Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (22) Rencana Pembajakan

18 Desember 2020   07:14 Diperbarui: 19 Desember 2020   07:33 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (21) Bonia, Oh, Bonia...

*****

Soso menjadi murung sepulang dari rumahnya Yuri dan Bonia. Kesadarannya yang berangsur pulih membuatnya merenungi kejadian itu, kejadian di kamar Bonia itu. Ia tak menyangkal kalau ia setengah sadar, tapi setengah kesadarannya itu seharusnya cukup untuk membuatnya menghindari kejadian itu. Hanya saja, ada kekuatan lain yang mendorong dan mencegahnya untuk menghindar. Darah mudanya yang sedang dalam grafik meningkat tajam. 

Tubuhnya sedang giat-giatnya memproduksi testoteron. Ibarat banteng jantan yang lama dikurung, begitu ada celah, dilabraknya dengan mudah dengan tenaganya yang prima. Pagar besipun takkan sanggup menghadangnya. Dan Soso menyadari, pagar dalam dirinya tak cukup tangguh. Pendidikan agama yang hampir diterimanya sepanjang ia menempuh pendidikan tak bisa menjadi penahan. Apalagi, selama ini ia merasa bahwa itu hanya sebuah pagar semu. Ia membangunnya dengan indah, tapi keropos.

"Kalau Bonia... ah... selesailah hidupku..." bathin Soso. Ia tak bisa membayangkan hidupnya akan berakhir di situ; mundur dari sekolah, pulang ke Gori, menjadi menantu Pak Koba, mungkin mencari nafkah dengan menumpang mertuanya berjualan anggur atau menjaga losmennya sambil membesarkan seorang anak!

Ia tidak keberatan menjalani hidup dengan Bonia nantinya, jika memang harus. Anak itu baik. Cukup cantik dan menarik --meski definisi cantik dan menariknya perlahan mulai berubah, standarnya terus meningkat, dan Bonia makin tertinggal. Mendadak saja definisi cantik dan menarik itu melekat pada seorang perempuan yang bahkan tidak ia kenal baik, hanya dalam hitungan jam, dalam perjalanan kereta dari Tiflis ke Gori; Natasha. Pak Koba mungkin tak keberatan menjadikannya menantu --mau apa lagi? Mak Keke juga tidak akan jadi penghalang.

Penghalangnya adalah mimpinya sendiri. Mimpi yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan, sangat absurd. Mimpi menjalani hidup yang sangat berbeda dengan hidup yang dijalani orang lain, terutama yang dijalani orang-orang Gori; tersengal-sengal mencari nafkah untuk bertahan sampai besok, dan besoknya berusaha memperpanjang nafas itu.

Itu bukan mimpinya. Tapi apa mimpinya sesungguhnya?

"Ah, sialan... kenapa harus ada kejadian ini sih!" rutuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun