Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (54) Salju di Batumi
*****
Untunglah si Vaso meminjamkan pakaian tebal untuk Soso. Kalau tidak, ia bisa mati kedinginan. Semalaman salju turun dengan lebat. Pagi-paginya, pemandangan di sekitar rumahnya dilingkupi warna putih yang dominan. Salju sangat tebal. Jalanan tak terlihat lagi. Beberapa orang tetangga si Vaso mulai keluar rumah untuk menyingkirkan salju dari jalanan. Begitupun Pak Kelbakiani, bapaknya si Vaso. Soso terpaksa ikut bantu-bantu karena merasa nggak enak. Sementara si Vaso sendiri masih molor, lelap di bawah selimut tebalnya.
"Ini daerah apa namanya Pak?" tanya Soso pada Pak Kelbakiani.
"Gonio..." jawabnya.
"Berapa jauh ke Batumi?" tanyanya lagi.
"Yaah sekitar sepuluh kiloan lah..." jawab Pak Kelbakiani lagi. "Kau tinggal ikuti jalan ini, melewati Benteng Gonio[1], nanti menyeberangi Sungai Chorokhi, sampai. Bukannya kemarin lewat Batumi waktu ke sini?"Â
"Iya Pak, cuma saya lupa, rada-rada ngantuk..." jawab Soso. "Tempat kerja Bapak sendiri jauh?"
"Ya setelah sungai itu nanti ada jalan ke kiri, ke arah laut. Ada bangunan besar di situ, pengolahan ikan..." jawabnya.
"Masih dikelola keluarga Alexander Kirtavili?" tanya Soso lagi, yang masih saja penasaran dengan Natasha. Meski tak berniat untuk menemuinya, tapi tetap saja ia penasaran dengan cewek cakep itu.
"Aku tak tahu apakah itu masih miliknya atau bukan, jangan-jangan sudah dimiliki semuanya oleh keluarga Dimitar Gardanov..." jawabnya. "Tapi pengelolanya sih masih, cucunya, Nathalia Gardanov..."
Soso langsung tahu, itu Natasha, Nathalia Kirtava alias Nathalia Gardanov sekarang.
"Kasian anak itu, jadi korban kepentingan keluarganya..." kata Pak Kelbakiani lagi.
"Siapa Pak?" tanya Soso pura-pura tak tahu.
"Nathalia, Natasha panggilannya, cucu Alesei Kirtavili. Dia dinikahkan dengan orang Crimea itu untuk menyelamatkan usahanya...." jawab Pak Kelbaliani.
"Cantik, Pak?" tanya Soso iseng.
"Buanget..." jawab Pak Kelbakiani sambil terkekeh. "Hanya lelaki goblok atau buta yang tak jatuh cinta padanya..."
"Wah, sayang sudah punya suami ya Pak!" kata Soso sambil tertawa juga, meski agak dipaksakan.
"Haha.. iya..." kata Pak Kelbakiani, "Orang se-Batumi atau bahkan se-Guria bersedih semua waktu dia dinikahkan. Apalagi para pemuda. Pada patah hati..."
"Jadi penasaran saya..." kata Soso.
Bapaknya si Vaso makin terkekeh, "Mendingan jangan, nanti kau ikut patah hati... tapi boleh juga sih, biar kau tahu kalau di dunia ini juga ada bidadari!"
"Bapak sering melihatnya?" tanya Soso.
"Yaa hampir tiap hari lah.. dia kan yang mengelola. Rumahnya juga nggak jauh dari pabrik..." jawabnya. "Eh sudah mau siang, aku harus berangkat kerja..."
"Iya Pak, makasih ceritanya, siapa tahu saya nanti punya kesempatan melihat bidadari Batumi itu!" kata Soso.
Pak Kelbakiani hanya tertawa.
*****
Si Vaso belum bangun juga sampai-sampai Soso harus sarapan keluarga Kelbakiani tanpa dia. Melihat Pak Kelbakiani sudah bersiap untuk berangkat kerja, Soso jadi kepikiran untuk ikut. Ada dorongan dalam dirinya untuk melihat Natasha. Ya, hanya melihat. Ia tak ingin menemuinya; sebuah dorongan yang sangat sulit untuk dihindarinya.
Soso menyampaikan hal itu setelah sarapan usai.
"Ya sudah ikut aja Nak Koba," kata ibunya, "Si Vaso tuh dasarnya emang kebluk, apalagi dingin begini. Nggak tau apa di asrama dia sering kesiangan atau tidak?"
Soso tertawa, "Enggak lah kalau di asrama Bu. Mungkin dia masih kecapekan..."
"Ayo kalau mau ikut," kata Pak Kelbakiani, "Tapi mungkin kita jalan kaki, susah nyari kereta kalau cuaca begini. Ambilkan penutup kepala punya kakakmu, Leno..." ia melirik adiknya si Vaso. Anak itu berlari ke kamar si Vaso dan keluar dengan sebuah topi dengan bagian depan yang lebar, lalu memberikannya kepada Soso.
"Tolong sampaikan pada Vaso, tidak usah menyusul saya, nanti saya pulang sendiri..." kata Soso pada ibunya si Vaso. Setelah itu ia segera menyusul Pak Kelbakiani yang sudah jalan duluan.
Tak berapa lama berjalan, Soso menemukan sebuah benteng tua. Mungkin itu tadi yang disebut Benteng Gonio. Soso menghentikan langkahnya. "Tinggal saja saya Pak, saya mau melihat-lihat dulu..." kata Soso.
"Ya sudah..." kata Pak Kelbakiani, "Kalau nanti kau bingung mau pulang dari Batumi, tanya saja jembatan Chorokhi!"
Soso mengangguk. Pak Kelbakiani melanjutkan jalannya yang sangat cepat itu. Soso sendiri segera melipir mendekati benteng batu itu. Ia memasuki gerbangnya, lalu berjalan-jalan dan naik ke atas. Dari celah yang mungkin dijadikan para pemanah membidik musuh dalam pertempuran, ia bisa melihat pemandangan sekeliling.
Benteng itu berbentuk persegi empat. Laut Hitam terlihat dengan jelas saat ia menghadap ke arah barat. Di bibir pantainya terlihat pemandangan yang menakjubkan. Hamparan putih salju 'berhenti' di ujung lidah ombak. "Kirain lautnya juga membeku..." bathin Soso. Ia juga tak melihat alasan kenapa laut itu disebut Laut Hitam karena tampak biru seperti gambaran orang tentang laut umumnya.[2]Â
Saat memandang ke arah timur, ada sebuah perbukitan yang diselimuti salju. Soso bingung, kenapa benteng itu tidak berada di atas perbukitan seperti yang ia lihat di Gori maupun di Tiflis. Barulah ketika ia melihat ke sebelah utara, ia menemukan penjelasan logisnya, setidaknya menurutnya. Di sebelah utara tampak sebuah sungai besar, mungkin itu tadi yang disebut Sungai Chorokhi. Bisa jadi, benteng itu memiliki dua tujuan, menghalau musuh dari laut, dan juga musuh dari utara yang menyeberangi sungai. Entahlah, tak ada orang yang bisa diajaknya bercerita.
Setelah cukup puas, ia kembali ke jalan dan melanjutkan perjalanannya ke arah Batumi kota. Setelah melewati jembatan kecil di atas sungai yang lebar, Soso sampai di sebuah persimpangan. Soso ragu, apakah ia akan belok kiri seperti petunjuk Pak Kelbakiani kalau mau ke tempatnya bekerja, atau lurus untuk sampai di pusat Kota Batumi. Akhirnya ia memilih belok kiri, "Tak ada salahnya aku tahu tempat bapaknya si Vaso bekerja dan tempat tinggalnya Natasha..." pikirnya.
Beberapa saat kemudian, ia melihat sebuah bangunan besar yang sangat ramai. Dari pinggiran sungai yang dekat dengan laut, tampak berjejer kapal-kapal kayu yang menurunkan berbagai barang. Para pekerja mengangkut peti-peti. Dugaan Soso itu adalah peti-peti ikan yang akan dibawa masuk dan diolah di dalam bangunan itu.
Ia tak berani mendekat. Ia berjalan mengikuti samping bangunan itu sampai ke sebuah tempat yang lapang. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah bangunan lain yang megah dan indah. Bangunan itu terletak di tengah-tengah dataran penuh rumput yang tertutup oleh salju, dan menghadap ke arah laut yang agak jauh di sana. Jelas itu sebuah rumah, bukan pabrik. "Jangan-jangan itu rumahnya Natasha..." pikirnya.
Soso berpikir keras bagaimana caranya mendekati bangunan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Dan ia menemukannya!
Seorang anak kecil tampak sedang menjaga beberapa ekor domba di pojokan lahan sebelah timur, di bawah sebuah pohon besar. Ia tampak sibuk menyingkirkan salju yang menutupi rerumputan untuk makanan ternaknya. Soso segera menghampirinya.
"Halo kawan, ada yang bisa kubantu?" tanya Soso pada anak kecil yang mungkin berumur delapan atau sembilan tahun itu.
Anak itu menatapnya dengan heran, "Harusnya aku yang bertanya, apa yang bisa kubantu? Bukankah kau tersesat?"
Soso tertawa. "Aku tidak tersesat. Aku hanya sedang berjalan-jalan..." katanya sambil duduk di bawah pohon besar itu, "Tadi kulihat kau bersusah payah menyingkirkan salju, mungkin bisa kubantu..."
Anak itu menggeleng, "Nggak usah, saya malah kedinginan kalau tidak bergerak..."
"Aku Koba. Siapa namamu?" tanya Soso.
"Mahmoud..." jawabnya singkat.
"Muslim?" tanya Soso.
Anak itu mengangguk.
"Kau tinggal di mana?"
"Makhvilauri..." jawabnya.
"Dimana itu?"
"Belakang penyulingan Rotschild..."
"Aaah jangan-jangan kau kenal Pak Hameed yang tukang delman itu!"
"Kamu kenal?" ia balik bertanya.
Soso mengangguk, "Aku kemarin naik kereta kudanya..."
"Dia pamanku..." jawab anak itu. Ia tampak tak terlalu curiga lagi dengan Soso.
"Bukannya itu jauh? Kenapa kau menggembala domba sampai ke sini?" tanya Soso lagi.
"Di sana jarang rumput, apalagi sekarang, banyak salju. Kalau di sini kan jelas, meski tertutup salju, rumputnya masih ada. Nggak tau nanti kalau musim saljunya kelamaan..." jawabnya.
"Kau kenal yang punya rumah itu?" Soso menunjuk bangunan megah itu.
"Keluarga Kirtavili..." jawabnya. "Jangan-jangan kau mau melihat kecantikan Nyonya Natasha!" sambungnya sambil cengar-cengir ke arah Soso.
"Jangan asal!" kata Soso.
"Aku sudah biasa bertemu orang yang datang ke sini hanya untuk memandanginya dari jauh!" jawab anak itu.
Sialan, bathin Soso. Ketahuan juga modusnya. Tapi berarti benar bahwa itu tempat tinggal Natasha. "Memang cantik ya?" tanya Soso.
 "Tuh kan, sudah kuduga..." Anak itu tergelak, "Tak lama lagi dia akan keluar, terus menuju pabrik pengolahan ikan itu. Tunggu saja!" lanjutnya.
"Dia akan lewat sini?" tanya Soso.
"Ya iyalah. Lihat saja nanti, dia pasti menyapaku..." katanya.
Gawat bathin Soso, ia harus pergi dari situ sebelum bertemu dengan Natasha, kalau apa yang dikatakan anak itu benar. Tapi terlambat, seorang perempuan tampak keluar dari rumah itu dengan mengenakan mantel bulu yang indah. Dari warna rambut dan bentuk tubuhnya, tak salah lagi, itu Natasha.
"Tuh dia..." kata si Mahmoud.
"Kalau dia bertanya soal aku, bilang saja aku pamanmu, orang Turk, jadi tak bisa ngomong Georgia ya!" kata Soso, yang sudah tak mungkin lagi untuk kabur.
"Aku nggak mau bohong, dosa..." katanya.
Soso merogoh kantong baju dalamnya, dan menemukan keping uang satu denga. "Kamu nggak bohong, aku yang bohong. Kalau nanti Tuhanmu tanya, bilang aku yang menyuruhnya..." katanya sambil melemparkan uang itu, yang langsung ditangkap si Mahmoud dengan gembira.
Sosok Natasha makin jelas. Soso segera menarik tutup kepalanya lebih dalam. Untung saja tadi ia dipinjami topi itu, kalau tidak ia harus mencari cara lain untuk bersembunyi.
"Selamat pagi Nyonya..." si Mahmoud menyapa Natasha yang sudah dekat. Soso sendiri menundukkan kepalanya lebih dalam tanpa bergerak dari bawah pohon itu.
"Selamat pagi Mahmoud. Kamu sama siapa itu?" terdengar suara perempuan. Tak salah lagi. Itu benar-benar Natasha, meski Soso tak melihat wajahnya secara langsung.
"Dia orang Turk, mungkin mau ke Batumi. Susah diajak ngomongnya Nyonya..." jawab si Mahmoud.
"Oh ya sudah. Hati-hati saja pada orang asing..." kata perempuan itu lagi.
"Baik Nyonya..."
Perempuan itu berjalan lagi, Soso melihat lalu memandangnya dari belakang. Tak salah lagi. Itu Natasha. Ia sangat ingin perempuan itu memalingkan wajahnya, tapi itu malah berbahaya. Untungnya, Natasha terus berjalan tanpa menengok lagi.
"Kau itu aneh, katanya mau melihat kecantikannya, tapi malah bersembunyi..." kata si Mahmoud.
Soso hanya cengar-cengir.
*****
BERSAMBUNG: (56) Pondok Kayu Tepi Laut
Catatan:
[1] Gonio Apsaros, benteng kuno yang sudah ada sejak satu abad SM
[2] Laut ini disebut sebagai Laut Hitam karena pergerakan airnya sangat terbatas, hanya melalui sebuah celah kecil yang disebut dengan Selat Bosporus di Turki, sementara laut ini menjadi muara banyak sungai besar seperti Sungai Danube, Dnieper, Don, dan lain-lain termasuk Sungai Chorokhi. Selain itu, karena cukup dalam, hingga 2.200 meter lebih, pada saat air tenang airnya menjadi tampak kehitaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI