Angkringan Kandang Sapi di kawasan Legawong, Kotagede, Yogyakarta, mungkin terdengar seperti angkringan biasa bagi yang baru dengar. Tapi bagi ku, tempat ini punya kesan yang berbeda. Sudah berkali-kali saya ke sini, kadang malam, kadang sore, bahkan saat angkringannya belum buka pun aku tetap duduk-duduk di pondok kayunya. Suasananya bikin betah. Ada pohon-pohon yang bikin adem, lampu-lampu gantung kecil yang kalau malam menyala temaram, dan semilir angin dari Kali Gajah Wong yang mengalir tepat di samping area lesehan. Tempat ini udah jadi titik kumpul dadakan kalau lagi bingung mau ke mana.
Aku tahu angkringan ini awalnya dari teman kost. Dulu aku sempat diajak ke sana, katanya enak tempatnya, murah makanannya, dan nyaman buat nongkrong. Pas ke sana, ternyata benar. Walau sederhana, tempatnya punya suasana yang nggak bisa didefinisikan dengan satu kata. Pokoknya kalau sudah duduk, rasanya nggak pengen pulang. Kadang kalau lagi gabut, teman kost aku bisa tiba-tiba nyeletuk, "Eh, ke Legawong, yuk." Dan tanpa pikir panjang, kami langsung jalan ke sana.
Menu di Angkringan Kandang Sapi ini sebenarnya cukup banyak dan khas angkringan pada umumnya. Ada nasi kucing berbagai rasa, sate usus, sate telur puyuh, sate kulit, tempe bacem, gorengan, wedang jahe, kopi, sampai teh panas. Tapi anehnya, saya sendiri justru nggak terlalu tertarik sama nasi kucingnya. Aku lebih sering pesan cireng isi ayam atau roti bakar. Cirengnya gurih, isiannya padat, dan cocok banget dimakan malam-malam sambil dengerin live music kalau pas ada. Kadang juga sambil buka laptop ngerjain tugas, numpang Wi-Fi gratisan yang disediakan.
Dalam rangka tugas UAS Jurnalistik untuk mata kuliah Ilmu Komunikasi, aku memutuskan untuk memilih angkringan ini sebagai objek liputan UMKM saya. Tapi, dari sekian kali datang, aku belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan pemiliknya. Menurut para pekerja di sana, pemilik memang jarang hadir karena lebih banyak mengurus hal lain. Akhirnya aku memutuskan untuk berbincang dengan salah satu penjaga tetap di sana, Bu Tenti.
Bu Tenti adalah sosok ramah yang biasa membantu meracik minuman, menyajikan pesanan, dan sesekali ngobrol ringan dengan pelanggan. Saat aku ajak ngobrol, beliau sedang menggoreng gorengan dan menyiapkan wedang jahe. "Saya kerja di sini sekitar tiga-empat tahunan, Mbak. Bantu-bantu dari sore sampai malam," katanya sambil menyiapkan pesanan makanan. Dari Bu Tenti, aku dapat banyak cerita tentang bagaimana angkringan ini dulunya hanya berupa tenda sederhana dan makin lama makin berkembang karena banyak yang suka datang.
Menurut Bu Tenti, pelanggan angkringan ini sangat beragam, dari mahasiswa, warga sekitar, sampai wisatawan lokal yang iseng lewat. Kadang juga ada keluarga yang datang bareng anak-anak. "Kadang ada yang ke sini tiap hari, Mas. Cuma duduk, minum jahe, ngerjain tugas. Kayak udah jadi rumah kedua," tambahnya sambil tertawa kecil.
Aku sendiri punya cukup banyak pengalaman tak terlupakan di sini. Pernah suatu malam, pas mau pulang, saya menjatuhkan HP di depan angkringan. Panik, tapi untungnya ketemu lagi. Pernah juga keseleo gara-gara salah injak batu dekat parkiran. Belum lagi beberapa kali salah tempat duduk, dikira pondok kosong, ternyata udah dipesan orang. Tapi justru dari kejadian-kejadian kecil itu, aku jadi makin akrab dengan tempat ini.
Legawong sendiri dulunya adalah kawasan hijau di sekitar Kali Gajah Wong yang sempat terbengkalai. Beberapa tahun terakhir, pemerintah kota dan komunitas warga setempat berinisiatif menjadikan daerah ini ruang publik. Area bantaran sungai ditata ulang, diberi jalan setapak, tempat duduk, dan akhirnya pelaku-pelaku UMKM mulai membuka lapak di sini. Kini, kawasan ini jadi semacam ruang kreatif terbuka yang meriah di malam hari, tapi tetap tenang dan adem di sore hari.
Angkringan Kandang Sapi Legawong, seperti banyak angkringan lain di Yogyakarta, bukan sekadar soal makanan murah. Buatku pribadi, tempat ini semacam titik kumpul andalan. Kalau aku dan teman-teman kost lagi gabut, bingung mau ngumpul di mana, ya pasti akhirnya ke angkringan ini juga karena paling dekat dan nyaman. Sering ketawa-ketawa bareng, ngobrolin hal-hal receh sampai yang serius, atau sekadar duduk diam sambil ngeliat suasana sekitar. Kadang kami cuma membiarkan waktu lewat tanpa beban, dan itu pun rasanya udah cukup.