Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (70) Tebar Pesona

5 Februari 2021   23:27 Diperbarui: 6 Februari 2021   00:55 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

"Untuk ini, biar aku saja yang bayar. Aku punya kalau untuk itu. Dari dulu juga sudah berniat untuk membayarnya..." katanya.

"Ya sudah, bapak saja yang ke sana, saya pengen jalan-jalan dulu Pak. Nanti nyusul ke sana..." kata Soso.

"Terserah kamu lah. Pokoknya kau jalan ke belakang gedung itu, nanti di sana ada warung. Tak bakalan salah..." kata Pak Beso.

Mereka berpisah.

*****

Soso memilih untuk berjalan kaki menuju pusat kota Rustavi. Pada kunjungan pertamanya ke kota itu, ia sama sekali tak menikmati kota itu, lebih banyak berada di pinggiran, karena rumah si Said juga berada di pinggiran kota.

Rustavi memang tak sebesar dan seramai Tiflis. Tapi cukup menarik, banyak gedung-gedung bagus yang tampaknya baru dibangun, juga pertokoan yang cukup ramai, meski juga tak seramai Golovinsky di Tiflis.

Soso berjalan gagah dan percaya diri. Ini bukan Tiflis, pikirnya. Dia tak sedang memakai seragam putih yang menunjukkan kalau ia anak seminari. Ia memakai cokha abu-abunya yang masih cukup bagus karena jarang dipakai. Ia memakai topi fedora yang dulu dibelikan Mak Keke saat akan ke Tiflis dan tak pernah dipakai lagi setelah itu. Dan, kini ia juga mengenakan sepatu boots kulit indah buatan bapaknya, bukan sepatu biasa.

Dengan bekas bopeng cacar di wajahnya yang semakin menghilang, jambang dan kumisnya yang sudah mulai tumbuh, badannya yang semakin berisi, di usianya yang ke delapan belas, sosok Soso sudah jauh dari masa kecilnya yang kucel dan dekil. Apalagi dengan pakaiannya, topi, dan sepatunya itu. Ia cukup tampan sebetulnya.

Beberapa gadis muda yang berpapasan dengannya, tak dapat mengelak dari godaan itu, melirik dan bahkan ada yang sengaja mencuri pandang ke arahnya. Soso menyadarinya, tapi ia sengaja jaim, dan makin berlagak sok keren dengan jalan yang digagah-gagahkan seolah ingin menunjukkan sepatu barunya.

Sampai akhirnya, Soso sendiri yang harus terpesona oleh seorang gadis berambut pirang. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mendekatinya. Celakanya, tak seperti gadis-gadis lain yang meliriknya, gadis yang berdiri di trotoar menghadap ke jalan itu hanya melirik sekilas lalu mengabaikannya, dan matanya sibuk menengok kiri dan kanan, entah itu menunggu jemputan atau apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun