Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (110) Dewasa dan Alim?

20 Maret 2021   13:34 Diperbarui: 21 Maret 2021   22:54 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (109) Simon Arsakhi Ter-Petrosian

*****

Kok malah jadi mampir di rumahnya si Simon sih, bathin Soso. Maunya ngunjungin cewek manis blasteran Rusia-Georgia, malah jadi nyasar di rumah cowok tengil blasteran Armenia-Georgia itu. Apa pula yang diinginkan Romo Arshaki itu, meminta mengajarinya Bahasa Rusia?

Dulu, waktu kecil, Soso memang sering diminta mengajari anak-anak lain membaca. Muridnya setidaknya ada dua, si Nora, anaknya Romo Charkviani, dan si Bonia anak Pak Koba yang sekarang jadi adik tirinya itu. Lumayan sukses sih, setidaknya hasilnya mereka berdua bisa membaca dan menulis.

Yang ini juga tampaknya akan sulit ditolak seperti dulu. Dulu, Soso tak bisa menolak karena dua orangtua muridnya adalah orang yang banyak berjasa pada keluarganya sepeninggal Pak Beso. Sekarang, yang meminta adalah Romo Arshaki, guru di sekolah gerejanya.

Berbeda dengan guru-gurunya di seminari yang tak banyak yang ia hormati, sebandel-bandelnya Soso dulu, ia masih menghormati guru-guru sekolah pertamanya itu. Semuanya, tanpa kecuali. Mungkin karena dekat, tak berjarak, sama-sama orang Gori, dan tak membeda-bedakan murid dari asal-usulnya.

"Jadi maksud kakekmu itu apa sih?" tanya Soso pada si Simon.

"Kau tahu lah So, dulu aku kan bukan murid yang pinter," jawab si Simon, "Atau setidaknya, yang kurasakan, aku males. Mungkin karena orangtuaku kaya, tak terpikirkan pentingnya sekolah itu. Apa yang kubutuhkan ada, berlebih malah. Kalaupun aku punya cita-cita, aku hanya ingin jadi tentara. Itu saja."

"Bapakku juga lumayan punya pengaruh, jadi tak terlalu sulit kalau aku ingin jadi tentara. Dan kupikir, kalau mau jadi tentara ya tak perlu belajar sungguh-sungguh, asal mau saja..." lanjutnya. "Tahunya bapakku malah bangkrut. Sekarang hidup susah. Bapakku pergi pula, entah dia akan balik lagi ke sini atau tidak. Lalu kakekku, ingin aku menjadi pendeta sepertinya. Dimintanya aku sekolah seminari di Tiflis seperti kamu, si Seva, dan si Peta..."

"Tapi ya itu, Bahasa Rusiaku payah, padahal katanya, kalau masuk seminari itu, yang penting Bahasa Rusia, yang lain-lain tak terlalu penting, bisa menyusul..." lanjutnya. "Makanya dia ingin aku belajar Bahasa Rusia. Sudah diniatkannya memang aku dikirim ke Tiflis, belajar bahasa sebelum saatnya pendaftaran siswa baru. Kebetulan kau bertemu dengannya. Jadi mungkin kakekku kepikiran untuk memintamu mengajariku, bahasa dan juga persiapan lain sebelum masuk!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun