Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Berekat yang Sekarat

24 Januari 2021   10:29 Diperbarui: 24 Januari 2021   10:54 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paket Nasi Berekat (Pikiran-rakyat.com)

Menurut Utadz Oding, selalu ada hikmah dibalik musibah, dan selalu ada celah untuk menjadikannya sebuah berkah. Banjir itu musibah, tapi bisa jadi berkah untuk pemilik perahu. 

Pemuda pengangguran atau remaja belum kerja bisa dapat recehan dengan membantu mendorong kendaraan yang mogok. Bengkel --kalau bengkelnya nggak kebanjiran air---bisa kebanjiran orderan. Bahkan orang meninggal pun, bisa meninggalkan berkah buat yang lain. Setidaknya bagi para kuli penggali kubur.

Begitu pun cengan covid yang entah sampai kapan mengusik kenyamanan hidup kita. Memang musibah, tapi juga ada hikmah yang bisa dipetik, dan berkah yang bisa didapat kalau pandai melihat celah. Para jomblowan dan jomblowati, terutama yang berada di batas usia tertentu, selama ini selalu dihantui sebuah pertanyaan 'mengerikan.' Apalagi kalau sebuah kalimat pendek, "Kapan nikah?"

Nah, covid ini bisa jadi alasan untuk mengelak kan? "Mau nikah gimana? Lagi zaman susah duit kayak gini. Ada duit pun nggak boleh bikin acara kumpul-kumpul buat hajatan. Bahkan untuk pedekate pun juga dilarang, harus jaga jarak. Mana enak pacaran pake jarak, malah kayak orang marahan..." Namanya juga alasan. Dimana-mana alasan itu selalu dijadikan usaha pembenaran.

Pun demikian dengan para penganggur atau pengangguran, atau kalau Pak De Jokowi menyebutnya sebagai 'angkatan pra-kerja.' Baik mereka yang menganggur karena keadaan, maupun yang menganggur sebagai hobi atau bahkan profesi. Yang menganggur karena keadaan, alasannya makin bisa diterima. 

Memang pekerjaan tambah susah sekarang. Yang sebelumnya punya kerjaanpun banyak yang kehilangan. Yang menganggur karena hobi, makin bisa menyalurkan hobinya itu; bangun makin siang, ngejogrok di rumah seharian pun bisa dimaklumi. Apalagi yang menganggur dijadikan profesi, bisa makin professional; masa kerjanya bertambah panjang, bisa buat menuh-menuhin CV.

Gara-gara berkah, berkat, atau kata orang Sunda berekat itu, saya jadi inget penggunaan kata itu untuk makna yang lain, yang masih ada kaitannya dengan hajatan. Setiap selesai hajatan di kampung saya, entah itu hajatan pernikahan, sunatan, bangun rumah, akikah, atau bahkan tahlilan orang meninggal, mereka yang hadir, pulangnya pasti dapat berkat atau berekat. Berkatnya berupa paket nasi beserta lauk-pauk aneka rupa. Karena itulah paket nasi itu kemudian disebut nasi 'berekat' atau 'berekat' saja.

Di kampung saya, biasanya paket berekat itu berupa nasi dengan beberapa lauk yang khas; telor rebus, mi atau bihun goreng, besengek (sayur yang menjadikan cabe hijau sebagai bahan utama, bukan sebagai bumbu), sayur kentang, tahu-atau tempe, plus sepotong daging atau ikan. Paket itu ditaruh dalam wadah anyaman bambu yang disebut pipiti setelah diberi alas daun pisang atau daun jati. Sebagai dessert-nya adalah pisang, atau kue-kue seperti papais, apem, cuhcur, dan sebagainya.

Enak? Tergantung. Kalau lagi lapar atau di rumah cuma ada ikan asin sebagai lauk makan, paket berekat bisa jadi sangat nikmat. Tergantung juga siapa yang jadi koordinator masaknya. Paket berekat itu bukan dipesan dari perusahaan catering, tapi dimasak rame-rame oleh para kerabat dan tetangga yang punya acara. Namanya juga dimasak keroyokan, kadang QC-nya nggak jelas. Nah disitulah peran koordinator atau chef kepala itu diperlukan.

Saat akan hajatan --kecuali berekat untuk tahlilan yang memang dadakan---yang punya hajat sudah harus merencanakan soal ini, mulai dari anggaran sampai perkiraan jumlah tamu. Termasuk di antaranya menunjuk koordinator masak itu. Setiap kampung biasanya punya juru masak andalan seperti ini.

Tugasnya adalah menyusun menu (yang sebetulnya itu-itu saja), membagi pekerjaan (meski dilakukan oleh para sukarelawan), mengatur jadwal apa yang harus dimasak lebih dulu, dan sebagainya. Terutama adalah mengontrol citarasa masakan. Bahkan kadang membuat paket contoh, misalnya nasi satu mangkok kecil, besengek dua sendok, dan seterusnya, sebelum diduplikasi oleh para sukarelawan.

Berbeda dengan sukarelawan, koordinator ini biasanya ada honornya sendiri. Entah itu uang atau dalam bentuk barang, misalnya sekarung beras. Makanya bisa jadi profesi musiman.

Tapi kalau lagi musim hajatan, seenak apapun berekat itu, bisa jadi tak bisa dihabiskan sekali. Kadang dalam sehari bisa kebagian dua atau tiga paket berekat. Padahal, banyak menu berekat yang mudah basi. Kalau sudah begitu, orang-orang yang menerimanya akan mengolah kembali lauk itu. Semua lauk, kecuali ikan, daging, atau telur akan dicampur dan dipanaskan, kadang diberi tambahan lain seadanya di rumah dan dibumbui ulang, jadilah dongdo.

Nggak usah mampir ke rumah teman atau tetangga saat seperti itu. Pasti nanti bakal disuruh makan dengan lauk dongdo yang di rumah sendiri saja masih banyak dan kadang terus bertambah.

Hajatan yang meski datang dari niat seseorang, pada akhirnya menjadi ritual sosial. Kerabat dan tetangga berkumpul untuk babantu. Para pria babantu mendirikan balandongan (panggung atau tenda hajatan), kaum wanita babantu masak untuk prasmanan tamu dan juga untuk berekat yang akan dibawa pulang.

Sayangnya, seiring zaman yang terus berubah (dan covid datang belakangan ini), banyak yang berubah pula dalam tradisi berekat ini. Pipiti sebagai wadah --yang sebetulnya ramah lingkungan---digantikan oleh plastik atau styrofoam. Juru masak digusur oleh catering professional. Bahkan kadang berekat ini sudah tidak lagi berbentuk masakan jadi, tapi diganti dengan paket bahan makanan; mi instan, beras, sarden, biskuit pabrik, dan sebagainya. Berekat berubah, dongdo pun punah.

Apakah masa kejayaan nasi berekat klasik ini akan kembali? Entahlah. Bahkan setelah urusan si covid ini dianggap usai pun, saya tak terlalu yakin. Yang pasti, pagi ini, saya sedang ngidam pengen makan nasi berekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun