Oleh: Ali Mutaufiq
Era digital telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia---termasuk cara kita belajar, mengajar, dan berinteraksi di dunia pendidikan tinggi. Di balik segala kemudahan teknologi, terdapat satu hal yang sering luput dari perhatian: etika akademik. Relasi dosen dan mahasiswa yang dahulu sarat dengan nilai hormat dan keteladanan, kini perlahan mengalami pergeseran.
Kemudahan akses, kecepatan komunikasi, dan budaya instan yang dibawa oleh digitalisasi membuat batas antara profesionalisme dan informalitas menjadi kabur. Mahasiswa kini bisa menghubungi dosennya kapan saja, bahkan tengah malam. Dosen bisa memberi nilai lewat sistem otomatis, tanpa dialog yang membangun.
Pertanyaannya: apakah etika dalam relasi akademik masih relevan di era digital ini?
Digitalisasi: Antara Kemajuan dan Tantangan Etika
Tidak bisa dipungkiri, era digital membawa banyak kemajuan dalam dunia kampus. Kuliah daring, e-learning, jurnal online, hingga konsultasi via WhatsApp adalah bagian dari transformasi positif. Namun, di sisi lain, kemajuan ini juga memunculkan tantangan moral:
- Mahasiswa menganggap dosen bisa dihubungi kapan saja, tanpa mempertimbangkan waktu dan situasi.
- Dosen terkadang kehilangan kepekaan personal karena semua dilakukan melalui layar.
- Diskusi ilmiah berubah menjadi percakapan cepat yang dangkal.
- Nilai dihitung algoritma, bukan dihargai dari proses.
"Teknologi bisa membuat komunikasi lebih cepat, tapi belum tentu membuat hubungan lebih bermakna." Prof. Komaruddin Hidayat
Relasi yang Mulai Dingin: Dosen sebagai Sistem, Mahasiswa sebagai Data
Dalam beberapa kasus, relasi dosen dan mahasiswa di era digital menjadi sangat formal dan transaksional. Mahasiswa melihat dosen hanya sebagai pemberi nilai. Dosen melihat mahasiswa hanya sebagai objek evaluasi. Tidak ada lagi hubungan yang inspiratif.
Padahal, hakikat pendidikan tinggi adalah dialog antar manusia, bukan hanya transfer informasi. Pendidikan bukan hanya menjawab soal, tapi menyentuh hati.