Mohon tunggu...
Alko Komari
Alko Komari Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Udang di Balik Kritik "Becak" Anies

30 Januari 2018   11:59 Diperbarui: 30 Januari 2018   12:12 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BECAK, merupakan alat transportasi tradisional yang belakangan banyak menghiasi media baik cetak elektronik maupun media online. Becak tiba-tiba menjadi bahan perbincangan masyarakat luas, di kantor pemerintahan, di kelas, di forum-forum, dan di warung-warung kopi bahkan di angkringan.

Saya sendiri sebenarnya tidak mau mempedulikan isu becak yang terus menggelinding bak bola liar yang menerjang kemana-mana. Selain tidak ada kepentingannya dengan saya, saya lah hanya sebuah sampah tak berguna yang berada di pinggiran Kota Semarang.

Sedangkan sang peletup Becak adalah Anies Baswedan, seorang Gubernur Ibukota Negara yang juga tergolong kalangan akademisi yang jago beretorika, berteori, dan pandai ngeles masyarakat.

Sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta dan berbekal wawasan yang luas, tentu Anies memiliki kecakapan dalam menata dan mengatur daerah yang menjadi wilayah administasinya. Termasuk kebijakan akan "menghidupkan" lagi Becak di Jakarta.

Namun kok saya geregetan juga dengan isu Becak ini. Bukannya apa -- apa, Becak itu alat transportasi yang mengasyikkan, dia tidak punya akal, jadi jangan disalahkan, jangan dijadikan alat untuk nyerang sana sini, jangan dijadikan komoditas politik dan jangan jadi komoditas perdebatan yang tidak produktif.

Kalau tidak percaya, coba tengok saja. Sekarang banyak orang  dari kalangan kita sendiri saat menghabiskan akhir pekan berlibur ke suatu daerah, dan lebih memilih menikmati Becak untuk sekedar muter -- muter kota. Di Solo misalnya, masih banyak dijumpai Becak disana, dan Becak menjadi pilihan wisatawan untuk menikmati suasana kota. Di kota lain yang masih ada transportasi becak, sepertinya juga menjadi pilihan wisatawan untuk sekedar berkeliling-keliling menikmati suasana kota.


Yaa, ditengah modernitas transportasi dan maraknya transportasi online seperti sekarang ini, Becak menjadi pilihan transportasi yang menyenangkan bagi sebagian orang, seperti wisatawan.  Manfaatnya masih ada, jadi ya biar saja becak hidup ditengah hiruk pikuk kota.

Sebelum panjang lebar, saya tegaskan dulu bahwa posisi saya tidak pada mendukung atau tidak mendukung kebijakan Anies Baswedan tentang Becak di DKI Jakarta. Pun juga tidak dalam kapasitas dukung mendukung dalam konstelasi politik Becak di DKI Jakarta.

Saya hanya sekedar memberikan gambaran tentang fenomena sosial masyarakat seiring dengan perkembangan budayanya, terutama masyarakat di perkotaan seperti DKI Jakarta.

Banyak orang mungkin sudah sangat paham, apalagi Anies Baswedan, saya jamin mengerti betul istilah Postmodernisme. Modernisme dan postmodernisme itu adalah siklus yang tidak perlu disalahkan, sama seperti setelah siang kemudian malam, biar saja.

Dalam ilmu filsafat dari berbagai referensi buku, istilah post-modernisme secara harfiah berarti sesudah modernisme atau disebut pula dengan pasca-modernisme. Istilah ini sudah demikian populer dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia selama lima tahun terakhir.

Di Barat, istilah tersebut mulai muncul di tahun 1932, tetapi baru populer di sekitar pertengahan tahun 1980-an, ketika muncul karya Jean Francois Lyotard (seorang pemikir berkebangsaan prancis) yang berjudul Post-Modern Condition: A Report on Knowledge(1984).

Walaupun Lyotard merupakan tokoh kunci Posmodernisme, banyak lagi pemikir yang melontarkan teori-teori yang mendukung gagasan posmodernisme seperti: Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida dan Michel Foucault, teori Hermeneutika dari Gadamer dan Paul Ricour dan teori Kritik Sosial aliran Frankfurt Jerman

Istilah posmodernisme dalam lima tahun terakhir ini semakin populer. Posmodernisme sendiri intinya reaksi balik terhadap modernisme. Misalnya ketika di jaman modern seperti sekarang, sebagian orang justru memilih untuk kembali ke belakang, jaman tradisional yang kata banyak orang kembali ke nilai-nilai luhur budaya kita.

Ketika budaya barat semakin menggurita ditengah arus kapitalisasi berbungkus globalisasi seperti sekarang ini, tidak sedikit orang yang kemudian lebih senang kembali ke jaman tradisional lagi. Tentu saja dalam postmodernisme, kembali ke jaman tradisional itu tidak kemudian menggunakan atau mengkonsumsi sama persis seperti yang dulu ada, namun sudah penuh polesan era kini yang meski motifnya motif tradisional.

Misalnya saja banyak warung makan atau resto di perkotaan yang dibangun dengan konsep tradisonal jaman dulu. Menciptakan suasana pedesaan yang adem, penuh tanaman, dan gemircik air banyak dijumpai tempak makan di perkotaan. Tentu saja dengan menu makanan yang tidak seperti yang dimakan orang kampung, rata-rata makanannya bahkan selevel dengan makanan hotel berbintang.

Tidak sedikit pula orang di perkotaan yang suka mengendari motor jadul daripada motor yang sekarang tiap bulan mungkin keluar motor motif baru dengan design yang modern.

Sama halnya dengan Becak tadi, ketika transportasi yang modern dan dilengkapi teknologi tinggi  sudah penuh sesak di DKI Jakarta, Bapak Gubernur DKI Jakarta ini sah-sah saja ingin kembali ke jaman tradisional. Sekali lagi kapasitas saya bukan pada dukung mendukung kebijakan ini.

Yang perlu ditegaskan disini bahwa semua orang boleh dan tidak dilarang untuk ikut ajaran modernisme atau pilih postmodernisme. Silahkan. Hanya saja mungkin perlu disesuaikan, perlu ditata, perlu diatur.

Tidak bisa dong, kemudian Becak diperbolehkan beroperasi di semua ruas jalan di Jakarta. Bisa kacau balau nanti jalanan di Jakarta. Silahkan saja diatur yang baik, bisa saja misalnya Becak hanya diperbolehkan di tempat-tempat khusus, seperti tempat wisata, area kawasan terbatas, atau tempat lainnya.

Saya berpikiran positif saja, bahwa Becak ada manfaatnya dan perlu diberikan ruang untuk hidup. Soal pengaturan mau dimana becak hidupnya, saya percaya Anies Baswedan memiliki resep yang jempolan.

Silahkan saja mengkritik kebijakan Anies tersebut, tetapi kalau mengkritiknya sampai menyeret ke arena politik dan membanding-bandingkan dengan gubernur sebelumnya, jelas itu bukan kritik yang elegan. Kalau mau mengkritik itu ya kritik saja demi kemaslahatan masyarakat, jangan ada udang dibalik kritik yang dilancarkan.

Maaf yaa, yang terjadi sekarang malah saling serang antara pendukung maupun yang menolak kebijakan Anies dengan masih terbawa perasaan Pilkada DKI 2017. Jika ini terus dipelihara maka perdebatan yang ada sangat tidak produktif, tidak ada gunanya, dan hanya mempersubur ujaran kebencian diantara sesama.

Lalu bagaimana kita memberantas ujaran kebencian, jika kita sendiri ikut larut dalam euforia budaya saling mengumbar kebencian diantara sesama masyarakat. Sudahlah, stop debat kusir, stop menghujat. Mari hilangkan permusuhan, satukan tekad untuk menjaga keberagaman yang sangat kaya raya di negeri kita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun