Cerpen dengan judul "Kriminalitas Meja Makan" karya Damhuri Muhammad mengangkat kisah ketegangan yang terpendam di lingkup rumah tangga, yang bermula dari protes-protes kecil seorang ayah terhadap bawang goreng buatan istrinya. Kritik atas potongan bawang yang dianggap terlalu tebal dan tidak simetris perlahan membuka lapisan luka emosional dalam relasi keluarga mereka. Salman, sebagai anak laki-laki diberi tugas mengasah pisau sebagai simbol upaya menjaga ketenangan di tengah ketegangan yang tak pernah reda, sementara Naila, adiknya, tumbuh sebagai saksi diam air mata ibu yang ditutupi alasan bawang.
Ketika Salman merantau dan sang ibu kehilangan pelindung sunyinya, konflik keluarga kembali mengemuka. Kali ini bukan sekadar soal masakan, melainkan pengkhianatan sang ayah yang secara terang-terangan membawa pulang bawang goreng dari rumah perempuan lain. Ketegangan rumah tangga yang dulu hanya berbentuk sindiran kini menjelma menjadi luka nyata yang menghancurkan keutuhan keluarga. Ibu yang selama ini memilih diam dan menahan perasaannya, pada akhirnya mengambil sebuah tindakan. Bertahun-tahun kemudian, Naila tetap tinggal di rumah masa kecil mereka, bersama suami dan anak-anaknya. Luka-luka lama terus berulang dalam wujud baru, menciptakan siklus yang tak mudah diputus. Hal ini sejalan dengan munculnya dorongan alami manusia untuk mencari arti dalam segala hal yang dialaminya. Keinginan untuk memahami ini kemudian mendorong manusia untuk menafsirkan apa pun yang ditemuinya dalam hidup (Hadi W.M., 2008).
Cerpen "Kriminalitas di Meja Makan" sarat akan simbol yang memerlukan pembacaan mendalam. Sejalan dengan pandangan Ricoeur bahwa makna sebuah teks terbuka untuk siapa pun yang dapat membaca (Ricoeur, 1978). Maka, melalui pengalaman dan pemahaman subjektif, pembaca diajak menelusuri trauma keluarga, luka yang diwariskan, dan konflik yang hanya dipendam.
Kutipan "Kau tidak akan selamanya menjadi pengasah pisau dapur, Salman! Kelak, kau akan punya dapur sendiri," menandakan harapan sekaligus ajakan Naila agar Salman melepaskan beban emosional yang selama ini dipikulnya. Ia tidak harus selamanya menjadi penengah konflik keluarga. Ini adalah simbol pembebasan, mengajak Salman membangun kehidupan yang lebih merdeka dari luka masa lalu.
Kalimat "Itulah sebabnya Naila berkali-kali mengingatkan, agar keluarga mereka segera membeli alat pengiris bawang atau onion slicer" menunjukkan usaha Naila mencari solusi praktis untuk memutus lingkaran penderitaan. Onion slicer menjadi simbol keinginan akan perubahan kecil yang mampu mengubah dinamika rumah tangga secara perlahan dan damai.
Adapun kutipan "Meskipun omelan-omelan ayah di meja makan dapat mereda dalam beberapa tahun, karena pisau dapur selalu terjaga ketajamannya oleh Salman, si pengasah andal" menunjukkan bahwa ketenangan dalam keluarga tidak diperoleh dari perubahan sikap atau penyelesaian konflik secara emosional, melainkan dari upaya teknis yang dilakukan oleh Salman. Ketajaman pisau bukan sekadar hasil kerja tangan Salman, melainkan representasi dari usahanya meredam ketegangan yang lebih dalam. Ia mengasah pisau agar tidak ada lagi alasan bagi ayah untuk memarahi ibu. Dengan kata lain, ia mempertahankan kedamaian semu dalam rumah yang sebenarnya masih menyimpan luka dan mengambil peran sebagai penyangga situasi, meskipun itu berarti memikul beban psikologis
"Sebagaimana dikabarkan Naila pada Salman, ayah mereka bahkan tak segan-segan membawa hidangan bawang goreng dari rumah seorang perempuan." Kalimat ini bukan hanya tentang makanan. Ini isyarat bahwa sang ayah secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya pada perempuan lain dan merendahkan istri di hadapan keluarganya sendiri. Perilaku itu tidak hanya menunjukkan ketidaksetiaan, tetapi juga bentuk penghinaan secara terang-terangan terhadap ibu.
Kutipan "Maaf, Naila. Aku hanya pandai mengasah pisau!" mencerminkan pengakuan Salman atas keterbatasannya. Ia tidak sanggup menyelesaikan akar luka keluarganya. Pisau di sini adalah simbol tanggung jawab yang tak pernah sepenuhnya bisa ia lepaskan. Ia hanya tahu cara bertahan, bukan menyembuhkan.
Sementara itu, kalimat "Remeh sekali! Hanya karena bawang goreng bikinanku tidak kriuk-kriuk di dalam mulutnya," kalimat ini menandai bahwa siklus berulang itu kini menjebaknya. Hal sepele seperti tekstur bawang goreng kembali menjadi sumber konflik, seakan-akan kehidupan keluarga barunya ditakdirkan untuk mengulang pola yang sama. Peristiwa ini menunjukkan bahwa trauma emosional dalam keluarga tidak berhenti pada satu generasi, tetapi terus hidup dalam bentuk-bentuk yang berbeda, bahkan dari dapur yang sama. Naila mewarisi luka yang tidak pernah sembuh.
Terakhir, "Salman berharap, Naila dapat menggunakan pisau dapur dengan ketajaman tingkat tinggi itu betul-betul untuk mengiris bawang, bukan untuk menikam rusuk seseorang" Salman, sebagai saksi kehidupan keluarga mereka sejak kecil, memahami bahwa luka lama tidak benar-benar hilang, melainkan diwariskan secara diam-diam. Kalimat ini merupakan bentuk harapan sekaligus kekhawatiran, Salman tidak ingin Naila mengulang siklus kekerasan yang dulu pernah memerangkap ibu mereka. Pisau yang dikirimkan bukan sekadar alat dapur, melainkan simbol pilihan untuk menyudahi warisan luka dengan damai, atau membiarkannya kembali melukai.
Secara keseluruhan, cerpen ini menggunakan elemen-elemen sehari-hari seperti pisau, bawang, dan meja makan sebagai simbol mendalam dari kekerasan emosional dan ketegangan rumah tangga. Melalui pendekatan hermeneutika, pembaca dapat memahami bahwa konflik yang tampak sepele ternyata menyimpan beban psikologis yang berat dan membentuk siklus yang terus diwariskan. Cerpen ini menegaskan bahwa untuk memahami trauma, kita harus membaca lebih dari apa yang tampak, dan menyadari bahwa simbol-simbol sederhana bisa menyimpan duka yang tak terkatakan.