Mohon tunggu...
Irwan Aldrin
Irwan Aldrin Mohon Tunggu... Arsitek - Peminat Budaya

Tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Genderuwo" Pendidikan

29 Juni 2020   22:31 Diperbarui: 1 Juli 2020   14:11 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Bohong!", pungkas Hotmar Sinaga, orang tua siswa peserta PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) 2020, memotong konferensi pers Kadisdik DKI tanggal 26 Juni 2020). Hotmar tak bisa menahan diri manakala Kadisdik bersikukuh mengatakan bahwa "jarak" adalah syarat seleksi zonasi di PPDB DKI. 

Teriakan Pak Hotmar mewakili puluhan, bahkan ratusan ribu orangtua siswa yang tahun ini akan masuk jenjang pendidikan berikut (terutama SMP, SMA), yang menggunakan sistem Zonasi. Paling tidak ada 2 ketentuan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 yang dilanggar oleh Pemda DKI.

Yang pertama, kuota minimal 50% untuk jalur Zonasi dipangkas jadi tinggal 40%. Yang kedua, Zonasi yang diamanatkan Permendikbud, dimana "seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan", diabaikan.

Dalam sistem zonasi ada tiga tahap: (1) peserta dibagi dalam zona-zona (zonasi), (2) diseleksi lewat jarak dari rumah ke sekolah, (3) diperhitungkan umur yang lebih tua, manakala jarak dari rumah ke sekolah antara peserta sama.

Di DKI (SK Kadisdik No. 501 Tahun 2020), proses seleksi kedua, jarak dari rumah ke sekolah dihilangkan. Langsung dilakukan seleksi berdasarkan prioritas usia peserta didik. Ini yang jadi sumber masalah.

Akibatnya? Dalam proses PPDB per tanggal 27 Juni 2020, yang sudah dalam tahap selesai 75%, sebagian besar SMP Negeri di DKI yang tahun lalu lulusannya terserap di SMA/SMK negeri lebih dari 90%, tahun ini baru sampai di rentang 10-15%.

=====

Di sini ada genderuwo yang sudah melanggar asas keadilan dan merampas hak anak-anak. Dalam cerita rakyat, genderuwo spesialis penculik anak-anak ini disebut "wewe gombel". Genderuwo jenis ini senang menculik anak-anak yang lepas dari pengawasan orangtuanya.

Dalam keadaan pandemi Covid-19, beban masalah yang menghimpit masyarakat sangat berat. Orangtua pontang-panting memenuhi kelangsungan hidup sehari-hari. Dalam kesempitan inilah kita lengah, dan dalam sekejapan mata, hak-hak anak-anak kita yang sedang asyik bermain, direnggut.

Sifat pertama kaum siluman, genderuwo atau wewe gombel, adalah anti-nalar. Tidak perlu jadi pakar bertitel sekarung untuk memahami kalimat "seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan" pada Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Cukup jiwa yang bersih dan akal sehat.

Sifat siluman berikut adalah kemampuan berkelit sehingga sulit ditangkap dan diterka. Satu alasan yang dipatahkan akan dilarikan ke alasan yang lain, sehingga tak pernah terjadi dialog yang baik. 

Genderuwo memang tak butuh dialog. Berargumen dengan mereka hanya akan membawa kita pada keletihan emosi, akal dan jiwa, karena mereka demikian lihai, trampil dan punya stamina tinggi untuk melakukan perdebatan semacam itu.

Siluman, sebagai mahluk halus juga suka merasuki orang. Jangan heran bila, seorang sehat tiba-tiba meracau. Para tokoh pembicara, yang sering muncul di televisi, juga mudah berubah pendapat dari waktu ke waktu.

Kaum siluman juga irasional. Keputusan mereka ambil tanpa pertimbangan dan pemikiran yang memadai. Akibatnya, kerusakan yang terjadi sulit diperkirakan besarnya. 

Mereka kelihatan berusaha memperbaiki sesuatu, tapi yang terjadi adalah makin banyak masalah baru. Dalam kitab suci dikatakan tentang jenis ini: kalau diingatkan kepada mereka supaya jangan merusak, mereka akan menjawab, kami ini sesungguhnya sedang memperbaiki.

Jangan heran, kalau kita tak pernah maju, karena kita terus sibuk menambal masalah-masalah baru. Kapan kita mulai serius bekerja untuk menaikkan peringkat PISA yang sekarang di nomor buncit, kalau di ibukota negara, kita masih pakai cara coba-coba untuk menyaring anak-anak masuk sekolah.

Genderuwo sebagaimana jenis hantu-hantu yang lain cuma bisa dilihat oleh mereka yang jadi korbannya. Orang lain tak bisa melihat. Kejadian di DKI ini adalah skandal besar, tapi mereka yang tidak terkena sulit sekali melihatnya. 

Jumlah mereka yang terdampak akibat keputusan ini sampai ratusan ribu anak. Lulusan SMP saja, tahun ini jumlahnya 153.016 orang. Hanya 33% yang bisa diterima di SMA dan SMK Negeri.

Jadi, hanya 33% yang bisa ditampung lewat PPDB. [1] 100 ribu anak tak tertampung di negeri, harus masuk swasta. Ini baru lulusan 2020. Apabila lulusan 2018 dan 2019 diikutkan dalam perhitungan, yang memang terjadi dalam PPDB DKI tahun ini, tentu jumlah 100 ribu ini akan bertambah lagi.

Mungkin juga genderuwo ini tak terlihat karena dia begitu menyeramkan, sehingga banyak yang pura-pura tidak melihatnya. Kemendikbud, contohnya, ketika ditemui oleh utusan orangtua (29/06/2020) mengatakan bahwa mereka baru memahami masalah ini. 

Hampir seluruh pemangku kebijakan seperti "buang badan", lepas tangan, serba enggan dan sangat lamban bertindak, seperti membiarkan kerusakan yang lebih besar terjadi.

Yang terakhir, genderuwo tak punya kemanusiaan. Tak perlu heran, karena mereka memang bukan manusia.

Sebagian besar siswa dan orangtua sudah menyiapkan bagaimana strategi di kelas terakhir, melakukan persiapan untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi, sejak setahun sebelumnya. Biaya dan tenaga yang tak sedikit untuk mempersiapkan pelaksanaan UN (Ujian Nasional) 2020, yang akan jadi UN terakhir di Indonesia.

Tak disangka, PPDB dengan UN di DKI akhirnya resmi dibatalkan ketika pandemi melanda Indonesia, bulan Maret 2020 (sumber). 

Tapi, Mendikbud menyatakan bahwa PPDB saat ini sudah bisa 70 persen berdasarkan sistem zonasi, sehingga tidak perlu lagi didasarkan pada nilai UN. Sisanya 30 persen diberikan kepada siswa dengan jalur prestasi, baik non akademik maupun akademik [2].

Ketika digunakan istilah "zonasi", tentunya di benak manusia bernalar sehat, acuannya adalah apa yang sudah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia selama ini yang juga sesuai dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. 

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, umpamanya sudah melaksanakan PPDB Zonasi sejak tahun 2018. Sekedar catatan, pada PPDB zonasi 2018 dan 2019, jalur zonasi dialokasikan sampai 90%. [3]

Tak sampai 2 bulan kemudian, tanggal 11 Mei 2020, muncul SK Kadisdik DKI No. 501 tentang Juknis PPDB 2020. SK tentang Juknis yang muncul 2 pekan sebelum Hari Raya Idul Fitri ini, digunakan untuk mengatur PPDB yang akan berlangsung 6 pekan kemudian, atau sebulan sesudah Hari Raya. 

Dalam waktu yang sedemikian singkat, dalam keadaan demikian riuh dan sibuk itulah, perubahan cara seleksi PPDB yang sangat kritis ini diumumkan. Di sinilah genderuwo merampas habis semua harapan dan cita-cita anak-anak dan orangtua mereka.

Dalam keadaan sesulit ini, dimana kemanusiaan seharusnya kita bangkitkan, solidaritas sepatutnya kita kedepankan, sulit memahami kenapa ada mereka yang begitu tega menambah kesulitan siswa dan orangtua dengan cobaan berat lainnya.

Anak-anak ini, yang biasa dipanggil angkatan 2020, bahkan tak pernah bisa untuk sekedar saling berpelukan guna merayakan kelulusan. Apa yang bisa kita sebut tentang kejahatan ini, kalau bukan pekerjaan para genderuwo?

Dalam ruang genderuwo yang gelap, dan dalam waktu pandemi yang menakutkan ini, dunia pendidikan benar-benar diuji. Di dunia pendidikan, seharusnya tiap-tiap apa yang dilakukan sehari-hari, sampai yang seremeh-remehnya, punya makna keteladanan. Akhirnya hanya satu yang paling jadi pertanyaan: Apa yang tersisa, yang masih bisa kita ajarkan ke anak-anak kita saat ini?

(Irwan Aldrin)

=====

[1] Daya Tampung SMA dan SMK Negeri Hanya 32,93 Persen, Disdik DKI: Harus Ada yang Sekolah di Swasta (kompas.com, 25/06/2020)

  • Daya tampung SMA Negeri 28.428, SMK Negeri 19.182. Total 47.610.
  • Daya tampung SMA swasta 35.244, SMK swasta 71.388. Total 106.632.
  • Total daya tampung SMP dan SMK, swasta maupun negeri = 154.242
  • Lulusan SMP, swasta maupun negeri, jumlahnya 153.016.
  • Berdasar daya tampung hanya 32,93 persen siswa SMP yang bisa diterima di SMA dan SMK Negeri

[2] Tirto.id.

[3] Permendikbud 51 Tahun 2018 mengalokasikan zonasi paling sedikit 90 persen, prestasi paling banyak 5 persen, dan perpindahan tugas orang tua paling banyak 5 persen. (sumber). Ini diubah dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, dimana jalur zonasi paling sedikit 50 persen, dan afirmasi paling sedikit 15 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun