Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (62) Kembali ke Rumah

28 Januari 2021   20:49 Diperbarui: 29 Januari 2021   16:48 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (61) Kuliah Singkat Kapitalisme Kolektif

*****

Kereta api yang menarik enam gerbong penumpang itu berjalan lambat menuju ke arah timur. Tampak lebih lambat dari biasanya. Mungkin karena di beberapa titik salju menumpuk. Bemper besi segitiganya yang meruncing ke depan, yang sepintas mirip dengan kumis, berkali-kali menyeruduk gundukan-gundukan salju yang membandel. Sudah diseruduk dalam perjalanan sebelumnya, atau oleh kereta lain, kembali menumpuk, dan harus diseruduk lagi.

Gunung dan lembah-lembah di sepanjang jalur kereta yang berangkat dari Poti pagi itu tampak memutih oleh tumpukan salju. Pada sebuah dataran yang seharusnya menghijau karena rumput, sekelompok rusa merah[1] di seberang sungai tampak mengais-ngais rumput yang tertimbun salju dengan moncongnya. Sementara seekor jantan besar yang nyaris sebesar sapi, dengan sepasang rangga yang gagah berlari-lari mengejar dan mengusir kawanan lain yang mendekat.

Soso memperhatikan rusa-rusa itu dari jendela kereta. Ia teringat dulu, bapaknya, Pak Beso pernah pergi berburu dengan para tetangganya di Gori, dan pulang membawa seekor rusa jantan yang besar. Satu kampung berpesta makan daging rusa itu. Ia masih bisa mengingat rasa dagingnya yang kenyal dengan bau yang khas, agak-agak menyengat, tapi tak semenyengat bau daging kambing.

Kulit rusa itu, yang berwarna kemerahan, disamak oleh Pak Beso dan dijadikan alas tidur. Rangganya dijadikan hiasan. Seingatnya, hiasan tanduk rusa itu masih ada di rumahnya, dijadikan gantungan baju-baju oleh Mak Keke. Nyaris terabaikan dan terlupakan, seperti kenangan itu. Kalau saja Soso tak melihat rusa-rusa liar tadi, mungkin juga ia tak bakalan ingat soal itu.

Pak Beso tak pernah lagi pergi berburu sejak itu, dan ia tak pernah lagi makan daging rusa. Sepeninggal Pak Beso, rasanya makin jarang ada menu daging di meja makan rumahnya. Paling sering ya ikan hasil pancingannya di Sungai Kura. Atau sesekali ayam yang entah didapat Mak Keke dari mana. Kalau telur, hampir tiap hari, sebagai teman puri sarapan paginya, yang nyaris berulang-ulang setiap hari.

Soso pernah disuruh memelihara sepasang kambing. Kata Mak Keke, kambing-kambing itu bisa diperah susunya buat sarapan paginya. Tapi Soso tak terlalu telaten. Mak Keke juga nggak kira-kira. Anak-anak di kampung situ mana ada yang menggembalakan ternak.

Jadi ketika Soso disuruh mengurus kambing itu, ia menjadi kesepian, tak bisa bermain dengan kawan-kawannya. Akibatnya ya kambing itu sering ditinggalkan dan dibiarkan mencari makan sendiri.

Ya sudah, akhirnya kambing-kambing itu malah jadi kerjaan tambahan Mak Keke yang harus mengejar-ngejarnya untuk dibawa pulang. Karena jengkel, dan mungkin butuh duit, kambing itupun dijual tak lebih dari seminggu sejak dibeli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun