Artikel ini menggunakan sintesis bukti sekunder (desk study) dari: IMF (prospek global), BI (suku bunga & sasaran inflasi), OECD (proyeksi Indonesia), Bank Dunia (IEP Juni 2025), dan Climate Risk Country Profile: Indonesia (2025). Analisis membangun framework resiliensi yang mengaitkan indikator makro (pertumbuhan, inflasi, RER), eksposur eksternal (ekspor, ketergantungan komoditas), serta kerentanan iklim dan kapasitas kebijakan. (IMF, Badan Pusat Statistik, OECD, World Bank, Climate Knowledge Portal)
4. Hasil: Peta Risiko Makro Menuju 2030
4.1. Risiko global -- IMF memproyeksikan pertumbuhan global 3,0--3,1% dan menekankan downside risks dari tarif, ketidakpastian, dan tensi geopolitik; media utama mengonfirmasi sorotan risiko tarif pada prospek 2025--2026. (IMF, Reuters, The Guardian)
4.2. Posisi Indonesia (2025) -- BI menahan BI-Rate 5,50% untuk menambatkan inflasi dalam target dan menstabilkan rupiah di tengah ketidakpastian global. OECD memproyeksikan PDB 4,7% (2025)--4,8% (2026); Bank Dunia menilai ekonomi "tetap resilien" dengan prospek rerata 4,8% (2025--2027), namun investasi dan belanja publik perlu dipacu. (Badan Pusat Statistik, OECD, World Bank)
4.3. Risiko iklim -- Profil Risiko Iklim (2025) menempatkan Indonesia pada paparan tinggi terhadap banjir, kekeringan, dan kenaikan muka laut, yang mengancam produktivitas, ketahanan pangan, dan infrastruktur. (Climate Knowledge Portal)
5. Diskusi: Mekanisme Transmisi dan Kerentanan Domestik
Perdagangan & manufaktur. Fragmentasi dan tarif menekan volume ekspor & margin manufaktur; terms of trade menjadi volatile karena komoditas. Ini menyulitkan pembiayaan defisit eksternal bila sentimen global memburuk. (Reuters)
Kebijakan makro. Keputusan BI konsisten dengan penahan gejolak eksternal; namun ruang fiskal harus diarahkan pada belanja produktif (SDM, infrastruktur) agar permintaan domestik menjadi jangkar pertumbuhan. (Badan Pusat Statistik, World Bank)
Iklim sebagai shock amplifier. Intensifikasi bencana hidrometeorologis mengganggu hasil panen, jalur logistik, dan kesehatan; adaptasi dan infrastruktur ketahanan jadi prasyarat resiliensi. (Climate Knowledge Portal)
6. Strategi Resiliensi Indonesia (Prioritas 2025--2027)
6.1. Perisai makro & koordinasi kebijakan
- Pertahankan kredibilitas policy mix BI--Pemerintah: jaga sasaran inflasi, stabilitas nilai tukar, dan komunikasi ke pasar. (Badan Pusat Statistik)
- Re-prioritization fiskal: perkuat basis pajak dan efisiensi belanja ke human capital (kesehatan, pendidikan, vokasi) serta infrastruktur produktif. (World Bank)
6.2. Tahan banting terhadap fragmentasi perdagangan
- Diversifikasi pasar (Asia Selatan, Afrika, intra-ASEAN) dan produk (naik kelas pada manufaktur berteknologi menengah/tinggi).
- Dorong perdagangan digital dan fasilitasi UMKM lintas batas sejalan agenda integrasi digital ASEAN (DEFA). (Pendukung: proyeksi lembaga internasional atas ekonomi digital ASEAN yang menguat menuju 2030).
6.3. Produktivitas & modal manusia (bonus demografi)
- Reskilling--upskilling digital, manufaktur hijau, logistik cerdas; link & match vokasi--industri untuk mendorong TFP dan investasi swasta. (World Bank)
6.4. Transisi energi & adaptasi iklim
- Blended finance untuk EBT (PLTS/PLTA mikro) dan upgrade grid; kepastian regulasi proyek RE.
- Infrastruktur adaptasi: bendungan, proteksi pesisir, early warning system, dan tata ruang berbasis risiko iklim. (Climate Knowledge Portal)