Pukul 1 dini hari, aku duduk di balkon kamar asrama. Earphone tersangkut di telinga, lagu-lagu pelan mengalun. Tugas kuliah menumpuk, proposal skripsi belum selesai, dan pikiran terus berputar dengan satu pertanyaan yang sama: Tuhan, apakah aku terlalu biasa?
Mungkin kamu pernah merasa seperti aku. Di zaman media sosial ini, rasanya semua orang punya cerita sukses yang berkilau---beasiswa ke luar negeri, startup yang melejit, viral di TikTok. Sementara aku? Masih berjuang dengan hal-hal yang terasa begitu... biasa.
LinkedIn penuh dengan pengumuman bangga, Instagram Stories dipenuhi pencapaian, dan TikTok seperti panggung bagi para pemenang. Lalu aku bertanya, apakah hidupku ini membosankan? Apakah aku kurang ambisi? Ataukah aku sekadar berjalan di tempat?
Pertanyaan itu menggerogoti kepercayaan diri. Setiap kali teman bertanya tentang pencapaian, aku hanya bisa tersenyum kecut dan mengalihkan pembicaraan.
Aku mencoba berbagai hal demi jadi "tidak biasa." Coba hobi baru, ikut kompetisi yang sebenarnya bukan passion ku. Akibatnya? Burnout dan semakin bingung.
Aku sadar, aku terjebak dalam permainan perbandingan yang tak berujung. Selalu ada yang lebih hebat, lebih cepat, lebih sukses. Dan dalam usahaku meniru mereka, aku malah kehilangan diriku sendiri.
Dalam keputusasaan, aku sering melangkah ke Gua Maria dekat kampus, hanya untuk merenung. Suatu hari, aku mendengar seseorang berkata, "Proses tiap orang berbeda. Aku nggak mau bandingin hidupku sama orang lain, karena kita nggak tahu seberapa berat perjuangan mereka sampai di titik itu."
Kata-kata itu membuka mataku. Aku mulai melihat perjalanan hidupku dengan cara berbeda:
- Ketika aku mendengarkan teman yang patah hati, bukankah itu luar biasa? Di dunia yang serba cepat, memberi waktu dan perhatian adalah hadiah langka.
- Ketika aku bertahan kuliah meski keluarga sedang kesulitan ekonomi, bukankah itu hebat? Tidak semua orang diberi kesempatan itu.
- Ketika aku memilih jujur dalam ujian, bukankah itu tanda integritas yang patut dihargai?
- Ketika aku rutin video call dengan orang tua di kampung, bukankah itu bentuk cinta yang sederhana tapi berarti?
Aku mulai paham: Kehebatan tidak selalu spektakuler. Kadang, kehebatan adalah konsistensi melakukan hal kecil dengan penuh cinta:
- Bangun pagi untuk Misa meski mata masih berat.
- Mendengarkan lagu favorit.
- Membaca satu halaman buku tiap malam.
- Merapikan kamar asrama tanpa disuruh.
Hal-hal kecil ini mungkin tidak viral, tapi mereka membentuk karakter dan memberi dampak nyata.
Aku juga belajar bahwa setiap orang punya perjalanan dan waktunya sendiri. Teman yang dapat beasiswa luar negeri mungkin sudah menyiapkannya bertahun-tahun. Founder startup punya latar belakang berbeda. Mereka yang viral mungkin punya keberuntungan dan kesempatan yang tak sama.