"Jauh dari yang saya bayangkan Tuan..." kata Soso yang berdiri di anjungan bersama dengan Tuan Nikoladze, Nyonya Guramishvili, dan juga Natela menunggu kapal bersandar di dermaga. Sementara pegawai yang lain sedang bersiap menurunkan barang-barang bawaan. "Di buku bahkan belum seperti ini!"
"Bagus kalau begitu, berarti kita bisa belajar banyak dari kota ini!" kata Tuan Nikoladze.
"Berapa banyak pelabuhan yang pernah kau lihat, Koba?" Nyonya Guramishvili bertanya pada Soso.
"Ini pelabuhan keempat Nyonya, sebelumnya saya hanya pernah tahu Batumi, Poti, dan kemarin Sochi!" jawabnya.
"Kau tahu, negara-negara yang hebat, selalu memiliki wilayah laut dan pelabuhan..." lanjut Nyonya Guramishvili. "Georgia seharusnya beruntung, karena setidaknya memiliki wilayah laut dan dua pelabuhan. Seharusnya, dibangun lagi sebuah pelabuhan di Abkhazia jika kita merdeka nantinya!"
Soso mencuri-curi pandang pada perempuan cantik itu. Ia bener-bener terpesona olehnya, baik secara fisik maupun yang lainnya. Seolah perempuan ini memiliki magnet yang sulit untuk ditolak lelaki manapun. Ia membayangkan dulu Tuan Nikoladze saat bertemu dengannya di masa muda, pastilah ia sedang dalam puncak kecantikannya. Sekarang saja, di usianya yang 40 tahunan, pesonanya masih sangat jelas.
"Tapi dua pelabuhan kita terlalu terbuka, Nyonya, tak seperti Novorossiysk yang berada di dalam teluk kecil," kata Soso, "Jika kita memerdekakan diri, bisa saja kita dengan mudah diserang entah oleh Rusia atau Otoman lagi!"
"Memang begitu..." kata Tuan Nikoladze, "Makanya yang pertama harus dibangun adalah ekonominya, rakyatnya. Rakyat yang sejahtera memungkinkan mereka punya semangat untuk mempertahankan kotanya!"
"Tapi apa nanti malah rakyat berpikir bahwa Rusia yang membangun Poti sehingga enggan melepaskan diri?" tanya Soso.
"Itu juga yang sering kupikirkan, Koba..." timpal Nyonya Guramishvili, "Tapi suamiku selalu meyakinkan bahwa, selama ia tidak menjadi boneka Rusia yang penurut, masyakarat akan tetap mengingat bahwa Poti membangun dirinya sendiri, bukan dibangun!"
"Anggap saja kita sekarang merdeka..." kata Tuan Nikoladze juga, "Darimana kita punya uang untuk membangun pelabuhan, rel kereta api, sekolah, gereja, bahkan nantinya sebuah teater? Tak ada, tak punya uang kita. Jadi kenapa tidak kita memeras Rusia dulu untuk keluar uang, baru setelah itu kita melepaskan diri!"