Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stalin: (79) Kepincut Jerman, Lupa Rusia

14 Februari 2021   21:40 Diperbarui: 15 Februari 2021   23:20 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Sabine menggeleng. "Bukan lah. Bapakku malah tak suka dengan kerajaan, terutama Wilhelm ini. Memang dia mendorong teknologi sehingga banyak orang, termasuk bapakku masuk dalam generasi yang diuntungkan. Tapi kata bapakku, Wilhelm ini terlalu ambisius, ingin mengalahkan Britania. Bapakku malah curiga teknologi yang dikembangkan itu untuk tujuan perang perluasan wilayah, karena katanya, dia terus-terusan memperkuat angkatan lautnya. Salah satunya yang di Hamburg, tempat tinggalku itu..."

"Dia mau memperluas wilayahnya ke mana? Merebut wilayah Rusia?" tanya Soso. Ia bener-bener awam soal itu. Mungkin karena terlalu jauh dan merasa itu bukan urusannya. Tapi sekarang kan, mau tak mau, apa yang terjadi jauh di St. Petersburg sana, akan berpengaruh juga pada kehidupannya di Georgia sini.

Sabine menggeleng lagi. "Kan sudah kubilang, Wilhelm itu akrab sama Nikolas, sepupunya itu. Jadi mungkin ya ke barat lah, bukan ke timur yang dikuasai Rusia!"

"Sehebat apa teknologi yang dikembangkan Wilhelm itu?" tanya Soso lagi.

"Banyaknya sih kendaraan. Kapal, terus terakhir aku mendengar proyek pembuatan kereta mesin..." jawab Sabine.

"Kereta mesin maksudnya kereta api?"

"Bukan... seperti kereta kuda, tapi nggak pakai kuda, pake mesin![5] Tapi aku juga belum pernah melihatnya. Kata orang saja!"

Soso makin terpesona dengan cerita itu. Ia memang sama sekali tak melek dengan persoalan teknologi. Naik kereta api pun baru dirasakannya setahun kemarin, naik kapal uap baru beberapa bulan sebelumnya. Lalu kata Sabine, ada lagi kereta mesin.

Jangan-jangan, Tiflis yang ia anggap sebagai kota modern itu tak ada apa-apanya dibanding kota-kota di belahan dunia lainnya. Jerman, Britania, Rusia, lalu sayup-sayup Amerika. Lah di kampungnya sendiri, apa yang ajaib? Kereta api itu ajaib, tapi orang di tempat lain sudah lebih dulu mengenalnya. Kalau tak dibawa Rusia, juga entah kapan Georgia akan punya, membangun jalannya, juga membuat keretanya!

Semakin lama mengobrol dengan Sabine, Soso makin merasa dia bener-bener ndeso, ini tak tahu, itu tak tahu. Tapi untungnya, Sabine tak memandangnya remeh, biasa saja. Bahkan ia dengan senang hati menceritakan apa saja yang dia tahu, meski sebagian soal teknologi-teknologi itu baru sebatas 'katanya' tak banyak juga yang dilihatnya secara langsung. Itupun sudah lebih baik, daripada tak tahu sama sekali.

Selain itu, gambaran tentang Jerman, negeri yang hanya dikenalnya lewat tulisan-tulisan para pemikirnya, mulai terbentuk. Ia juga mulai menghubungkan kenapa banyak orang Jerman yang ada di Tiflis terutama, dan dipercaya mengerjakan proyek-proyek. Mungkin seperti yang diceritakan Sabine tadi, kaisarnya senang mengembangkan teknologi, sehingga lebih maju, dan Rusia meminta bantuan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun