan nya (C1 DPD, untuk jenis Pemilu ini). (Pasal 61 angka (1) dan angka (2) PKPU No. 3/2019). Klik disini  untuk akses PKPU itu.

Celah Nilep Suara di KPU Kecamatan (PPK)

Modus operandi celah nilep suara di PPK tidak jauh berbeda dengan yang ada di TPS. Ada dua faktor yang mendukung konklusi ini. Pertama, Faktor jumlah saksi yang lebih terbatas sebab hanya saksi DPD, yang biasanya hanya mewakili beberapa Caleg DPD dari 36 atau lebih Caleg DPD, dan saksi-saksi Paslon PPWP serta saksi-saksi Parpol peserta Pemilu saja yang diizinkan hadir pada Rekapitulasi Suara di PPK. Orang awam sangat terseleksi sekali untuk mendapat izin di PPK ini. 

Sumber: PKPU No. 4/2019. Dokpri
Sumber: PKPU No. 4/2019. Dokpri

Kedua, rekapitulasi TPS (Model DAA1 Plano) hanya merujuk ke dokumen TPS C1 hologram. Dokumen C1 Plano tidak digunakan sama sekali. (Pasal 18 PKPU No. 4/2019). Dengan kata lain, PPK tidak melakukan validasi C1 hologram. Secara lebih umum dan dalam perspektif Control Management, KPU tidak menyiapkan pengawasan melekat (built in control) dalam proses pengumpulan, perhitungan, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu. 

Dengan demikian, dapat kita simpulkan memang betul ada celah untuk berkongkalikong, melakukan persengkongkolan jahat, PPK dan Saksi/Timses DPD pada tahap Rekapitulasi suara di PPK. Dalam hal celah-celah tersebut memang dimanfaatkan, maka para "pemain"itu demi keamanan dan penghematan biaya cenderung melakukan bauran atau kombinasi lapak tempat bermain. Sebagian mereka lakukan di TPS, sebagian di PPK, dan mungkin sebagian yang lain di jenjang KPU yang lebih tinggi.

PEMILU LEGISLATIF DPR/DPRD

Penulis dapat juga membuktikan potensi kongkalikong Pileg DPR/DPRD. Tapi, itu untuk kesempatan lain dalam hal artikel yang sekarang cukup banyak yang klik.  

PENUTUP

Pemilu Pilpres dapat dipercaya. Pemilu legislatif, wabil khusus Pileg DPD, hampir mustahil dapat dipercaya. Hal yang serupa berlaku untuk Pileg DPR/DPRD. KPU tidak menyiapkan pengawasan melekat (built in control) dalam rangkaian kegiatan pengumpulan, penghitungan, dan rekapitulasi suara dalam Pemilu 2019.

Artikel terkait

(1) Paradoks Jokowi 4.0 dan Dedigitalisasi Pemilu 2019, klik disini

(2) Ini Loh Simpul-Simpul Kerawanan Digital Perhitungan Suara Pemilu 2019, klik disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun