Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (21) Bonia, Oh, Bonia...
*****
Soso menjadi murung sepulang dari rumahnya Yuri dan Bonia. Kesadarannya yang berangsur pulih membuatnya merenungi kejadian itu, kejadian di kamar Bonia itu. Ia tak menyangkal kalau ia setengah sadar, tapi setengah kesadarannya itu seharusnya cukup untuk membuatnya menghindari kejadian itu. Hanya saja, ada kekuatan lain yang mendorong dan mencegahnya untuk menghindar. Darah mudanya yang sedang dalam grafik meningkat tajam.Â
Tubuhnya sedang giat-giatnya memproduksi testoteron. Ibarat banteng jantan yang lama dikurung, begitu ada celah, dilabraknya dengan mudah dengan tenaganya yang prima. Pagar besipun takkan sanggup menghadangnya. Dan Soso menyadari, pagar dalam dirinya tak cukup tangguh. Pendidikan agama yang hampir diterimanya sepanjang ia menempuh pendidikan tak bisa menjadi penahan. Apalagi, selama ini ia merasa bahwa itu hanya sebuah pagar semu. Ia membangunnya dengan indah, tapi keropos.
"Kalau Bonia... ah... selesailah hidupku..." bathin Soso. Ia tak bisa membayangkan hidupnya akan berakhir di situ; mundur dari sekolah, pulang ke Gori, menjadi menantu Pak Koba, mungkin mencari nafkah dengan menumpang mertuanya berjualan anggur atau menjaga losmennya sambil membesarkan seorang anak!
Ia tidak keberatan menjalani hidup dengan Bonia nantinya, jika memang harus. Anak itu baik. Cukup cantik dan menarik --meski definisi cantik dan menariknya perlahan mulai berubah, standarnya terus meningkat, dan Bonia makin tertinggal. Mendadak saja definisi cantik dan menarik itu melekat pada seorang perempuan yang bahkan tidak ia kenal baik, hanya dalam hitungan jam, dalam perjalanan kereta dari Tiflis ke Gori; Natasha. Pak Koba mungkin tak keberatan menjadikannya menantu --mau apa lagi? Mak Keke juga tidak akan jadi penghalang.
Penghalangnya adalah mimpinya sendiri. Mimpi yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan, sangat absurd. Mimpi menjalani hidup yang sangat berbeda dengan hidup yang dijalani orang lain, terutama yang dijalani orang-orang Gori; tersengal-sengal mencari nafkah untuk bertahan sampai besok, dan besoknya berusaha memperpanjang nafas itu.
Itu bukan mimpinya. Tapi apa mimpinya sesungguhnya?
"Ah, sialan... kenapa harus ada kejadian ini sih!" rutuknya.