Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mencicil Masa Depan dengan Investasi Saham

1 Februari 2019   05:24 Diperbarui: 1 Februari 2019   05:52 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang kepala keluarga, saya sering dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Pada satu sisi, saya ingin memenuhi kebutuhan keluarga, pada sisi lain ingin memiliki tabungan yang banyak. Dengan gaji yang pasti, tentu saja hal ini jadi dilema. Ingin memenuhi kebutuhan keluarga, berarti mengurangi volume tabungan. Begitu juga sebaliknya, ingin memiliki tabungan yang banyak, maka kebutuhan keluarga harus dikurangi.

Perencanaan keuangan yang disodorkan istri juga harus pasti dikabulkan. Misal membeli sabun, pasta gigi, beras, sayur, ikan, belanja sekolah anak-anak, listrik, air, BBM, internet, dan lain-lain. Sewaktu-waktu kita juga membeli pakaian baru, buku, peralatan sekolah, perawatan berkala yang lain. 

Kita juga butuh hiburan untuk mengurangi tingkat stress setelah sekian lama bekerja. Hal-hal tersebut menjadi biaya yang harus rutin dikeluarkan setiap bulan. Lalu, kapan giliran untuk menabung?

Berinvestasi
Oke, anggaplah kita sudah pandai mengatur keuangan dalam rumah tangga. Sekarang, giliran untuk menabung. Kemana kita menginvestasikan sisa penghasilan kita setelah dipotong biaya-biaya rumah tangga. Ada yang membeli sawah, membeli tanah, kredit rumah, kredit mobil, membeli emas, menabung di bank, dan lain sebagainya.

Semuanya sudah bagus, masing-masing memiliki keinginan tersendiri. Tentunya dengan maksud dan tujuan yang sama, untuk berinvestasi. Tapi, berapa sih uang yang kita punya? Taruhlah, kita baru mendapatkan rapelan Tunjangan Kinerja senilai Rp. 25 juta. Atau, yang tidak mendapatkan Tunjangan Kinerja, anggaplah punya uang Rp. 25 juta cash.

  • Membeli sawah. Dengan uang Rp. 25 juta, anggaplah kita bisa membeli tanah seluas 4 borongan (1 borongan = 17m x 17m). Sawah bisa diusahakan oleh orang lain, dengan sistem bagi hasil, yang biasanya 1/3 bagian yang diterima oleh pemilik sawah, 2/3 bagiannya menjadi hak petani penggarap. Kalau 1 borongan bisa menghasilkan padi sebanyak 10 blek, maka dengan 4 borongan kita mendapatkan padi sebanyak 40 blek. Pembagian hasilnya, 13,3 blek untuk kita, dan sisanya untuk penggarap. Kalau 1 blek gabah seharga Rp. 70.000,- maka 13,3 blek sama dengan Rp. 931.000,- Itulah yang kita terima dari kita investasi membeli sawah, yakni Rp. 931.000/tahun.  Selama 3 tahun, hasil sawah kita menjadi Rp. 2.793.000,-

  • Membeli tanah.  Harapan kita harga tanah melambung pada saat dijual nanti, dan kalaupun tidak laku, tanah tidak pernah menjadi busuk. Tiga tahun yang akan datang, harapan kita harga tanah menjadi Rp. 30.000.000,- Itupun kalau laku.

  • Kredit rumah juga bisa untuk disewakan, misalnya membeli rumah sederhana type 36 dengan DP Rp. 8 juta ditambah biaya pembuatan dapur, dll sekitar Rp. 17 juta, maka biaya yang kita keluarkan Rp. 25 juta. Setelah selesai, rumah tersebut kita sewakan Rp. 500 ribu sebulan. Dan selama 3 tahun, kita akan mendapatkan hasil Rp. 9 juta. Uang itupun belum cukup untuk membayar cicilan yang misalnya rata-rata Rp. 900 perbulan x 15 tahun.

  • Kredit mobil juga investasi? Tentu saja bisa, apabila mobil tersebut digunakan untuk jasa angkut, misalnya Grab, Go-Car, atau rental. Membeli emas juga baik. Selain bisa dipakai, juga bisa dijual sewaktu-waktu, apalagi dengan harga terjadi selisih yang besar dari harga jual dan harga beli.

  • Menabung? Tentu saja ini juga investasi. Bank memberikan suku bunga tergantung berapa nominal Anda di sana. BCA misalnya, per 1 Desember 2018, mematok suku bunga 0,5% pertahun untuk tabungan jenis Tahapan dengan nominal 50 sampai kurang dari 500 juta. Untuk deposito dengan nominal kurang dari Rp 2 M, suku bunga pertahunnya 6%.

Dari semua itu, kalian pilih yang mana? Tentu saja menyesuaikan dengan stail masing-masing. Cuma yang harus diingat, setiap tahun kita mengalami inflasi.

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. 

Penentuan barang dan jasa dalam keranjang IHK dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Secara teori, menabung di bank dengan inflasi rata-rata 4% pertahun, uang kita bertambah sangat sedikit, apalagi uang yang kita tabung tidak banyak, malah berkurang karena tabungan kita akan dikenakan biaya lain-lain. Biaya itu antara lain biaya administrasi bulanan, penarikan melalui teller, biaya transfer, biaya ATM.

Mencicil Masa Depan

Secara pribadi, saya lebih menyukai pengelolaan keuangan melalui investasi di saham. Disclaimer on ya. Alasan saya memilih berinvestasi di saham yaitu modal investasi saham tidak terlalu besar seperti dalam bayangan orang, transaksi saham juga mudah, bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, transaksi saham bersifat likuid dan transparan, untuk jangka panjang menguntungkan, relatif aman, dan yang terpenting pergerakan saham akan mengikuti juga dengan laju inflasi.

Laju inflasi inilah yang harus kita lampaui. Kalau uang kita berkembang hanya sebatas mengikuti laju inflasi, maka nilai uang kita tidak bertambah.

Dengan berinvestasi di saham yang likuid, maka kita akan mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual dengan harga beli (capital gain), selain deviden tentunya. Sebagai contoh, saham BCA, harga per lembar saham pada 3 Januari 2016 adalah Rp. 13.225,-  

Dengan budget maksimal Rp. 25 juta, kita bisa membeli saham sebanyak 18 lot  atau 1.800 lembar (Rp. 23.800.500. 1 lot = 100 lembar saham). Sisa uang cash kita masih ada Rp. 1.199.500 dari yang Rp 25 juta. Sementara pada tanggal 3 Januari 2019 harganya menjadi Rp. 25.900,- perlembar.  Keuntungan yang kita dapatkan perlembar adalah Rp. 25.900 -- Rp. 13.225 = Rp. 12.675.  

Keuntungan tersebut kita kalikan 1.800 lembar saham maka akan menjadi Rp. 22.815.000,-. Ingat! Ini keuntungan lho, modal kita tetap ada. Jika modal ditambah untung ditambah uang cash sisa (23.800.500 + 22.815.000 + 1.199.500), maka uang kita akan menjadi Rp. 47.815.000,- Luar biasa.

Tanpa ribet bukan? Inilah alasan, kenapa saya menulis ini. Niatnya, hanya ingin mengajak kawan-kawan berinvestasi di saham. Ayo, kita jangan kalah dengan mereka yang sudah sukses! Kapan kita mulai menabung saham? Ya, sekarang!

Pencapaian yang luar biasa

Di bawah ini disajikan beberapa saham yang memperoleh pencapaian yang luar biasa selama 10 tahun (Januari 2009 -- Januari 2019). Saham BCA mengalami kenaikan 788,24%, Bank BRI (716,41%), Telkom Indonesia (204,58%), Unilever (488,04%), Astra Internasional (562,65%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun