Mohon tunggu...
Aliif Maulana
Aliif Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam

Mencoba menuang perasaan saja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaksakan Anak Menikah demi Memudahkan Perekonomian Keluarga, Apakah Baik?

17 Oktober 2021   11:43 Diperbarui: 17 Oktober 2021   14:00 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Aliif Maulana

Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang terjadinya Pernikahan di Usia Dini, baik karena suka sama suka dan terpaksa demi melunasi hutang atau demi meningkatkan ekonomi keluarga. Tetapi, apakah hal ini boleh atau baik bagi kesehatan terutama bagi mereka yang dipaksa menikah, yang mana padahal mereka masih ingin menghabiskan waktu untuk bercanda tawa dengan teman-teman atau merasakan suka duka selama bersekolah.

Dalam UU Perkawinan, perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi meskipun demikian, kita juga harus memperhatikan masalah umur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Peubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Dari ketentuan diatas, telah dijelaskan bahwa pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, berarti yang mana di bawah usia itu tidak diperizinkan untuk menikah. Selain itu, bila kedua calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan. Atau dengan meminta dispensasi kepada pengadikan dengan alasan yang sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Meskipun pernikahan dini masih dimungkinkan secara hukum, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, alangkah baiknya calon mempelai dan orang tuanya memahami bagaimana pandangan psikologi terhadap pernikahan dini. Menurut Dokter Spesialis Jiwa OMNI Hospitals Pulomas Jakarta Dr. Jimmi MP Arinotang, SpKJ., secara psikologi, perkawinan usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, kemudian emosi tidak berkembang dengan matang. Selain itu, juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti berani mengambil keputusan, kesulitan memcahkan masalah, dan terganggunya memori. Juga, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan,

Terdapat dampak fisik juga, yakni pada anak yang dilahirkan seperti terjadi gangguan mental serta berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan mereka yang lahir dari pernikahan di usia matang dan bahagia.

Kesulitan tidak hanya dirasakan ketika hamil dan melahirkan saja, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan mobilitas serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya. Akibatnya, berisiko terjadinya penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat, dan hal itu dapat menyebabkan perkembangan lanjutan anak, seperti kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menikah dini.

Jadi alangkah baiknya, semua dipersiapkan dahulu baik dari segi pengetahuan maupun mental. Juga tidak memaksakan anak-anak untuk segera menikah, karena mungkin saja mereka masih mempersiapkan pengetahuan untuk generasi selanjutnya agar tidak terjadi kembali pernikahan paksa anak usia dini 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun