Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (98) Kabar Buruk Saat Pulang

7 Maret 2021   21:24 Diperbarui: 8 Maret 2021   22:53 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

"Tak ada apa-apa di antara kita?"

Natela menggelengkan kepalanya, "Tak ada. Biar aku saja yang menyimpan kenangannya, kamu nggak usah!"

"Ya mana mungkin bisa begitu!" kata Soso.

"Harus bisa! Aku nggak mau jadi penghalang langkahmu..."

Soso memeluknya, "Terimakasih atas segalanya! Biar bagaimanapun, kau pernah hadir dalam hidupku, tak mungkin aku bisa melupakanmu begitu saja!"

*****

Kereta api itu, yang sudah kesekian kalinya ditumpangi Soso, membawanya meninggalkan Poti, sebuah kota kecil yang entah kenapa begitu membekas di dalam hatinya. Kota itu telah memberinya begitu banyak pelajaran, langsung maupun tidak langsung, yang terpikirkan maupun yang tidak disadarinya.

Saat kereta itu mendekati stasiun Gori, Soso teringat pada Mak Keke, ibunya. Mendadak ia begitu merindukannya. Ia ragu, apakah ia akan turun di Gori dan menemui ibunya itu barang sekejap lalu pulang keesokan harinya, atau melanjutkan perjalanannya langsung ke Tiflis. Ia tahu, sekolah sudah dimulai. Ia sudah terlambat. Menambah satu hari keterlambatannya tak akan berbeda, ia tetap akan menghadapi hukuman.

Tapi bukan itu yang membuat Soso ragu untuk mampir di Gori. Ia merasa percuma menemui ibunya kalau harus menemuinya di tempat tinggalnya yang baru, di rumah Pak Koba. Padahal bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin kembali pada ibunya yang 'dulu' yang masih sendiri dan tinggal di rumah bututnya itu.

Keinginan itu sepertinya kejam, seolah Soso tak rela Mak Keke sekarang hidup lebih baik, dan mungkin lebih bahagia. Bukan itu, ia membayangkan suasana dulu, saat masih tinggal berdua di rumah lama peninggalan Pak Beso. Karena menyebut rumah, baginya hanya itu yang terbayang dalam ingatannya, bukan yang lain. Dan itu takkan didapatkannya saat ini. Ia bisa saja menemui Mak Keke, ia bisa saja tidur di rumahnya itu, ia bisa juga tidur di rumah itu bersama Mak Keke lagi.

Tapi semuanya tak lagi sama. Ia tak bisa memutar waktu ke belakang, dimana kepahitan hidup ternyata bisa begitu membekas, tapi malah begitu manis dikenang dan dirindukan untuk kembali meski sesaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun