Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kesaktian Jari Tengah Pak Gubernur

16 April 2012   13:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang di warung Bi Mimin sedang ngomongin soal jari tengah. Ini gara-gara ada berita soal gubernur ibukota yang mengacungkan jari tengah waktu kongkow sama anak-anak muda. Acungan jari tengah Pak Gub kejepret foto wartawan dan beredar ke mana-mana, temasuk diberitakan di TV.

Mang Kosim, mantan anak band tahun 80-an yang punya nama panggung Ozzim yang paling heboh soal ini, sampe geleng-geleng kepala melihat kelakuan Pak Gub yang sedang nyalon lagi untuk yang kedua kalinya ini. Di berita TV, katanya Pak Gub mengaku nggak ngerti makna acungan jari tengahnya itu, sementara menurut Mang Kosim, itu nggak mungkin banget. “Masak Gubernur nggak tau, dia kan dapat gelar sekolahnya di luar negeri. Saya aja yang cuma tamatan sekolah kampung ngerti kok...” kata Mang Kosim.

“Lah memangnya artinya apa, sampe masuk tipi segala?” tanya Ki Arja yang seumur hidupnya tidak pernah meninggalkan Cibangkonol, kecuali ke kota untuk menjual sayur hasil panennya. Itu juga waktu masih muda dan kuat, sekarang sayurannya tinggal dijual ke si Tatang, tengkulak sayur di situ. “Artinya jelek Ki, kalau di barat itu, acungan jari tengah bisa diartikan penghinaan, ngajak berantem, tanda kebencian, pelecehan seksual, macem-macem lah...” kata Mang Kosim dengan berapi-api.

“Kalau di sini?” tanya Ki Arja lagi. Mang Kosim diam sejenak, mikir. “Di sini sih nggak ada artinya kali, nggak tau deh...” jawab Mang Kosim bingung. Ki Arja menghembuskan asap tembakau dari padudannya, lalu menyeruput kopi yang dipesannya di warung itu. “Kalau nggak ada artinya, kenapa harus diributin, pan Pak Gubernurnya juga tinggal di sini, jadi gubernur di sini, bukan di barat!” kata Ki Arja, “Mungkin saja dia asal ngacung...” sambung Ki Arja santai.

Mang Kosim ngerti sikap Ki Arja, karena dia emang nggak ngerti. Tapi menurut perasaannya, kalo orang ngerti pasti tersinggung kalau dia yang diberi acungan itu. Ia saja yang bukan ‘korban’ acungan jari itu merasa kelakuan Pak Gub itu keterlaluan. Lebih keterlaluan lagi kalo dia mengaku nggak tau artinya. Ki Arja nggak tau pantes, tapi Pak Gub? Terus yang diacungi itu anak-anak muda yang kebanyakan pasti tau artinya, jadi pantes sebagian merasa tersinggung.

Karena masih penasaran dan mengganjel, Mang Kosim bertanya lagi pada Ki Arja, “Ki, kalau menurut Aki dan karuhun (leluhur) kita, ada nggak yang namanya jari jelek itu?” tanyanya. Ki Arja mengernyitkan dahinya, terus menggeleng, “Ah nggak ada kayaknya. Semua jari ya bagus, pemberian Yang Ngasih. Jempol buat memuji atau menunjuk dengan sopan, telunjuk buat nunjuk angka satu, bisa juga tanda muji, jari tengah biasa dipake untuk masang ali (cincin) yang paling bagus atau paling bertuah, jari manis buat ali kawinan, cinggir (kelingking) biasanya dipake anak-anak buat ngajak baikan kalau habis berantem atau musuhan...” jawab Ki Arja.

“Jari tengah buat masang ali yang paling bagus dan paling sakti?” tanya Mang Kosim. Ki Arja mengangguk, “Iya, seingat saya begitu. Dulu kakek saya punya ali gede di jari tengahnya. Batunya hitam, gede. Katanya sakti, kalau ada orang keselek, cincinnya tinggal dimasukan ke dalam air, terus airnya diminumkan pada orang yang keselek itu, pasti langsung sembuh!” kata Ki Arja dengan mimik wajah serius. Mang Kosim mengangguk-angguk, sementara Kabayan yang ada di situ ketawa. Mang Kosim bingung, “Kenapa ketawa, Yan?” tanyanya.

Kabayan cengar-cengir, “Ya iya lah, yang namanya orang keselek itu sembuhnya ya dikasih air minum, nggak pake cemplungan ali sakti juga tetep bisa sembuh!” jawab Kabayan. Mang Kosim mikir sejenak, baru ketawa setelah sadar. Sementara Ki Arja cuma mesam-mesem. “Ah, si Aki mah, kirain serius!” kata Mang Kosim yang merasa kecele.

“Tapi bener Cim, sayah waktu masih kecil pernah dijitak sama kakek sayah, jitaknya pake ali gede yang di jari tengahnya itu, wah, rasanya, ngajelengkring (susah nyari padanan katanya nih... ada yang bisa bantu?), terus mata langsung tingburinyay (berkunang-kunang, kurang lebih). Terus katanya, kalo kakek saya adu kesaktian, cincinnya yang gede itu tinggal digosok-gosokkan ke telapak tangan kirinya, setelah itu akan mengeluarkan cahaya yang matak serab (menyilaukan) orang yang melihatnya..” lanjut Ki Arja. Kali ini, kayaknya serius.

Mang Kosim merenung sebentar, “Jadi, di sini jari tengah nggak ada jeleknya ya?” tanyanya. Kabayan menimpali, “Ah, itu kan perasaan Jang Kosim sajaaah yang sentimentil, atau kebanyakan nonton pilem bule...” katanya. Mang Kosim nyengir, “Masalahnya, jari tengah Pak Gubernur itu kan lain ceritanya Yan...” kata Mang Kosim.

“Ya bisa jadi gubernur itu sedang menunjukkan kesaktiannya... liat saja nanti, kalau dia kepilih lagi, berarti bener-bener sakti!” timpal Kabayan sambil menghabiskan kopinya dan pamitan. Aki Arja menyusul pamit. Tinggallah Mang Kosim sendiri ditemani Bi Mimin yang punya warung....

Jogja, 16 April 2012


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun