Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (7) Buruh Pabrik Sepatu

3 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:40 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soso menggeleng.

“Ah sudahlah… mungkin kamu masih terlalu kecil ketika dia masih waras…” kata Pak Sese lagi. “Padahal dia mek’obre[1] yang berbakat. Mudah-mudahan saja bakatnya menurun padamu, jangan maboknya! Kasihan ibumu, padahal dulu aku yang menjodohkan mereka.. Ah, sudahlah, istirahat sana, jangan sampai terlambat besok!”

Soso mengangguk, lalu kembali ke kamarnya, mengisi minyak dan menyalakan lampunya. “Ternyata, orang yang pernah tinggal di sini adalah Bapak…” bathinnya.

*****

Pabrik sepatu itu milik orang Rusia, Gregori Adelkhanov. Kata Pak Sese, pabrik itu membuat sepatu untuk tentara Rusia, selain membuat sepatu yang lain. Meski begitu, pekerjanya kebanyakan orang Georgia. Sedikit yang asli Tiflis, kebanyakan perantau dari kota-kota kecil di sekitarnya seperti Batumi, Kutaisi, Rustavi, dan ada juga perantauan Armenia. Pak Sese sudah bertahun-tahun kerja di situ, dan sekarang punya posisi yang lebih baik, pengawas bagian penjahitan. Karena Soso belum punya posisi, Pak Sese bilang, ia akan menitipkannya di bagian penyamakan kulit, karena di sana diperlukan banyak pekerja untuk mengangkut material dan pekerjaan lain yang tak memerlukan keahlian, tapi mengandalkan tenaga.

Karena kemarin Soso tidak melongok ke dalam, ia baru tahu kalau pekerjanya sangat banyak, mungkin antara 80-100 orang. Banyak juga pekerjanya yang masih anak-anak, ada yang seumurannya, ada juga bahkan yang lebih muda darinya.

Begitu masuk ke dalam gedung besar itu, langsung tercium aroma yang menyengat. Soso langsung menutup hidungnya, sementara orang-orang lain, dan Pak Sese, tampak biasa saja, ya mungkin karena sudah biasa. Pak Sese langsung membawa Soso ke bagian belakang gedung, dimana bau itu makin menyengat. Bagian belakang gedung itu rupanya adalah bagian penyamakan kulit yang akan dijadikan sebagai bahan sepatu.

Sementara Soso berusaha menenangkan perutnya yang mulai berontak karena mual mencium bau menyengat itu, Pak Sese mendekati seseorang dan berbicara dengannya, lalu memanggil Soso. “Kau bantu-bantu di sini, ikuti aja apa yang disuruh Pak Hago ini…” kata Pak Sese.

Soso mengangguk sambil menutup mulutnya, rasanya isi perutnya mau keluar saat itu.

Lelaki seumuran Pak Sese yang dipanggil Pak Hago itu tampak tertawa melihat tingkah Soso. Ia lalu memanggil pekerja lain yang masih anak-anak, “Vati, bawa anak ini ke belakang, jangan muntah di sini. Habis itu ajak dia angkat-angkat!”

Anak lelaki kurus bertelanjang dada itu mengangguk. Tanpa banyak bicara, dia menarik tangan Soso dan membawanya keluar gedung lewat pintu belakang. “Muntah di sana… ada air!” kata anak itu pada Soso sambil menunjuk sebuah bilik, mungkin semacam WC. Tapi belum sampai di sana, isi perut Soso –sarapan buatan Imelda istri Pak Sese—sudah keburu keluar…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun