Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang serba terhubung secara digital, banyak dari kita justru merasa semakin terasing. Kemajuan teknologi yang pesat seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas kebahagiaan. Stres, krisis lingkungan, dan polarisasi sosial menjadi fenomena yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini memicu pertanyaan mendasar: adakah yang hilang dari cara kita menjalani hidup? Mungkin jawabannya tersimpan dalam sebuah kearifan lokal Nusantara yang telah berusia ratusan tahun, yaitu Tri Hita Karana (THK). Konsep ini menawarkan sebuah pandangan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang dikejar, melainkan hasil dari sebuah keseimbangan yang fundamental. THK, yang secara harfiah berarti "tiga penyebab kebahagiaan", mengajak kita untuk menata kembali hubungan kita dengan tiga pilar kehidupan.Â
Urgensi untuk kembali memahami Tri Hita Karana menjadi semakin relevan jika kita melihat krisis multidimensional yang dihadapi generasi saat ini. Isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan adalah cerminan nyata dari rusaknya hubungan manusia dengan alam (Palemahan). Di sisi sosial, merebaknya misinformasi, konflik horizontal, dan terkikisnya rasa empati menunjukkan adanya keretakan dalam hubungan antar sesama manusia (Pawongan). Sementara itu, pada level individu, banyak orang merasakan kehampaan makna dan tujuan hidup, sebuah indikasi adanya jarak dalam hubungan spiritual dengan Tuhan (Parahyangan) (Suryawan, 2022). Fenomena-fenomena ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari hilangnya harmoni. THK menawarkan sebuah lensa untuk membaca dan mengatasi akar masalah ini secara integral.Â
Merajut Harmoni, Menuai Kebahagiaan
Secara terminologi, Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta: tri berarti tiga, hita berarti bahagia, dan Karana berarti penyebab. Jadi, THK adalah sebuah filosofi yang menyatakan bahwa kebahagiaan hidup manusia bersumber dari tiga hubungan harmonis yang harus dijaga secara bersamaan. Inti dari kebahagiaan (Hita) itu sendiri adalah harmoni. Ketiga hubungan tersebut adalah:Â
1) Parahyangan (Harmoni dengan Tuhan)
 Landasan dari Parhyangan adalah Bakti dan perwujudannya mengandung nilai kebenaran (Satyam). Ini bukan sekadar tentang ritual ibadah, tetapi juga manifestasi iman dalam tindakan nyata. Indikatornya mencakup pengakuan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan , menerima keberagaman sebagai wujud kemahakuasaan-Nya , dan menunjukkan sikap welas asih kepada semua makhluk sebagai cerminan ketakwaan. Dengan menjaga hubungan ini, manusia memiliki pegangan moral dan tujuan hidup yang lebih tinggi (Sudiana, 2024).
2) Pawongan (Harmoni dengan Sesama)Â
Hubungan harmonis antarmanusia dilandasi oleh Tresna atau cinta kasih dan berpegang pada nilai kebajikan (Siwam). Harmoni sosial ini diwujudkan melalui perilaku sehari-hari, seperti menunjukkan sikap sopan dan santun , bersikap toleran terhadap perbedaan suku, agama, dan ras , serta memiliki empati dan kepedulian sosial. Prinsip ini juga mengakui bahwa setiap orang memiliki harkat yang sama dan akan menjadi sempurna dalam hubungannya dengan orang lain. Bekerja sama secara terbuka dan menjalin komunikasi yang humanis adalah kunci dari Pawongan (Yasa, 2022)
3) Palemahan (Harmoni dengan Alam)Â
Hubungan dengan alam dan lingkungan sekitar dilandasi oleh sikap Asih atau sayang dan berorientasi pada nilai keindahan (Sundaram). Praktik Palemahan mencakup penerapan hidup bersih , menunjukkan kepedulian pada kesehatan lingkungan , dan memanfaatkan lingkungan secara bijak. Konsep ini menyadarkan kita bahwa hidup manusia sangat bergantung pada alam dan kebahagiaan kita ditentukan oleh kemampuan beradaptasi dan memanfaatkan hukum alam secara positif (Padet, 2020)
Untuk mencapai harmoni menyeluruh, THK mengenal prinsip-prinsip seperti Sesana manut linggih (bertindak sesuai peran dan status) , saling menghormati , kasih sayang , dan saling ketergantungan positif atau Cakra Yadnya. Semua elemen ini bersifat integralistik, artinya ketiganya harus diterapkan secara bersamaan dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan yang utuh (Mahendra, 2021)