Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Noni

6 Februari 2024   21:55 Diperbarui: 6 Februari 2024   22:24 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: hitekno.com

"Tunggu sebentar kembaliannya Mbak..." kata Maman seusai menerima selembar uang berwarna kemerahan dari perempuan yang memesan makanan kepadanya. "Nggak usah Bang, ambil aja..." jawab perempuan itu dengan suara agak sengau. "Tapi banyak sekali Mbak..." kata Maman lagi. "Nggak apa-apa, ambil aja...." Perempuan itu berkata lagi sambil membalikkan badan dan berjalan melalui pagar besi tinggi menuju rumah putih bergaya Belanda itu. "Makasih banyak ya..." Maman tak melanjutkan omongannya, percuma, orangnya sudah tidak ada. Hanya ada desir angin lalu semerbak wangi bunga. Bunga apa ya, Maman mengenalinya, tapi tak bisa mengingatnya.

Hujan turun, gerimis. Maman memutuskan untuk pulang. Sudah lewat tengah malam, penumpang ataupun orang yang mau memesan makanan sudah berkurang. Lagipula, hari ini dia sudah narik sejak pagi buta, hasilnya juga sudah lebih dari cukup. Besok, sudah dia niatkan untuk narik agak siang, paginya istirahat dulu untuk menyegarkan badan. Ia sadar, harus banyak istirahat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Istrinya, Cicih, sebetulnya sudah melarang dia narik dan mencari kerjaan lain yang lebih ringan. "setidaknya yang tidak terlalu sering kena angin..." katanya. Tapi mau kerja apa lagi? Pekerjaan jadi ojek online itu yang paling gampang. Modal motor yang dipinjamkan adiknya, ponsel yang nggak perlu canggih-canggih amat, SIM yang masih aktif, sudah, tinggal ditambahi kemauan.

Besok malamnya, Maman sudah hampir pulang saat orderan yang sama masuk lagi ke aplikasinya. Pesanannya sama, sate kambing dengan pesanan khusus "jangan terlalu matang, agak mentah saja" dan nama juga alamat pemesannya sama. Maman pun tersenyum, "Lumayan, penutup..." pikirnya. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera menuju tukang sate yang sama, dan tidak perlu waktu terlalu lama karena sudah malam, pembeli lain juga sudah kurang. Tak perlu waktu lama juga baginya untuk sampai di alamat si pemesan, rumah perempuan yang kemarin malam, yang di aplikasi hanya menulis namanya 'Noni' saja. Perempuan itu juga yang menemuinya langsung, di depan gerbang besi tinggi. Ia bahkan sudah berada di situ sebelum Maman tiba, seolah menantikannya. Dan, sama dengan malam sebelumnya, ia tak mau menerima uang kembalian, lalu sudah hilang sebelum Mamang mengucapkan terimakasih. Juga sama, diakhiri dengan desiran angin dan semerbak bunga itu; bunga yang ia lupa namanya.

Besok malamnya lagi. Tiga malam berturut-turut. Sama persis semuanya.

Keesokan harinya, sebelum ia berangkat narik, Cicih istrinya memanggilnya seperti biasa. Biasanya, kalau pulang narik, Maman memberikan tas pinggang yang selalu dibawanya untuk menaruh peralatan kerjanya --terutama pengisi daya telepon---dan uang tunai, baik yang ia dapatkan dari pelanggan yang membayar tunai, atau yang sengaja ia bawa untuk uang kembalian dan tentu saja untuk isi bensin. Istrinya, akan menghitung uang tunai yang didapatnya meski jumlahnya tentu tidak pernah sama, karena banyak juga pelanggan yang sudah memakai pembayaran digital. Lebih atau kurang, sebelum berangkat narik, Cicih akan menyediakan uang sekira 200 ribu dalam berbagai pecahan, termasuk recehan. Sudah niat Maman untuk selalu mengembalikan uang pelanggan berapapun, kecuali si pelanggan yang mengikhlaskannya. Ia tak mau makan uang 'riba' dengan mengaku-ngaku tidak punya uang kembalian kepada pelanggan. Kecuali memang benar-benar tidak ada, itupun ia akan berusaha dulu dengan menukar.

"Kang, ini apaan sih?" tanya Cicih sambil meletakkan selembar daun kering di atas meja dekat tempat Maman duduk memasang sepatunya. "Daun dari mana?" tanya Maman. "Malah balik nanya. Iya ini daun apaan, kok ada di tas?" Cicih agak mendelik. "Ya nggak tau atuh, mungkin ada daun jatuh pas Akang buka resletingnya. Kenapa sih? Gitu aja diributin!" kata Maman. "Bukan begitu, tapi masak tiap hari ada daun yang jatuh dan masuk ke tas Akang. Ini sudah tiga hari berturut-turut saya nemu daun ini di tas Akang. Satu dua kali mah nggak dipikirin sama saya, saya buang aja. Tapi ini, saya nemu lagi!"

Maman yang baru selesai memakai sepatunya segera meraih daun kering yang nyaris sepanjang telapak tangan dan lebarnya sekira tiga jari itu. Ia mengamatinya. Rasanya pernah melihat daun itu, tapi daun apa, ia nggak tahu. "Ini daun apa ya?" ia melirik istrinya. "Itu daun kamboja kering..." jawab Cicih. "Beneran?" tanya Maman. Cicih mengangguk. Maman menerawang, mengingat-ingat apakah di tempat biasanya ia mangkal ada pohon itu. Warung kopi si Inong, tempat paling sering ia nongkrong, ia ingat betul, tak ada pohon apapun, paling kembang di pot yang tidak terurus, itu juga tanamannya gelombang cinta yang sudah tidak laku lagi, nggak seperti dulu bisa ratusan ribu bahkan konon sampai milyaran. Tempat lain? Rasanya juga ia tak ingat pernah menunggu orderan di bawah pohon, apalagi pohon kemboja. Bukannya pohon itu lebih sering ditemukan di pemakaman? Sementara ia tak pernah ingat lewat di pemakaman manapun.

"Malah bengong!" kata istrinya. Maman menggeleng, "Ah sudah lah, daun aja dipake ribut. Saya juga nggak tau itu daun dari mana! Yang penting kan bukan daleman cewek yang ada di situ!" kata Maman asal, niatnya bercanda. Tapi Cicih menanggapinya serius. "Memang pernah?" tanyanya sambil mendelik. "Astaghfirullah Cicih... bercanda atuh!" kata Maman. "Kali aja, buktinya gak pernah lagi ngasih duit lebih buat beliin saya yang begituan!" kata Cicih lagi. "Malah ngajak ribut. Udah lah, kan dari kemarin ada uang ratusan 3 lembar yang kamu ambil. Udah pake aja itu buat beli yang kamu suka. Buat saya mah sisain receh sama buat beli bensin aja seperti biasa!" kata Maman.

"Uang ratusan dari mana? Sudah tiga hari isinya receh semua, paling gede lembaran limapuluh ribu, lainnya banyaknya ijo sama ungu!" kata Cicih. Maman mendelik, "Jangan bohong kamu. Sudah tiga malam berturut-turut Akang dapat pelanggan yang sama, selalu ngasih duit seratus ribu dan orangnya nggak minta kembalian. Yakin Akang mah uangnya pasti nggak kepake, karena selalu pelanggan terakhir, habis itu langsung pulang!" kata Maman. Giliran Cicih yang mendelik, "Saya juga berani sumpah, nggak nemu uang seratusan selembar pun beberapa hari ini, yang ada nemu daun itu tiga hari berturut-turut!"

Maman bengong, ia merasa yakin. Tapi setelah hidup selama 25 tahun bersama Cicih, istrinya itu juga bukan orang yang suka berbohong. "Aaah sudah lah, nanti lagi diomonginnya. Ini sudah mau jam istirahat orang kerja, biasanya banyak orderan," Maman berdiri, meraih tas pinggang andalannya di meja. "Berangkat dulu..." katanya pada istrinya. Cicih ikut berdiri, meraih tangan suaminya dan mencium tangannya. "Ya udah hati-hati, pulang bawa duit yang banyak, bukan bawa daun!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun