Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (5) Beasiswa PHP!

1 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:37 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terus gimana dong Mak? Masak saya harus balik ke Gori, gengsi dong..." kata Soso.

"Ya mau gimana lagi, meski bisa dicicil bulanan, tetep aja itu mahal So..." jawab Mak Keke. "Balik ke Gori dulu aja lah, nanti Mak nyari utangan. Kamu sekolahnya tahun depan aja ya So..." kata Mak Keke sambil melirik anaknya dengan wajah sedih.

Soso diam.

"Lagian, bahasa Rusiamu kan juga belum lancar, sementara sekolah itu nggak pake bahasa Georgia..." lanjut Mak Keke. "Pulang aja dulu ya, Emak nyari duit buat kamu, dan kamu belajar bahasa Rusia dulu..."

Soso membisu. Ia nggak bisa memaksa ibunya untuk tetap masuk sekolah dengan biaya setinggi itu. Mungkin ceritanya berbeda kalau saja bapaknya masih waras, menggarap bengkel sepatunya. Ah, sudahlah.. malas juga dia berpikir tentang bapaknya itu.

"Ya udah deh Mak..." kata Soso dengan wajah tanpa ekspresi.


*****

Mak Keke membiarkan Soso menikmati Tiflis di sisa hari itu. Selain karena anak itu sudah cukup besar, Mak Keke juga merasa bersalah karena jarang memberinya kesenangan. Sudah tak pernah ngajak jalan-jalan atau liburan layaknya anak-anak di keluarga yang lain, tiap hari disuruh bantuin cari nafkah, eeh mau disekolahin karena anaknya pinter juga terancam batal karena ia nggak sanggup membiayainya. Jadi ya sudah, mumpung sudah kadung ke Tiflis, ia memberi kesempatan anaknya untuk sedikit 'bersenang-senang.' Ia bahkan membekali anaknya dengan uang dua kopeck[3] untuk bekal jalan-jalannya itu. Apalagi, besok mereka rencananya akan kembali ke Gori. Untuk itu, Mak Keke bahkan sudah meminta bantuan pemilik losmen untuk mencarikan kereta. 

Begitu izin ngelayapnya keluar, tujuan pertama Soso adalah melihat bangunan 'sekolah-nya' tadi. Belum puas tadi ia mengagumi keindahannya. Andai saja ia jadi bersekolah di situ, mungkin ia takkan melakukannya. Tapi karena terancam batal --dan kemungkinannya sangat besar---satu-satunya yang terlintas di benak Soso adalah mengucapkan selamat tinggal. Ia menyadari bahwa sekolah di situ, mungkin bukan bagian dari cita-citanya yang sesungguhnya. Menjadi pendeta itu cita-cita Mak Keke, bukan cita-citanya. Sekolah gereja di Gori pun bukan karena kemauannya, tapi itulah satu-satunya sekolah yang mau menerimanya (karena Mak Keke juga tidak pernah mendaftarkannya ke sekolah lain), guru-guru yang mau mendidiknya, dan pada akhirnya memberi cukup banyak wawasan baginya.

Sekolah di Gori tak lebih dari pelarian, meski menyenangkan, karena ia belajar banyak hal, terutama membaca dan menulis. Bab ajaran agamanya, hanya sekadarnya, meski ia tetap menonjol dibandingkan anak-anak lain, entah karena kecerdasannya, atau karena memang usianya yang dua-tiga tahun lebih tua dibandingkan teman-temannya. Tapi pelajaran-pelajaran lain, terutama sastra dan musik, sangat disukainya, sastra terutama. Masa sekolah itulah ia membaca habis Vepkhist'q'aosani[4]  sebuah cerita epos dalam bentuk puisi karya Shota Rustaveli yang menceritakan sosok Ratu Tamar[5] dengan alegori latar India dan Arab. Rangkaian puisi sepanjang 6.648 baris itu penuh dengan bahasa yang memukau bagi Soso, belum lagi kisah yang diceritakannya; penuh nuansa romantisme, persahabatan, kepahlawanan, hingga kesetiaan pada tanah air. Soso juga menyukai karya-karya dua penyair Georgia lainnya yaitu Pangeran Akaki Tsereli dan Raphael Eristavi yang juga penuh dengan romantisme dan patriotisme.

Begitupun sebetulnya dengan sekolah di Tiflis itu --kalau saja jadi---akan tetap menjadi pelariannya yang menyenangkan; lari dari Gori yang membosankan, 'lari' dari emaknya --dalam arti mengurangi beban hidup ibunya itu karena ia bisa mandiri dengan uang beasiswanya, sekaligus membalikkan penilaian orang-orang kepadanya. Ada semacam dendam Soso pada lingkungan yang meremehkannya dan keluarganya; cara mereka memandangnya, bergosip tentang siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, penilaian buruk dan mesum pada ibunya, keluarganya yang berantakan, asal-usul leluhurnya yang tidak jelas, dan sebagainya. Ia ingin membalikkan semua penilaian negatif itu, sekaligus membayar kebaikan orang-orang yang menyayanginya; Mak Keke, Romo Chark, keluarga Pak Koba, dan sahabat-sahabatnya yang tak banyak itu. Geng Sotoy? Itu hanya lalat di musim penghujan; meski mengganggu dan sering berkelahi dengan mereka, ia tak benar-benar membencinya --kadang bahkan Soso merasa 'kangen' jika lama tak bakuhantam dengan anggota geng itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun