"Iya, tapi ya itu, selain capek, balik ke pangkalan juga jauh, jadinya jumlah tarikan lebih sedikit. Mendingan narik yang dekat tapi sering..." imbuh Jana.
"Kenapa atuh nggak narik yang dekat?"
"Yang dekat maunya naik motor yang bagus," keluh Jana. "Motor Akang mah jadi spesialis jalan butut. Itu juga karena yang lain nggak mau narik, sayang sama motornya. Terpaksa Akang yang narik. Penumpangnya ya mau nggak mau, daripada jalan kaki.."
"Ya sudah," timpal Jojoh, "Barangkali rezekinya begitu. Lagian kan dokter juga kalo spesialis duitnya lebih banyak karena bayarannya lebih mahal..." ia tertawa kecil.
"Kalau kita nikah nanti," kata Jana sambil mencolek sambel dengan timun seger lalu menjejalkan ke mulutnya, "Akang kan bakal dikasih jatah sawah di Cibitung sama Abah. Daripada digarap mendingan dijual saja, buat beli motor yang lebih bagus!"
"Jangan lah Kang, sayang, nanti kita nggak punya beras..." sela Jojoh. "Biar saja, nggak usah dijual. Saya aja nanti yang garap, Akang tetep narik..."
"Tapi motor Akang sudah ampun-ampunan Neng, sudah boros, harus beli oli samping, mogokan pula..." kata Jana, "Tambah banyak yang nggak mau naik motor Akang, tambah sepi penumpangnya! Kalau motornya baru kan uangnya lebih lancar, kamu nggak usah nunggu panen dulu buat beli beras!"
"Kalau begitu, sawah di Pasir Bentang, jatah saya dari Bapak yang akan saya garap..." kata Jojoh.
"Luas Neng?"
"Lumayan..." jawab Jojoh.
"Kalau gitu, itu aja yang dijual, yang di Cibitung yang digarap!" kata Jana. "Soalnya kalau yang di Cibitung, meski luas, harganya murah, soalnya jauh dari kampung, sama jarang kebagian air!"