Arus balik dan 'Harus balik' adalah bagian dari mudik yang paling menyebalkan. Life after lebaran, rasanya sangat hampa dan menyesakkan. Suasana rumah yang awalnya ramai dan penuh kehangatan, tiba-tiba harus berganti kembali menjadi ramai lain yang tidak dikenal, ramai stasiun kecil bertuliskan SUKABUMI tertera di bagian fasad depan bangunan. Dua minggu sebelumnya, stasiun tua peninggalan Belanda itu masih terasa seperti pelukan hangat yang menerimaku kembali dari perantauan. Namun, sekarang sebagian besar orang-orang di dalamnya harus melambaikan tangan tanda merayakan perpisahan. Begitupun dengan ayahku, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi agar aku di dalam gerbong bisa melihatnya memberikan salam perpisahan, tangan kirinya masih menggenggam roti kukus rasa cokelat-keju yang sempat-sempatnya kami beli bahkan sepuluh menit sebelum keberangkatan.
Untungnya, sekarang kami sudah tidak perlu lagi berpayah-payah mengantri untuk membeli tiket KAI seperti beberapa tahun yang lalu. Aku sudah aman mengantongi tiket KA Siliwangi jurusan Sukabumi-Cipatat sejak jauh-jauh hari hingga rasa lapar yang mendorongku mendadak ingin membeli roti kukus tidak berubah menjadi rasa sesal karena tidak kebagian tiket kereta. Kini, pengguna setia KAI seperti aku bisa dengan mudahnya memesan tiket KAI lokal, antarkota, commuterline atau bahkan KA Bandara melalui KAI Access. Hanya tinggal klik-klik, pilih tujuan dan stasiun asal, memasukkan identitas, hingga proses pembayaran pun sangat mudah karena dapat dilakukan secara online. Sangat ramah, bintang lima, terutama bagi Gen Z yang jarang membawa perbekalan uang tunai.
Tetapi tetap saja, sepanjang perjalanan, pikiran tentang besok-masuk-kuliah-jam-berapa-ya bahkan tidak menjadi prioritas bagiku yang masih terjebak dengan manis kue nastar buatan ibu dan gurih opor ayam yang tetap enak meski sudah berkali-kali dihangatkan. Alhasil, sepanjang perjalanan sampai dua stasiun terlewatkan, wajahku sudah seperti logo tempat anak-anak les matematika dan bahasa inggris berinisial K. Walaupun sebetulnya, salah satu alasan aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan besok akan telat kuliah atau tidak, apakah aku tidak akan sampai kos kemalaman, atau bisakah aku mendapatkan tidur yang cukup sebelum kelas mulai adalah karena jadwal KAI yang hampir tidak pernah melebihi dari waktu perkiraan yang tertera di aplikasi. Dengan fitur yang sangat membantu tersebut, aku sudah bisa memperhitungkan harus membeli tiket pada jam keberangkatan yang mana dan kapan waktu aku akan sampai kos dengan selamat dan waktu yang tepat.Â
Berbekal ketenangan tersebut, aku mulai bersandar ke dinding kereta berharap rasa kantuk menyerang dan mengalihkan aku agar lupa dengan mendung suasana hatiku yang masih diterpa kesenduan. Namun, belum lima menit berjalan, sebuah suara parau menyerukan panggilan gadis dalam Bahasa Sunda, 'neng', berkali-kali. Karena aku merasa suara tersebut sangat dekat, aku beranjak menegakkan tubuhku dan menoleh ke samping. Benar saja, seorang laki-laki paruh baya sepertinya memang menujukan panggilan itu untukku yang duduk disampingnya. Ketika aku menjawab seruan lemahnya, ia langsung menyodorkan smartphone versi lawas miliknya yang layarnya sudah menguning dan bergaris-garis menampilkan alamat salah satu masjid terkenal di Jawa Barat.Â
"Neng, bisa tolong bantuin saya? Ini untuk melanjutkan ke Al-Jabbar, saya harus naik bis yang mana, ya? Saya teh bingung pisan, Neng." Aku mencerna kebingungannya. Dari penampilannya yang menggunakan koko dan peci putih, aku mulai memahami bahwa sepertinya ia ingin melakukan perjalanan ke daerah Cimekar untuk wisata religi. Masih pertengahan Syawal, sepekan setelah usainya Ramadan, suasana dan semangat ibadah masih kental.Â
Karena seringkali bolak-balik Sukabumi-Bandung dengan kereta lokal, aku dengan lantang menjawab dan menyarankan Bapak Berpeci untuk melanjutkan perjalanan naik KA Bandung Raya. Namun reaksi bapak tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda pemahaman. Tidak puas dengan jawaban yang diberikan, ia kembali menyodorkan gawainya, kini membuka aplikasi KAI Access. "Aduh, neng, jangan kereta deh, saya teh gak ngerti ini pakainya bagaimana. Klik-nya yang mana, ya? Tadi aja saya dibantuin Pak Satpam." Aku mengangguk-angguk menanggapi. Semua penumpang sekursi yang bertemu lutut dengan kami sepertinya ikut menyimak juga.Â
"Sebetulnya saya kurang tau rute selain naik kereta, Pak. Soalnya Al-Jabbar dekat sekali kalau bapak pakai kereta. Turun di Stasiun Cimekar, setelah itu bisa naik ojek atau bahkan bisa tinggal jalan kaki, Pak!" jelasku berusaha sesederhana mungkin, sedikit bersemangat. Bapak Berpeci pun terlihat mengernyit antusias. "Nah, supaya nggak kebingungan lagi, saya ajari step-step beli tiket di aplikasinya, ya, Pak."
Bapak Berpeci tidak membalas. Tapi segera mendekatkan pandangan penasarannya ke arah gawainya yang masih terletak di tanganku. Aku membuka aplikasi tersebut dari awal. Mengenalkan fitur-fitur yang nampak paling pertama dan apa perbedaan di antara mereka. Setelahnya, aku fokus menjelaskan rute menuju Stasiun Cimekar dari Stasiun Padalarang.Â
"Nah, untuk naik kereta ini memang butuh identitas, Pak. Bapak ada bawa... mm.. KTP, nggak, ya?" tanyaku was-was. Takut-takut ia berpikir yang tidak-tidak dan menganggapku agen pinjol atau semacamnya, yang sepertinya hanya ada di kepalaku sendiri. Bapak berpeci mengeluarkan KTP dengan cepat dan menyerahkannya padaku.
"Oke, dari sini bapak yang isi deh." Bapak berpeci agak tersentak. Namun tetap menerima gawainya dan mengetikkan identitas di kolom yang dibutuhkan. Setelahnya, ia kembali menengok padaku, "terus, neng?"
"Sekarang kita pilih jadwal. Karena perkiraan bapak akan sampai di Padalarang pukul sembilan, kita cari aman untuk ambil yang pukul sepuluh, ya? Nah, coba bapak klik di tiket yang pukul sepuluh."Â