Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (5) Beasiswa PHP!

1 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:37 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (4) Tiflis, Aku Datang!

*****

Mungkin karena terlalu lelah, Soso tidur cepat, dan bisa bangun lebih pagi. Mak Keke tak ada di kamar. Di meja kayu dekat tempat tidur tergeletak sepotong puri[1]dengan telor ceplok di bagian tengahnya. Roti itu sudah disobek, mungkin sudah dimakan Mak Keke untuk sarapannya, sementara telor ceploknya masih utuh. 

Di dekatnya, ada segelas susu yang tinggal separuh. Tanpa pikir panjang lagi, Soso langsung melahapnya, termasuk menghabiskan segelas susu yang tersisa sampai tandas. Sambil mengelap mulutnya yang penuh remah-remah, Soso berjalan ke arah jendela dan membukanya. Pemandangan Sungai Kura yang membelah Kota Tiflis menyambutnya. "Ah, aku takkan terlalu kangen Gori kalau begini..." bathin Soso.

Pintu kamar losmen yang tak mewah itu berderit. Mak Keke nongol dengan wajah datar. "Mandi sana, kita ke sekolahanmu!" kata Mak Keke.

"Bukannya mau nyari rumah sodara dulu Mak?" tanya Soso.

"Nanti aja kalau sudah dari sekolahanmu!" jawab Mak Keke.

Soso bergegas mandi, kali ini nggak pake lelet, karena ia sendiri sudah sangat penasaran seperti apa calon sekolahnya itu. Pasti jauh lebih bagus dari sekolahannya di Gori itu.

Ternyata, bayangan Soso tentang sekolahannya meleset jauh, bukan hanya lebih bagus, tapi sangat megah! Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari losmen, menyeberangi jembatan di atas Sungai Kura, satu belokan kemudian sudah sampai. Bagian depan gedung itu sangat mempesona, ada enam pilar besar yang menyangga atap teras depannya yang berbentuk segitiga yang sangat bergaya Romawi. 

Dari luar saja sudah terlihat bahwa bangunan itu bertingkat tiga, terlihat dari tiga jendela kaca yang bertingkat di bagian kiri dan kanannya. Meski bagian depannya indah, tapi terlihat tidak simetris di bagian sampingnya. Bagian kiri lurus sejajar dengan bagian depan, sementara bagian kanannya menyerong keluar, jelas dibangun mengikuti dua lajur jalan yang mengapitnya, satu lurus dan satunya lagi serong. Di seberang gedung itu ada sebuah taman yang dikelilingi pagar seleher orang dewasa.

Bangunan itu memang megah. Kelak Soso akan mengetahui kalau bangunan itu dulunya adalah milik konglomerat juragan gula di Tiflis bernama Jacob Zubalasvili. Selesai dibangun tahun 1830 oleh seorang arsitek Swiss, Giuseppe Bernardazzi yang sengaja disewa Zubalasvili. Masuknya Rusia dan bangkrutnya usaha Jubalasvili menyebabkan bangunan itu sempat terbengkalai hingga akhirnya diambil alih oleh pihak Gereja Ortodox Rusia dan dijadikan seminari. Rupanya bagian gedung yang memanjang di kiri dan kanan hingga di belakangnya yang membentuk segitiga itu adalah bangunan baru setelah gereja menguasainya. Jadi bangunan aslinya sendiri hanya yang di bagian depan itu.[2] 

Saat Soso masih celingak-celinguk, terkagum-kagum dengan bangunan itu, Mak Keke mencari informasi dengan bertanya pada beberapa orang di situ. Tak lama kemudian, Mak Keke menarik tangan Soso dan membawa anak itu masuk ke dalam gedung. Seorang pria menemani mereka sambil berbicara pada Mak Keke dengan bahasa Rusia. Anehnya, Mak Keke tampak mengerti omongan itu. Sampai akhirnya mereka berdua dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan di gedung bagian depan itu. 

Seorang lelaki berpakaian pendeta, berjenggot putih lebat menyambut mereka dan mempersilakan duduk. Soso berhenti celingak-celinguk ketika menyaksikan emaknya mengobrol dengan lelaki itu dengan menggunakan bahasa Rusia! Memang terbata-bata, tapi komunikasi mereka tampak lancer. Sementara Soso hanya bisa menangkap satu dua kata dan kesulitan menghubungkannya dalam sebuah makna.

Sampai pada akhirnya Mak Keke yang tampak menahan emosi, menarik tangan Soso lalu dengan gerakan tubuh yang tidak sehormat tadi, ia menyeret anaknya keluar dari ruangan itu. Soso berontak dan bertanya-tanya, tapi Mak Keke bungkam sampai mereka kembali ke kamar losmen.

"Kenapa sih Mak, saya digeret-geret kayak gini?" tanya Soso yang agak sedikit sebel. Itu pertanyaan penting yang ingin ia ajukan sejak tadi, selain pertanyaan berikutnya, darimana emaknya itu bisa berbahasa Rusia. Tapi pertanyaan kedua itu bisa ditundanya dulu.

"Ada yang membohongi kita..." jawab Mak Keke ketus.

"Siapa?" tanya Soso lagi.

"Nggak tau!" jawab Mak Keke pendek.

"Lah, gimana sih Mak..."

"Iya, aku nggak tau siapa yang bohong. Yang jelas, sekolahmu itu, beasiswa itu, tidak seperti yang dikatakan Romo Chark..." kata Mak Keke lagi.

"Jadi Romo Chark bohong? Apanya yang bohong?"

"Sudah kubilang, belum tentu Romo Chark yang bohong..."

"Terus siapa?" Soso mulai kehilangan kesabaran.

"Bukan soal siapa yang bohong!" kata Mak Keke lagi setengah membentak. Soso diam. Emaknya itu, kalau sudah jengkel atau lagi ngambek, jangan dilawan, bapaknya aja nggak berani. Makanya Soso memilih tidak bertanya lagi, dan menunggu saja penjelasan berikutnya. Nggak mungkin Mak Keke akan diam, apalagi kan urusan sekolah itu menyangkut dirinya juga.

"Kita harus membayar 40 rubel setahun...." kata Mak Keke setelah diam beberapa saat.

Soso melongo, "Lah... katanya saya dapet beasiswa Mak..."

"Iya, tapi beasiswanya nggak berarti sekolahnya gratis. Beasiswanya berupa potongan biaya. Biaya sekolah itu seratus rubel setahun, selain biaya sekolah, juga biaya hidupmu di asrama. Kamu dapat potongan lima rubel sebulan, jadi kita masih harus membayar sisanya yang empat puluh rubel itu!"

"Yaaah... berarti beasiswanya PHP doang Mak?" tanya Soso yang juga ikutan kecewa. Kecewa karena impiannya sekolah di gedung bagus itu memudar, bahkan lebih ngeri lagi, ia terancam harus kembali ke Gori. Apa kata dunia kalau ia harus kembali ke Gori?

"Apaan tuh pehape?" tanya emaknya.

"Pemberi Harapan Palsu..." jawab Soso.

Mak Keke tersenyum juga sedikit.

"Terus gimana dong Mak? Masak saya harus balik ke Gori, gengsi dong..." kata Soso.

"Ya mau gimana lagi, meski bisa dicicil bulanan, tetep aja itu mahal So..." jawab Mak Keke. "Balik ke Gori dulu aja lah, nanti Mak nyari utangan. Kamu sekolahnya tahun depan aja ya So..." kata Mak Keke sambil melirik anaknya dengan wajah sedih.

Soso diam.

"Lagian, bahasa Rusiamu kan juga belum lancar, sementara sekolah itu nggak pake bahasa Georgia..." lanjut Mak Keke. "Pulang aja dulu ya, Emak nyari duit buat kamu, dan kamu belajar bahasa Rusia dulu..."

Soso membisu. Ia nggak bisa memaksa ibunya untuk tetap masuk sekolah dengan biaya setinggi itu. Mungkin ceritanya berbeda kalau saja bapaknya masih waras, menggarap bengkel sepatunya. Ah, sudahlah.. malas juga dia berpikir tentang bapaknya itu.

"Ya udah deh Mak..." kata Soso dengan wajah tanpa ekspresi.

*****

Mak Keke membiarkan Soso menikmati Tiflis di sisa hari itu. Selain karena anak itu sudah cukup besar, Mak Keke juga merasa bersalah karena jarang memberinya kesenangan. Sudah tak pernah ngajak jalan-jalan atau liburan layaknya anak-anak di keluarga yang lain, tiap hari disuruh bantuin cari nafkah, eeh mau disekolahin karena anaknya pinter juga terancam batal karena ia nggak sanggup membiayainya. Jadi ya sudah, mumpung sudah kadung ke Tiflis, ia memberi kesempatan anaknya untuk sedikit 'bersenang-senang.' Ia bahkan membekali anaknya dengan uang dua kopeck[3] untuk bekal jalan-jalannya itu. Apalagi, besok mereka rencananya akan kembali ke Gori. Untuk itu, Mak Keke bahkan sudah meminta bantuan pemilik losmen untuk mencarikan kereta. 

Begitu izin ngelayapnya keluar, tujuan pertama Soso adalah melihat bangunan 'sekolah-nya' tadi. Belum puas tadi ia mengagumi keindahannya. Andai saja ia jadi bersekolah di situ, mungkin ia takkan melakukannya. Tapi karena terancam batal --dan kemungkinannya sangat besar---satu-satunya yang terlintas di benak Soso adalah mengucapkan selamat tinggal. Ia menyadari bahwa sekolah di situ, mungkin bukan bagian dari cita-citanya yang sesungguhnya. Menjadi pendeta itu cita-cita Mak Keke, bukan cita-citanya. Sekolah gereja di Gori pun bukan karena kemauannya, tapi itulah satu-satunya sekolah yang mau menerimanya (karena Mak Keke juga tidak pernah mendaftarkannya ke sekolah lain), guru-guru yang mau mendidiknya, dan pada akhirnya memberi cukup banyak wawasan baginya.

Sekolah di Gori tak lebih dari pelarian, meski menyenangkan, karena ia belajar banyak hal, terutama membaca dan menulis. Bab ajaran agamanya, hanya sekadarnya, meski ia tetap menonjol dibandingkan anak-anak lain, entah karena kecerdasannya, atau karena memang usianya yang dua-tiga tahun lebih tua dibandingkan teman-temannya. Tapi pelajaran-pelajaran lain, terutama sastra dan musik, sangat disukainya, sastra terutama. Masa sekolah itulah ia membaca habis Vepkhist'q'aosani[4]  sebuah cerita epos dalam bentuk puisi karya Shota Rustaveli yang menceritakan sosok Ratu Tamar[5] dengan alegori latar India dan Arab. Rangkaian puisi sepanjang 6.648 baris itu penuh dengan bahasa yang memukau bagi Soso, belum lagi kisah yang diceritakannya; penuh nuansa romantisme, persahabatan, kepahlawanan, hingga kesetiaan pada tanah air. Soso juga menyukai karya-karya dua penyair Georgia lainnya yaitu Pangeran Akaki Tsereli dan Raphael Eristavi yang juga penuh dengan romantisme dan patriotisme.

Begitupun sebetulnya dengan sekolah di Tiflis itu --kalau saja jadi---akan tetap menjadi pelariannya yang menyenangkan; lari dari Gori yang membosankan, 'lari' dari emaknya --dalam arti mengurangi beban hidup ibunya itu karena ia bisa mandiri dengan uang beasiswanya, sekaligus membalikkan penilaian orang-orang kepadanya. Ada semacam dendam Soso pada lingkungan yang meremehkannya dan keluarganya; cara mereka memandangnya, bergosip tentang siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, penilaian buruk dan mesum pada ibunya, keluarganya yang berantakan, asal-usul leluhurnya yang tidak jelas, dan sebagainya. Ia ingin membalikkan semua penilaian negatif itu, sekaligus membayar kebaikan orang-orang yang menyayanginya; Mak Keke, Romo Chark, keluarga Pak Koba, dan sahabat-sahabatnya yang tak banyak itu. Geng Sotoy? Itu hanya lalat di musim penghujan; meski mengganggu dan sering berkelahi dengan mereka, ia tak benar-benar membencinya --kadang bahkan Soso merasa 'kangen' jika lama tak bakuhantam dengan anggota geng itu.

Tapi ternyata, impiannya harus buyar. Ia memang mendapatkan beasiswa itu. Betul, jumlahnya juga lima rubel sebulan seperti yang didengarnya dari Romo Chark. Tapi itu hanya jadi potongan biaya sekolah dan asramanya, bukan dalam bentuk uang saku. Tak tega ia memaksakan Mak Keke pontang-panting mencari biaya penutupnya, meski mungkin Mak Keke tak keberatan dan kelihatannya akan melakukannya. Intinya, Soso sudah merelakan mimpinya bersekolah di situ; jadi sekolah --entah sekarang, tahun depan, atau tahun berikutnya---syukur, enggak juga ya sudah, mau apa lagi; paling ia balik lagi ke Gori, melanjutkan 'karir' sebagai pengajar baca-tulis, atau mungkin menyeriusi belajar gulat pada Pak Koba sambil sedikit-sedikit mencuri ilmu berdagangnya.

Soso tak berlama-lama memandangi gedung itu. Ia berjalan mengikuti jalan lurus di samping gedung seminari itu, tanpa tujuan jelas, sampai akhirnya ia berhenti di sebuah bangunan kecil dengan huruf rusia. Ia tak bisa membacanya. Tapi dari depan, ia bisa melihat banyak buku di dalam rak-raknya. Ia nekat masuk ke situ. Penjaganya, seorang lelaki setengah baya meliriknya dengan sedikit curiga, tapi membiarkan Soso melihat-lihat buku di situ. Banyak yang menarik perhatiannya, tapi, lagi-lagi, Soso harus terhenti, buku-buku di situ semuanya menggunakan huruf Rusia, sebagian lagi berhuruf Latin. Mana bisa dia membacanya. Ia mungkin menguasai sedikit kota kasa Rusia, tapi ia tak bisa membaca hurufnya. Apalagi yang berhuruf Latin itu, entah bahasa apa yang digunakannya.

"Kakuyu knigu ty ishchete?[6]" tanya lelaki itu dalam bahasa Rusia, setelah sekian lama Soso hanya mondar-mandir. Samar, meski tak pasti, Soso tahu kalau lelaki itu bertanya tentang buku yang dicarinya.

Soso hanya menggelengkan kepala.

"Ty russkiy?[7]" tanya lelaki itu lagi.

 Soso menggeleng.

 "Gruzin?"[8]

 Soso mengangguk.

 Lelaki itu hanya tersenyum, lalu menggedikkan bahu.

 Apa boleh buat. Soso mengerti, tak ada buku berbahasa atau setidaknya berhuruf Georgia di situ. Ia pun berniat untuk meninggalkan tempat itu, "Nanti lah, kalau aku sudah bisa berbahasa dan membaca huruf Rusia, aku akan ke sini lagi, itu juga kalau aku ke Tiflis lagi..." bathinnya.

 Tapi lelaki itu tiba-tiba melambaikan tangannya. Soso mendekat. Lelaki itu membungkuk ke bawah mejanya, dan mengambil sebuah buku kecil dan menyodorkannya pada Soso. Bukan sebuah buku hasil cetakan, melainkan buku catatan. Dengan bingung Soso membukanya; rupanya itu adalah catatan kosa kata Georgia dengan Rusia. Mungkin lelaki itu sedang belajar bahasa Georgia dan mencatat artinya dalam buku itu. Yaah, semacam kamus Georgia-Rusia yang tak beraturan. Masalahnya, Soso juga nggak bisa membaca sebaliknya, ia bisa membaca huruf Mkhedruli-nya, tapi kan gak bisa membaca huruf Rusia-nya.

"Es tkventvis![9]" kata lelaki itu dalam bahasa Georgia.

Soso bengong sambil menatap lelaki itu.

"Diakh tkventvis![10]" kata lelaki itu.

Soso tersenyum, "Dalian didi madloba, terimakasih banyak..." katanya dengan girang. Mau ngerti isinya atau enggak itu urusan nanti, namanya juga dikasih.. bathin Soso.

"Ori abazi![11]" kata lelaki itu lagi sambil mengangkat dua jarinya.

Soso langsung kecut. "Aseeem... kirain gratisan...!" bathinnya. Ia pun menyerahkan lagi buku itu.

"Erti abazi![12]" kata lelaki itu, kali ini hanya telunjuknya saja.

 Tapi Soso sudah kadung mangkel, ia menggelengkan kepalanya lalu meninggalkan tempat itu. "Sama aja, nggak sekolahan nggak toko buku, sama-sama pehape...." rutuknya.

*****

BERSAMBUNG: (6) Ditinggal di Tiflis!

Catatan:

[1] Roti

[2] Saat ini, bangunan itu menjadi Museum Seni Murni Georgia, terletak antara Jalan Lado Gudiasvili dan Jalan Nikoloz Baratashvili, tak jauh dari Pushkin Park dan Liberty Square, Tbilisi.

[3] Pecahan yang lebih kecil dari rubel transkaukasia yang sudah diberlakukan di Georgia dan sekitarnya, meski abazi Georgia juga masih berlaku.

[4] Secara harfiah berarti 'Manusia berkulit harimau,' ditulis abad ke 17 dan diterbitkan pertamakali atas perintah Raja Vakhtang VI awal abad ke-18

[5] Pemimpin perempuan Georgia di masa keemasan antara tahun 1184-1213 masehi.

[6] Buku apa yang kamu cari?; Rusia

[7] Kamu orang Rusia?; Rusia

[8] Georgia; Rusia

[9] Untukmu: Georgia

[10] Ya, untukmu: Georgia

[11] Dua Abazi: Georgia

[12] Satu Abazi: Georgia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun