Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (87) Memandang Dunia

22 Februari 2021   21:56 Diperbarui: 23 Februari 2021   22:01 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (86) Renungan dalam Kereta

*****

Poti yang dikunjungi Soso sekitar enam bulan sebelumnya, sangat berbeda dengan Poti yang ia temui saat ini. Pertama kali ke situ, setelah melakukan perjalanan dari Batumi, kota kecil itu diselimuti oleh salju. Hanya hamparan putih salju yang terlihat, menutupi gedung dan bangunan-bangunan, juga tetamanan.

Sekarang, ia tiba menjelang mulainya musim panas. Gedung-gedung terlihat jelas warna aslinya, pepohonan menghijau menampakkan daun-daunnya, beberapa jenis bunga juga terlihat. Benar-benar berbeda, indah dan sedap dipandang mata. Bahkan dari stasiun, sebelum ia turun dari kereta yang berhenti di situ --karena merupakan stasiun terakhir---ia bisa melihat Laut Hitam yang membiru, tak hitam seperti namanya.

Ia tiba pagi hari. Hampir sehari semalam di atas kereta. Badannya terasa letih, kantuk juga sangat kuat. Baru kali itu ia melakukan perjalanan sangat jauh dalam sekali jalan. Perutnya terasa keroncongan, terakhir diisi saat kereta berhenti cukup lama di stasiun Zestaphoni, itupun tak seberapa, hanya sepotong roti yang sudah agak keras, dibeli tengah malam pada penjual dekat stasiun.

Ia bimbang, antara langsung menuju kantor walikota untuk menemui Tuan Niko Nikoladze, dengan kemungkinan bisa mendapatkan sarapan, tapi tak bisa langsung istirahat, atau mencari sarapan dulu sambil mencari tempat untuk bisa beristirahat. Nanti kalau badannya sudah enakan, barulah ia menemui Tuan Nikoladze.

Karena kantuknya sudah tak tertahankan, Soso memutuskan untuk tidak langsung ke kantor walikota. Ia berjalan kaki menuju penginapan yang ditempatinya pada hari terakhir di Poti dulu, penginapan gratis karena ditanggung oleh Tuan Nikoladze. "Tak apalah aku keluar duit sedikit untuk sarapan dan beristirahat dulu..." pikirnya.

Kamar yang dulu ditempati Soso ternyata harganya lumayan mahal, 4,5 rubel. Pantesan nyaman banget. Untungnya, penginapan itu juga memiliki kamar murah, 1 rubel lebih termasuk sarapan. Soso mengambil yang itu. Ia langsung masuk ke kamarnya, kecil, tapi cukup lah untuk beristirahat. Sarapan paginya pun langsung diantarkan karena sudah hampir habis waktunya.

Tapi saking capeknya, setelah menghabiskan sarapan, Soso langsung tertidur lelap. Dan ia bangun sudah lewat tengah hari, nyaris sore sebetulnya. Kepalanya masih terasa pusing, badannya bener-bener belum fit untuk meninggalkan tempat itu. Ia juga khawatir Tuan Nikoladze tak ada di tempatnya atau sudah pulang, dan ia harus kembali lagi ke situ.

Akhirnya, Soso memilih untuk meneruskan istirahatnya. Kamar itu sudah disewanya untuk semalam, tak ada salahnya ia memanfaatkannya untuk bener-bener memulihkan badannya.

Setelah badannya lebih segar, apalagi setelah ia mandi, Soso keluar dari kamarnya dan menemui penjaga penginapan.

"Apa ada tempat yang menarik yang bisa saya kunjungi sore hari seperti ini, Pak?" tanya Soso.

Lelaki setengah baya itu tersenyum, "Poti hanya kota persinggahan saja Dek, bukan kota plesiran seperti Tiflis. Mungkin belum sih, karena banyak yang belum selesai pembangunannya..." jawabnya. "Tapi kalau sekadar ingin menikmati suasana, cobalah kau pergi ke arah pelabuhan, lalu berjalan ke utara, nanti akan kau temui perbukitan kecil. Dari situ, kau bisa menunggu matahari terbenam!"

Wah boleh juga pikir Soso. Ia pun segera menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh penjaga penginapan itu. 

Sampai di perbukitan kecil itu, seperti kata penjaga penginapan, Soso bisa melihat Laut Hitam dengan sangat jelas terbentang di depannya. Satu dua kapal terlihat di tengah lautan, ada yang menggunakan layar, ada juga yang menggunakan mesin uap seperti kapal yang ditumpanginya dari Batumi ke Poti dulu. Di sebelah kirinya, pelabuhan Poti terlihat cukup jelas. Ada dua kapal yang cukup besar yang berlabuh, entah kapal barang atau kapal penumpang.

Matahari sendiri sudah mulai condong ke barat, pantulan cahayanya terlihat keperakkan di atas air laut yang semakin jauh terlihat makin menghitam. Soso merasa sedang berada di ujung dunia. Padahal ia tahu, Laut Hitam bukanlah laut yang terbuka. Kalau ia berlayar lurus ke barat sana, ia akan bertemu dengan kota-kota yang bukan lagi di wilayah Georgia, mungkin Crimea ada di seberang sana, atau mungkin kota yang lainnya.

Seperti cerita Jabeer, saudara Pak Hameed orang Islam dari Batumi yang menjadi awak kapal, Laut Hitam ya hanya begitu saja, melingkar. Kalau mau keluar, ya harus lewat Selat Bosporus di wilayah Otoman sana, barulah bisa bertemu dengan Laut Mediterania, lalu lautan yang lebih besar lagi di sebelah barat benua Eropa. Mau menuju daratan Afrika, tinggal ke selatan, kalau mau ke kota-kota lainnya di pesisir barat Eropa ya tinggal ke utara. Kota apa saja yang akan dilaluinya, ia tak tahu.

Sabine, gadis Jerman itu yang pernah melintasinya saat meninggalkan kampung halamannya di Hamburg, Jerman. Menurutnya, ia singgah di banyak kota besar di sana. Ia suka mendengarkan ceritanya, meski Sabine sendiri tak terlalu pandai bercerita. Dia bilang, ia terlalu lelah dan bosan dengan perjalanan yang lama itu, sehingga yang terpikirkan hanyalah ingin segera sampai di tempat tujuannya.

Poti adalah pintu masuk Sabine ke Georgia sebelum masuk lebih dalam sampai ke Tiflis. Menurut Sabine juga, sebetulnya, dari Hamburg menuju Tiflis, bisa saja ditempuh dengan perjalanan darat, jaraknya lebih dekat. Tapi itu bukan perjalanan yang mudah, harus berganti-ganti kendaraan, sebagian dengan kereta api, sebagian harus ditempuh dengan kendaraan lain, kereta kuda, atau bahkan harus berkuda dan berjalan kaki.

"Ada banyak jalur kereta di sana, tapi masih terputus-putus, ketika memasuki wilayah negara atau kerajaan lain, harus berganti moda, baru nyambung lagi..." katanya. "Belum lagi, medannya yang sangat berat, ada gunung-gunung tinggi yang selalu diselimuti salju, ada lembah-lembah dalam, dan ada sungai-sungai besar yang belum berjembatan. Jadi meski jauh, jalan laut lebih mudah dan lebih nyaman. Barangkali hanya para tentara saja yang bisa melewati wilayah-wilayah seperti itu. Itupun terpaksa, apalagi kalau bukan untuk urusan perang!"

"Kau pernah melihat perang?" tanya Soso saat mereka mengobrol di pinggiran jalan di Golovinsky bersama gadis Jerman itu.

Sabine menggeleng. "Kalaupun ada, apa iya aku harus menontonnya!" jawabnya sambil tertawa. "Buat apa sih perang-perang itu? Apa tempat mereka tinggal itu tidak cukup luas dan tak bisa mencukupi kebutuhannya?"

Soso nyengir, "Entahlah. Aku juga tak tahu..."

"Kau tahu, katanya Kekaisaran Jerman itu tak seluas Kekaisaran Rusia, tapi bagiku itu saja sudah sangat luas. Aku tak tahu ujungnya dimana. Hanya yang kutahu di sekitarnya ada Perancis, Italia, Spanyol, dan Kerajaan Britania yang ada di sebuah pulau besar. Aku hanya pernah melihat ujung-ujungnya waktu naik kapal ke sini. Bapakku yang menunjukkannya, katanya di sebelah kiri adalah batas Jerman dan Perancis, lalu di sebelah kanan kapal adalah tempat Kerajaan Britania berada. Setelah itu ada Spanyol, lalu Italia, Yunani, dan Otoman..."

"Luas mana Jerman dengan Georgia?" tanya Soso lagi.

Sabine menggeleng, "Aku malah tak pernah melakukan perjalanan jauh di sana. Yang kuingat, perjalanan dari Poti ke Tiflis saja sudah sangat jauh dan melelahkan.."

"Apakah dunia memang berpusat di barat itu? Kalau ke timur?"

Sabine menggeleng lagi. "Yang kudengar, wilayah timur hanya berisi orang-orang yang tak beradab..."

Ah, mengingat percakapan itu, Soso jadi semakin ingin mengetahui dunia yang berada di luar sana. Ke timur ia hanya tahu sampai Rustavi, masuk wilayah Armenia dan Azerbaijan pun belum, belum lagi ada Laut Kaspia, dan entah negeri apa yang ada di seberangnya. Ke barat, hanya mentok sampai Poti ini, lalu ke selatan sampai Batumi. Itu saja.

"Orang-orang Spanyol dan Italia katanya malah sudah menemukan benua baru di barat sana ya..." kata Soso.

Sabine mengangguk. "Amerika. Katanya sudah ramai juga di sana! Negerinya orang-orang yang menginginkan kebebasan!"

"Kebebasan dari apa?"

"Entahlah..." jawabnya. "Kau cari tahu saja sendiri nanti! Sana pergi, berkeliling dunia!"

Keliling dunia? Mungkinkah ia bisa melakukannya? Kapan? Sebagai apa? Kalau ia melanjutkan pendidikannya di Seminari Tiflis sampai selesai nanti, lalu jadi pendeta. Apa iya dia bisa berkeliling dunia?

Kata guru-gurunya, Gereja Rusia tidak seperti Gereja Roma atau Gerakan Lutheran dan juga orang-orang Muslim yang menyebar ke seluruh tempat untuk memperluas ajarannya. Gereja Rusia hanya bergerak pelan di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya. Sementara gereja lain sudah sampai ke negeri-negeri jauh yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya.

Kalau begitu, paling-paling nanti ia hanya ditempatkan di wilayah kekuasaan Rusia yang terpencil, lalu ngendon di situ. Jangankan keliling dunia, balik ke kampung halamannya pun belum tentu.

Apakah itu yang ia inginkan? Jelas bukan. Itu bukan sesuatu yang ia impikan. Ia ingin melihat dunia yang luas. Tapi apa iya dirinya harus jadi pelaut? Wah, meski itu memungkinkan untuk berkeliling dunia, tampaknya itu bukan pilihannya juga.

Soso malah teringat 'cita-citanya' saat kecil yang pernah disampaikan kepada ibunya, Mak Keke. Ia bilang, ingin jadi orang ngetop alias terkenal. Terkenal dalam hal apa, ia juga tak tahu.

*****

Matahari benar-benar tenggelam, seolah melesak masuk ke dalam Laut Hitam melewati sebuah garis lengkung di ujung yang jauh sana. Kalau saja ia tak belajar ilmu alam, mungkin saja ia percaya bahwa dunia ini datar dan ia sedang memandangi ujungnya.

Poti memang bukan ujung dunia. Bahkan mungkin itulah pintu untuk menuju belahan dunia yang lain. Tapi saat ini, Poti memang ujung dunia, dunianya sendiri, karena ia tak pernah melangkah lebih jauh dari itu.

Hari makin gelap. Laut Hitam makin hitam. Cahaya hanya terlihat di pelabuhan Poti yang masih ramai, atau mungkin malah semakin ramai. Soso bangkit dari duduknya. Ia harus kembali ke penginapan. Besok, ada urusan yang harus diselesaikannya. Sebuah urusan yang mungkin saja membuka matanya tentang dunia, meski mungkin belum akan mengantarkannya menjelajahi dunia lebih jauh.

*****

BERSAMBUNG: (88) 'Magang' di Kantor Walikota

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun