Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengumpulkan Receh, Hobi atau Menabung?

2 Maret 2021   11:29 Diperbarui: 2 Maret 2021   11:41 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
'Koleksi' koin yang belum disortir (dokpri)

Nenek saya (dari pihak ayah) sudah meninggal waktu saya masih kecil, mungkin sekitar usia 4-5 tahun hingga saya sendiri nyaris tak bisa mengingat sosoknya. Kalaupun ingat sangat samar, kebiasaannya yang saya ingat hanyalah selalu membuat air minum teh yang daunnya dipetik dari pohonnya di halaman rumah dan langsung digodok. Ia punya teko khusus untuk itu.

Kalau berkunjung ke rumahnya, pengen minum, jangan langsung menyeruput teh itu. Rasanya super pahit. Saking pahitnya sampai tersisa di langit-langit mulut dalam waktu yang lama. Itulah air minum kesehariannya bersama kakek. Kakek malah punya kebiasaan lain soal itu, setiap malam ia akan menaruh satu bekong (mug logam) di atap rumah bagian depan yang tak terlalu tinggi. Air teh yang disimpan semalaman itu (istilahnya diibunkan/diembunkan) akan diminumnya keesokan paginya. Langsung glek, sekali habis.

Konon kebiasaan itulah yang membuat kakek panjang umur. Ia meninggal tahun 94 ketika usianya 111 tahun. Sementara nenek meninggal jauh sebelumnya. Bukan karena sakit, melainkan karena kecelakaan. Ia tertimpa kelapa di bagian lehernya. Karena di sekitar rumahnya memang banyak pohon kelapa yang lebat dan tinggi-tinggi. Entahlah, jika tidak mengalami kecelakaan itu, apakah usianya bisa panjang juga dengan kebiasaan yang sama dengan kakek, meminum teh pahit tanpa gula.

Lama setelah nenek meninggal, rumah panggung yang ditinggali mereka berdua dibongkar untuk diperbaiki. Saat membongkar dinding kamarnya yang terbuat dari bilik (anyaman bambu), para pekerja yang tak lain dari anak-cucunya dihebohkan oleh penemuan uang logam berwarna kekuningan. Jumlahnya cukup banyak, ratusan. Koin-koin itu memiliki nilai yang sama, 2,5 sen keluaran pemerintah Hindia Belanda bertahun 1945.

Orang-orang tua mengenalinya sebagai 'uang benggol.' Jelas saat ditemukan, uang itu sudah tak berlaku lagi, hanya dijadikan rebutan cucu-cucunya dan dibawa pulang sebagai mainan. Termasuk saya juga membawanya beberapa keeping, karena rebutan. Padahal, menurut Uwa saya (kakak bapak saya yang tertua), saat masih berlaku, dengan sekeping uang itu bisa mendapatkan kira-kira sekarung beras! Jadi nilainya sebetulnya sangat banyak.

Rupanya koin-koin itu adalah simpanan nenek, karena kakek sendiri bahkan tak tahu kalau istrinya punya tabungan sebanyak itu. Sayangnya, ya itu, terlambat, sudah tak bisa dipakai, kecuali digunakan buat kerokan. Waktu itu juga belum pada kepikiran kalau suatu saat uang itu bisa menjadi barang koleksi yang diperjualbelikan. Punya saya pun sudah hilang entah kemana.

Entah sadar atau tidak, ternyata kebiasaan nenek itu menurun pada saya. Sudah lama saya juga punya kebiasaan menyimpan uang logam. Alih-alih dibawa untuk segera digunakan, saya lebih suka menyimpannya. Bukan dalam celengan, tapi dalam wadah apa saja, botol plastik, kaleng, atau apa saja.

Ketika kuliah, saya selalu punya duit recehan itu, setidaknya dari nilai yang paling sering digunakan. Zaman koin 100 digunakan untuk telepon umum misalnya, hanya uang koin 100 ke atas yang saya simpan, yang 50, 25, dan 5 rupiah tak disimpan, langsung dipakai. Sekarang, saya hanya menyimpan uang logam pecahan 500 dan 1000 saja, yang 100 dan 200 hanya dikumpulkan sebentar, lalu segera digunakan.

Biasanya, kalau saya keluar rumah dan bertransaksi lalu mendapatkan kembalian uang koin, yang 500 dan 1000 langsung saya sisihkan. Sampai di rumah, langsung saya simpan bersama yang lainnya. Walaupun di saku celana saya punya recehan 500-an atau 1000-an, dan harus bayar parkir motor seribu atau dua ribu rupiah, saya lebih suka menyodorkan uang kertas 5.000 daripada menggunakan uang koin saya itu. Sambil berharap tukang parkir memberi kembalian dalam bentuk uang koin.

Begitupun kalau anak-anak saya minta jajan. Sekali jajan satu anak dijatah 2.000 rupiah. Untuk itupun, saya ogah memberikan uang koin 500 atau 1000 itu, lebih baik memberi uang kertas yang nilainya lebih besar sambil berharap kembaliannya ada uang koinnya.

Anak-anak, termasuk istri saya sering heran. Uang kertas 1000, 2000, bahkan sampai 2000 dengan mudah bisa ditemukan di sekitar meja kerja saya, tapi uang logam tak ada. Bahkan kembalian jajan anak pun, kalau ada uang logamnya langsung saya ambil, sementara pecahan lainnya (uang kertas) sering saya abaikan (bukan nggak butuh, tapi langsung dipakai untuk keperluan lain).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun