Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (87) Memandang Dunia

22 Februari 2021   21:56 Diperbarui: 23 Februari 2021   22:01 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah badannya lebih segar, apalagi setelah ia mandi, Soso keluar dari kamarnya dan menemui penjaga penginapan.

"Apa ada tempat yang menarik yang bisa saya kunjungi sore hari seperti ini, Pak?" tanya Soso.

Lelaki setengah baya itu tersenyum, "Poti hanya kota persinggahan saja Dek, bukan kota plesiran seperti Tiflis. Mungkin belum sih, karena banyak yang belum selesai pembangunannya..." jawabnya. "Tapi kalau sekadar ingin menikmati suasana, cobalah kau pergi ke arah pelabuhan, lalu berjalan ke utara, nanti akan kau temui perbukitan kecil. Dari situ, kau bisa menunggu matahari terbenam!"

Wah boleh juga pikir Soso. Ia pun segera menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh penjaga penginapan itu. 

Sampai di perbukitan kecil itu, seperti kata penjaga penginapan, Soso bisa melihat Laut Hitam dengan sangat jelas terbentang di depannya. Satu dua kapal terlihat di tengah lautan, ada yang menggunakan layar, ada juga yang menggunakan mesin uap seperti kapal yang ditumpanginya dari Batumi ke Poti dulu. Di sebelah kirinya, pelabuhan Poti terlihat cukup jelas. Ada dua kapal yang cukup besar yang berlabuh, entah kapal barang atau kapal penumpang.

Matahari sendiri sudah mulai condong ke barat, pantulan cahayanya terlihat keperakkan di atas air laut yang semakin jauh terlihat makin menghitam. Soso merasa sedang berada di ujung dunia. Padahal ia tahu, Laut Hitam bukanlah laut yang terbuka. Kalau ia berlayar lurus ke barat sana, ia akan bertemu dengan kota-kota yang bukan lagi di wilayah Georgia, mungkin Crimea ada di seberang sana, atau mungkin kota yang lainnya.

Seperti cerita Jabeer, saudara Pak Hameed orang Islam dari Batumi yang menjadi awak kapal, Laut Hitam ya hanya begitu saja, melingkar. Kalau mau keluar, ya harus lewat Selat Bosporus di wilayah Otoman sana, barulah bisa bertemu dengan Laut Mediterania, lalu lautan yang lebih besar lagi di sebelah barat benua Eropa. Mau menuju daratan Afrika, tinggal ke selatan, kalau mau ke kota-kota lainnya di pesisir barat Eropa ya tinggal ke utara. Kota apa saja yang akan dilaluinya, ia tak tahu.

Sabine, gadis Jerman itu yang pernah melintasinya saat meninggalkan kampung halamannya di Hamburg, Jerman. Menurutnya, ia singgah di banyak kota besar di sana. Ia suka mendengarkan ceritanya, meski Sabine sendiri tak terlalu pandai bercerita. Dia bilang, ia terlalu lelah dan bosan dengan perjalanan yang lama itu, sehingga yang terpikirkan hanyalah ingin segera sampai di tempat tujuannya.

Poti adalah pintu masuk Sabine ke Georgia sebelum masuk lebih dalam sampai ke Tiflis. Menurut Sabine juga, sebetulnya, dari Hamburg menuju Tiflis, bisa saja ditempuh dengan perjalanan darat, jaraknya lebih dekat. Tapi itu bukan perjalanan yang mudah, harus berganti-ganti kendaraan, sebagian dengan kereta api, sebagian harus ditempuh dengan kendaraan lain, kereta kuda, atau bahkan harus berkuda dan berjalan kaki.

"Ada banyak jalur kereta di sana, tapi masih terputus-putus, ketika memasuki wilayah negara atau kerajaan lain, harus berganti moda, baru nyambung lagi..." katanya. "Belum lagi, medannya yang sangat berat, ada gunung-gunung tinggi yang selalu diselimuti salju, ada lembah-lembah dalam, dan ada sungai-sungai besar yang belum berjembatan. Jadi meski jauh, jalan laut lebih mudah dan lebih nyaman. Barangkali hanya para tentara saja yang bisa melewati wilayah-wilayah seperti itu. Itupun terpaksa, apalagi kalau bukan untuk urusan perang!"

"Kau pernah melihat perang?" tanya Soso saat mereka mengobrol di pinggiran jalan di Golovinsky bersama gadis Jerman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun