Mohon tunggu...
Allyssa Pradipta
Allyssa Pradipta Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Memiliki hobi menonton film dan membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang Disabilitas

19 Juni 2023   21:38 Diperbarui: 19 Juni 2023   21:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang melakukan pembangunan khususnya dalam infrastruktur.  Sebab, pembangunan infrastruktur memiliki peranan yang cukup penting yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (KPURM, 2012). Salah tujuan dari adanya fasilitas publik yaitu memberikan kemudahan untuk masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Indonesia sudah mengalami perubahan jika dilihat dari pembangunan infrastruktur, seperti Mass Rapid Transit (MRT) dan  hutan di daerah perkotaan sudah semakin berkembang.

Selain itu, Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki setiap individu. Sebab, HAM bersifat universal yang berarti setiap manusia memiliki hak tanpa memandang kondisi individu seperti jenis kelamin, warna kulit, etnisitas, termasuk kondisi mental dan fisik. 

Melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 2 tahun 2022 mengenai pelayanan publik berbasis Hak Asasi Manusia (P2HAM) yaitu, Kemenkumham terus berupaya untuk memberikan pelayanan publik kepada setiap masyarakat dengan memprioritaskan HAM (Kemenkumham, 2022).  Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan pelayanan publik yang mengedepankan HAM agar semua orang memiliki hak dan perlakuan yang sama, termasuk dalam hal fasilitas dan pelayanan publik.

Menurut survei yang dilakukan oleh Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa terdapat 8 dari 100 penduduk di Indonesia yang berusia 10 tahun keatas mengalami disabilitas (BPS, 2015). Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2016, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa penyandang disabilitas merupakan seseorang yang mengalami keterbatasan dalam fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dengan masyarakat lainnya (Widinarsih, 2019). 

Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa penyandang disabilitas di Indonesia tidak sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa fasilitas publik di Indonesia perlu memperhatikan penyandang disabilitas dalam memenuhi Hak Asasi Manusia.

Masalah yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas salah satunya yaitu mengenai aksesibilitas fasilitas publik. Perancangan fasilitas publik yang tidak aksesibel merupakan salah satu penyebab penyandang disabilitas kurang mandiri. Sebab, penyandang disabilitas tidak memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan di ruang publik karena fasilitas yang kurang ramah digunakan oleh fabel. 


Dapat dilihat masih kurangnya trotoar yang aksesibel karena masih terdapat penjual ataupun pengendara yang menggunakan trotoar sehingga menghalangi pejalan kaki, masjid yang masih menggunakan tangga yang menunjukkan kurang ramah untuk pengguna kursi roda, dan fasilitas publik lainnya. Indikator kemandirian difabel dapat dilihat dari tidak bergantung dengan orang lain, adanya kepercayaan diri, kedisiplinan, kreatif atau dapat mengambil keputusan sendiri, dan dapat bertanggung jawab. 

Hal tersebut dapat ditunjang dengan fasilitas pelayanan publik yang aksesibel untuk seluruh masyarakat. Dengan begitu, penyandang disabilitas kesulitan dalam melakukan aktivitasnya secara mandiri karena fasilitas yang seharusnya dapat diakses oleh seluruh masyarakat masih belum menunjang di beberapa daerah.

Di Indonesia, fasilitas publik yang ramah penyandang disabilitas masih belum terpenuhi secara merata. Pelaksanaan aksesibilitas fasilitas publik terkait dengan ketersediaan, kelayakan, dan kemudahan yang telah disediakan oleh penyelenggara pelayanan fasilitas yaitu pemerintah. Dapat dilihat di kota Garut terdapat 5.587 jiwa penyandang disabilitas, tetapi fasilitas publiknya masih mengalami kendala yaitu masih kurangnya tenaga yang dapat mendukung penyandang disabilitas dalam melakukan pelayanan publik.  

Namun, masih banyak daerah di Indonesia yang fasilitas publiknya sudah cukup ramah difabel. Dapat dilihat di kota Tegal memiliki 134 jiwa penyandang disabilitas dan fasilitas layanan publiknya seperti rumah sakit sudah ramah difabel dengan tersedianya jalur jalan yang dikondisikan dengan keadaan  (Pramashela & Rachim, 2022).

Pada tahun 1997, kelompok kerja yang terdiri dari arsitek, desainer produk, insinyur, dan peneliti desain lingkungan yang diketuai oleh Ronald Mace dari Universitas North Carolina State mengembangkan prinsip desain universal. Menurut Ron Mace dalam publikasi yang berjudul "Accessible,  Adaptable, and Universal Desain", desain universal merupakan upaya untuk mendesain suatu produk dan lingkungan yang ditujukan bagi seluruh orang yang dapat digunakan dalam cakupan yang luas tanpa memerlukan adaptasi lebih atau desain khusus (Arsyad, 2017).

Prinsip desain universal ini memiliki tujuan untuk menjadi acuan dalam mendesain lingkungan. Selain itu, prinsip desain universal juga bertujuan untuk memudahkan aktivitas setiap orang melalui desain produk, lingkungan, dan komunikasi.

Berdasarkan Center for Universal Desain di NCSU mengemukakan bahwa prinsip desain universal dapat diterapkan dalam rangka mengevaluasi desain yang telah ada agar dapat digunakan oleh seluruh masyarakat. Terdapat tujuh prinsip desain universal, pertama yaitu kestaraan dalam penggunaan (Equitable Use) yang berarti bahwa suatu desain akan berguna dan dapat dipasarkan untuk seluruh orang dengan kemampuan yang beragam. Pada prinsip ini desain tidak boleh memberikan hak istimewa kepada suatu kelompok dengan kata lain suatu desain harus aksesibel untuk setiap orang. 

Prinsip kedua yaitu fleksibilitas (Flexibility in use) berarti suatu desain harus mengakomodasikan semua jenis pengguna dan berbagai kemampuan individu. Pada prinsip ini, desain harus memiliki fleksibilitas untuk digunakan seperti menyediakan pilihan metode penggunaan suatu produk.

Prinsip ketiga yaitu penggunaan yang sederhana dan intuitif (simple and intuitive use). Pada prinsip ini penggunaan desain mudah untuk dimengerti dan dapat disesuaikan denga kemampuan dasar pengguna seperti meletakan informasi yang penting pada tempat-tempat yang mudah dijangkau. Prinsip keempat yaitu informasi yang memadai (perceptible information). Prinsip ini menekankan untuk memberi informasi penting yang disesuaikan dengan kemampuan pengguna seperti memberikan perbedaan secara kontras mengenai informasi dengan memperhatikan gambar, tulisan, dan tekstur. 

Prinsip kelima yaitu toleransi kesalahan (Tolerance for error). Pada prinsip ini menekankan untuk meminimalisasi sesuatu yang dapat merugikan terhadap tindakan yang disengaja atau tidak disengaja. Sebagai contoh yaitu menyediakan tanda peringatan yang aman. Prinsip keenam yaitu upaya fisik rendah (Low Physical Effort) yang berarti desain dapat digunakan secara aman dengan mempertimbangan risiko kecelakaan. Pada prinsip ini, desain harus dapat digunakan dengan mudah oleh semua orang. 

Prinsip yang terakhir yaitu ukuran dan ruang untuk pendekatan dan penggunaan (Size and Space for Approach and Use). Prinsip ini menekankan pada desain ukuran ruang dengan memperhatikan postur, ukuran, dan pergerakan untuk seluruh pengguna seperti memperhatikan variasi ukuran tangan dan grip.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap individu memiliki haknya masing-masing tanpa memandang apapun. Hal tersebut termasuk pada aksesibilitas fasilitas publik yang harus bisa diakses oleh seluruh masyarakat termasuk para penyandang disabilitas. 

Namun, pada kenyataannya masih banyak fasilitas publik yang belum aksesibel. Diharapkan pemerintah dapat lebih memfokuskan pembangunan fasilitas publik dengan menerapkan prinsip desain universal seperti di area taman kota, transportasi umum, tempat hiburan, tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya. Dengan diterapkannya prinsip desain universal, fasilitas publik dapat mudah diakses oleh seluruh masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup.

***

Allyssa Pradipta, Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

***

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. (2017). Pendekatan Konsep Desain Universal. BAB 2 Kajian Teori, 1, 16--72.

BPS. (2015). Disabilitas dalam Angka. Badan Pusat Statistik. https://jakarta.bps.go.id/news/2023/01/05/828/disabilitas-dalam-angka.html

Kemenkumham. (2022). Tingkat Pelayanan Publik Berbasis HAM, Kemenkumham Gandeng FNS Gelar Diseminasi. https://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/tingkatkan-pelayanan-publik-berbasis-ham-kemenkumham-gandeng-fns-gelar-diseminasi

KPURM. (2012). Pembangunan Infrastruktur Dorong Pertumbuhan Ekonomi. https://pu.go.id/berita/pembangunan-infrastruktur-dorong-pertumbuhan-ekonomi

Pramashela, F. S., & Rachim, H. A. (2022). Aksesibilitas Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 225. https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.33529

Widinarsih, D. (2019). Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan Definisi. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 20, 127--142.

 

https://media.neliti.com/media/publications/174639-ID-kajian-prinsip-universal-design-yang-men.pdf

http://e-journal.uajy.ac.id/28075/3/180117221_Bab%202.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun