Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Curhat FS Setelah Antre BBM Jogja di Medsos

30 Agustus 2014   01:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Entah berapa hari sudah warga Jogja disibukkan oleh satu urusan; antri BBM. Nggak ada SPBU yang sepi antrean, kecuali yang sengaja ditutup karena tak punya lagi stok BBM yang harus dijual. Dua SPBU di Jalan Solo dekat pertigaan Janti, sama sibuknya. Satu SPBU yang terletak di utara jalan milik Pertamina, antrean sepeda motornya hingga mendekati Ambarukmo Plasa, tak pagi, tak siang, dan begitu pula malam hari. SPBU di sebelah selatannya yang hampir berhadapan, tak jauh beda, buntut antreannya sampai ke kolong jembatan Janti. SPBU lain, di seputaran Jogja, sama saja.

Geger? Nggak juga. Warga Jogja masih ayem, meski tetap bingung bagaimana mendapatkan bensin buat kendaraannya yang sehari-hari digunakan untuk beraktifitas. Maklum, angkutan umum di Jogja tidak banyak. Tidak ada angkot yang blusukan sampai ke kampung-kampung. Transjogja dan bis kota juga hanya melintasi jalur-jalur utama saja. Sepeda, sudah banyak yang dikandangkan.

Panjang antrean tak membuat kepala orang Jogja kehilangan kesabaran. Antrean sepeda motor dua baris tampak tertib, kalaupun sempat menggerombol, ada petugas kepolisian dan satpam yang memberesinya. Orang-orang saling mengbrol dengan sesama pengantre lain, meski di depan sana tak pasti apakah masih akan kebagian barang yang diantrekan. Kalaupun sampai giliran, belum tentu dikasih jatah sesuai keinginan. Sudah sejam antre, hanya dikasih jatah mengisi tanki motor sepuluh ribu rupiah saja, tak sampai satu setengah liter. Atau, apes-apesnya, ya terpaksa beli pertamax yang lebih mahal. Sebagian ada yang memanfaatkan kesempatan. Menjual BBM dengan harga lebih tinggi dari harga eceran biasanya. Orang masih maklum, ketimbang antre, ya sudah. Kalau keberatan ya silakan antre.

Antre BBM juga membuat beberapa mahasiswa memutar akal dan bekerjasama. Seorang di antara mereka yang memiliki sepeda motor laki (motor sport, berkopling) yang kapasitas tangkinya cukup besar untuk mengantri malam hari dan mengisinya sampai penuh. Sampai di kosan, isi tangki disedot dan dibagi-bagi pada kawannya yang lain, sekadar bertahan ‘hidup’ agar motor masih bisa dipakai beraktifitas. Jika habis, ya ada yang ngantre lagi, bergiliran.

Tapi, dua hari belakangan, warga Jogja geger. Masih ada hubungannya dengan antre mengantre BBM. Tapi bukan karena BBM habis, tapi karena ulah seorang mahasiswi. Pada Rabu 27 Agustus 2014, entah bagaimana ceritanya, mahasiswi berinisial FS itu tiba-tiba nyelonong dengan motor matik berwarna krem, melintasi para pengantre lain yang mengular di SPBU Lempuyangan. Ia lalu merajuk minta dilayani. Ia kemudian dicegah oleh petugas SPBU juga oleh seorang pria berseragam TNI yang entah sedang bertugas jaga atau kebetulan ada di situ..

Karena kesal, si mahasiswi lalu curhat di media sosial. Curhatnya malah tak berkaitan dengan kejadian di SPBU, ia justru menyebut-nyebut Jogja –kota tempat dia menuntut ilmu—sebagai kota yang menyebalkan, membosankan, miskin, tolol, tidak berbudaya, bahkan sampai membawa-bawa nama Sultan segala sebagai pemimpin politik dan budaya orang Jogja untuk ‘mengerti’ –entah apa yang harus dimengerti oleh Sang Sultan.

Posting itulah yang bikin geger. Keesokan harinya, ada demo di bundaran kampus tempat FS kuliah. Intinya, meminta FS angkat kaki dari Jogja. Apa boleh buat, meski FS tak membawa-bawa nama kampusnya, tapi di identitas media sosialnya nama kampusnya itu muncul. Dan Nona FS pun jadi bulan-bulan di media sosial. FS sempat mengelak sambil memberi ‘penjelasan’ tentang kronologi kejadian –tentu saja versi dia-- dan minta maaf, lalu kemudian menutup akun-akun media sosialnya karena banyaknya hujatan yang dialamatkan kepadanya. FS juga sempat diwawancarai radio kampusnya dan meminta maaf di situ. Tapi sebagia warga, khususnya yang aktif di dunia maya kadung kesal dan ramai meminta FS diusir dari Jogja. Kampus tempatnya menimba ilmu juga berreaksi, karena merasa malu institusinya ikut terkait peristiwa itu.

“Kok bisa sih warga Jogja segitu marahnya?” tanya Mang Odon pada Jang Edwin yang menceritakan kisah itu. “Yaa bukan warga Jogja semuanya, cuma yang aktip di internet sajah. Tapi bisa juga sih warga umum juga kesal karena ulahnya. Sudah nggak mau antre, malah menjelek-jelekkan kotanya...” Kabayan menimpali.

“Salah dia sendiri sih...” timpal Mang Uju yang berprofesi sebagai sopir angkot yang ikut merasakan bagaimana susahnya mendapatkan BBM untuk kendaraan dinasnya, “Orang sudah capek antre, main selonong saja, terus habis itu marah-marah dan menghina kota. Kalau dia menghina kampung kita, Cibangkonol, saya juga mungkin marah...” lanjutnya.

Jang Edwin senyam-senyum, “Kesalahan lainnya, dia itu curhat di media sosial. Dia lupa kalau curhat di media sosial itu seperti curhat di corong masjid, seolah nggak ada yang mendengar, padahal banyak orang di luar sana yang mendengarnya...” komentar Jang Edwin.

“Siapa yang curhat di corong masjid?” tanya Bah Usup yang ada di pos ronda tapi nggak menyimak obrolan. “Ya bener sih Jang, curhatnya di corong masjid pake menghina warga sekitar pula.. ya pantes saja warga marah...” kata Mang Uju tanpa menghiraukan pertanyaan Bah Usup.

“Nah itu Mang, makanya jaman sekarang mah hati-hati kalau berkomentar di media sosial. Bukan saja bisa dimusuhi ramai-ramai, kalau apes malah bisa diseret jadi urusan hukum. Kalau mau marah-marah atau curhat mah sama teman sendiri saja, atau teriak-teriak sendiri di kamar!” kata Jang Edwin.

“Nah itu persoalannya Jang...” timpal Kabayan, “Orang sekarang kok lebih suka curhat di media sosial ya, urusan cinta, rumah tangga, sampai politik juga diumbar di depan umum. Sementara teman yang nyata-nyata ada di dekatnya malah jadi jarang disapa...” sambungnya. “Yaa itu Kang, bener kata orang, media sosial itu seringkali mendekatkan yang jauh tapi malah menjauhkan yang dekat...” timpal Jang Edwin.

“Bener juga ya Jang.. untungnya saya mah nggak pernah urusan sama media sosial, kalau curhat ya sama istri saja, atau sama tetangga. Jadi nggak bakalan curhat di depan corong masjid...” kata Mang Uju.

“Ya iya lah, corong masjid mah jangan dipake curhat, tapi dipake pengumuman sama adan...” Bah Usup menimpali lagi. “Siapa sih yang curhat di corong masjid itu?” tanyanya. Semua mata langsung tertuju pada Bah Usup. Bah Usup cengar-cengir, “Ngomong-ngomong, curhat teh apaan sih Jang?” tanyanya sambil melirik Jang Edwin.

Mang Odon mendelik, “Haaah, untung Bah Usup ngomongnya di sini. Kalau ngomongnya di media sosial, dia bisa diusir juga dari Cibangkonol, malu-maluin aja!”

Bah Usup masih cengar-cengir, “Yaah masak gara-gara nggak tau apa itu curhat, saya harus diusir dari sini!” katanya. Tapi bukannya Bah Usup yang diusir, melainkan Kabayan, Mang Odon, Mang Uju, dan Jang Edwin yang meninggalkannya sendirian di pos ronda, melanjutkan acara nonton lawak siram-siraman tepung itu....

Jogja, 29 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun