Seketika kota kami sunyi, senyap dari kebisingan deru-deru kendaraan,
Hilir mudik ramai pada dahulunya tak berjejak,
Orang-orang menyibukkan diri dalam kekalutan rasa,
Membelah malam sepi penuh was was,
Tak terpikir apakah akan tiba pada geliat gairah pagi, dalam mimpi pun tak terbersit,
Rumah - rumah Tuhan tak bertuan, Warung - warung jajanan tak berpenghuni, tak terdengar suara adukan kopi pada cangkir - cangkir penikmatnya, gelak tawa para bocah di sudut - sudut jalan hilang tanpa kesan.
Bodohnya kami percaya desas desus yang ditiupkan mulut-mulut liar para penebar isu.
Para pemburu fulus menancapkan akal bulus:
Menimbun, mengeksploitasi, memonopoli
Politisi sibuk membangun citra membuat panggung, lainnya lebih banyak raib di telan janji-janji melompong,
Semua menjadi apologi,
Jargon-jargon demi rakyat tak lagi bertuan,
Serasa sari manis pada jajanan es cendol ibu karena tak mampu beli gula.
Anak-anak kami resah, cemas tak mampu memahami arti berdiam dirumah,
Mereka ingin ke kelas, Â bermain, menikmati makan-minum kantin sekolah,
Saluran - saluran tv dan radio makin vulgar, menyebar embaran, kecemasan menyeruak, seolah asa pada Tuhan menjadi akhir episode.
Balikpapan, 04.03.20
Ali Musri Syam